21 Maret 2019
"Kamar 3E atas nama Tuan Arion Hadinata pasien dokter Bambang dengan diagnosa pre operasi abses manus sinistra, rencana operasi jam delapan nanti. Profilaksis ceftriaxone dua gram sudah masuk pukul enam tadi," kata Dita--tim 2--saat sedang mengoperkan hasil kerja dinas malam ke dinas pagi. "Surat persetujuan operasi dan pembiusan sudah terlampir, hasil lab terlampir, vital sign normal. Pasiennya mengeluh kesakitan sejak kemarin malam jam sepuluh. Aku telepon dokter Bambang dapet advice ekstra injeksi ketorolac satu ampul ya. Jadi, kalau pasiennya minta injeksi lagi suruh dia untuk relaksasi aja."
"Emang parah?" tanyaku menatap Dita.
Gadis sawo matang itu mengangguk. "Iya, tangannya sampai kemerahan terus keliatan nanah yang nggak bisa keluar gitu. Tapi vital sign pasiennya normal, tensi 120/80, suhu 37,5."
"Leukositnya?" sahut Rangga yang masih sibuk mencatat di lembar kertas.
Dita membuka lembaran yang menunjukkan hasil lab. "Agak tinggi, 15500. Pokoknya, kalian harus sabar ya sama pasien satu ini," kata Dita sambil terkekeh. "Agak rewel dia."
“Kenapa rewel?” tanyaku lagi dengan kening berkerut. “Apa karena kesakitan?”
Gadis itu manggut-manggut, lalu mendecak dan berkata, “Entar juga tahu sendiri, Mel.”
Bibirku membisu sambil mencatat di mana ada tiga pasien yang akan dioperasi hari ini, tak menanggapi lagi keluhan Dita. Sudah menjadi makanan sehari-hari jika ada pasien yang begitu rewel, jadi aku tidak terlalu terkejut. k****a lagi catatanku, ada yang operasi appendicitis, ganglion, dan ulkus diabetikum brachialis. Setelah selesai operan jaga, kami pun keliling ruangan sembari menghafal pasien-pasien baru, mengecek infus, ataupun keluhan pasien.
Ketika memasuki kamar tiga, di mana terdapat enam kasur dewasa khusus laki-laki. Kedua mataku tak sengaja memandang bed E di sisi kiri, pasien yang bernama Arion sedang merintih kesakitan hingga keluar keringat sebesar biji jagung di wajahnya. Bahkan irama napas lelaki itu pun naik turun dengan cepat, aku mengira suntikan extra yang diberikan oleh dokter Bambang tidak membuat nyerinya reda. Melihat jam suntik terakhir pun pukul enam pagi tadi, harusnya efek obat itu masih ada.
"Ini Tuan Arion yang akan operasi jam delapan ya," kata Dita dengan wajah sedikit takut. "Sabar ya Mas, obat anti nyerinya ‘kan udah masuk kemaren malam, tadi pagi juga. Sudah saya ajari 'kan gimana cara relaksasi pake napas dalam?"
Pria bertubuh bongsor itu menggeleng, merintih lalu berkata, “Napas dalam aja nggak bisa, Mbak. Saya sudah kesakitan ini. Kapan sih operasinya? Masa obatnya tadi pagi aja?" dia pun merintih hingga terlihat jelas urat nadi di leher putihnya.
“Sabar, Mas, setengah jam lagi kan dioperasi,” jawab Dita lalu kami pun pergi meninggalkan ruangan itu.
Samar-samar aku masih mendengar Arion mengumpat, bahkan dia mengutuki kami bukan perawat profesional. Aku menoleh sebentar, menatap lelaki itu yang masih saja mengeluh seolah dia adalah manusia paling menderita di dunia. Aku mendecih dalam hati, lagipula kami sebagai perawat sudah memberikan tindakan keperawatan maupun advice dokter sesuai arahan. Kami juga tidak berani memberikan suntikan tanpa seijin dokter.
Aku membisiki Dita, "Emang dia kenapa sih awalnya kok bisa gitu? Nyebelin banget."
Dita menyeretku menuju nurse station lebih cepat. "Ceritanya dua minggu lalu dia sedang pull up. Biasa lah anak tentara. Lah terus, nggak sengaja dia jatuh karena besi tempat pull up nya udah berkarat dan kena tangannya. Makanya jadi abses."
Kuanggukan kepala sambil ber-oh ria. "Nggak sampai tetanus, ‘kan?"
Dita menggeleng. "Nggak. Udah dikasih anti tetanus sih katanya pas di UGD terus direncakan operasi hari ini deh."
"Oke. Makasih ya."
Dita dan tim-nya berpamitan pulang. Giliran timku bekerja dan pembagian tugas sesuai job disk masing-masing. Tiba-tiba, telepon ruangan berdering, ketika aku akan mengecek file rekam medis pasien.
Yang menelepon ternyata dari ruang operasi, mereka memberitahukan bahwa rencana operasi Arion akan diundur sampai pukul dua siang, akibat dokter Bambang ada urusan mendadak entah apa. Untung saja jadwal operasi dua pasien lainnya pukul empat sore nanti. Sehingga pasien tidak perlu puasa makan terlalu lama.
Cepat-cepat aku memberi informasi kepada Arion dan temannya yang berkepala cepak dengan kulit cokelat eksotisnya. Lelaki itu menoleh, seakan kedatanganku adalah harapan yang dia tunggu-tunggu sejak lama.
"Apa saya sudah boleh masuk ruang operasi?" tanya Arion dengan intonasi cepat.
Aku menggeleng lemah. "Maaf, baru saja saya ditelepon ruang operasi kalau dokter Bambang ada urusan mendadak sehingga jadwal operasinya diundur sampe jam dua siang."
Sontak pria bertelanjang d**a itu menganga tak percaya. "Diundur?” teriaknya membuatku sedikit menciut dengan tatapan tajam mata sipitnya. “Dokternya nggak tahu apa saya kesakitan sampe nggak bisa tidur. Ah! Persetan! Urusan apa sih!"
"Iya maaf ya, saya cuma bisa menyampaikan saja,” ujarku merasa bersalah.
"Perawat macam apa kamu, Mbak! Saya kesakitan sampai mau mati, b*****t!" seru Arion membuat seisi pasien di ruangan itu menoleh kepadaku, termasuk Eko yang berbaring di sebelah kanan kasur Arion. "Persetan sama perawat di sini!"
Aku menelan ludah dengan tangan gemetaran. "Maaf, nanti saya kabari lagi. Untuk sementara makan dulu nanti puasa lagi, Mas."
"Saya nggak nafsu makan kalau tangan saya sakit kayak gini!" bentak Arion menunjuk tangannya yang bengkak. Sedangkan teman Arion berusaha menenangkan lelaki itu, namun tatapannya sama dengan Arion, seolah perubahan jadwal operasi adalah sesuatu yang disengaja. "Apa perlu saya lapor ke komandan, biar dokter itu mau mengoperasi saya?" cecar Arion masih tidak terima.
"Maaf...." ucapku.
"Saya nggak perlu ucapan kayak gitu dari kamu, Mbak!"
Mengatupkan bibirku, menahan sabar sambil melirik Eko yang sepertinya prihatin dengan apa yang terjadi. Arion masih mengumpat walau suaranya tidak sekeras tadi, peluh keringat yang membasahi tubuhnya semakin banyak dengan ekspresi menahan nyeri.
Hatiku tersayat mendengar bentakan seperti itu. Kutahan air mata yang hampir jatuh. Tidak, aku harus profesional. Bagaimana pun juga, sakit seperti itu pasti tidak menyenangkan. Aku harus berpikiran positif.
####
Ardan : aku dengar km dibentak sm pasien.
Ardan : km gpp?
Bibirku mengulum senyum tipis saat pesan w******p dari Ardan masuk. Pasti dari Eko, batinku. Ah, Ardan ... kenapa dia selalu peduli meski kami tak lagi bersama? Bahkan setelah empat tahun putus, dia masih menjadi Ardan yang dulu. Lelaki yang sangat peduli orang lain daripada dirinya sendiri.
Amelia : aku gpp.
Ardan : aku tau km. Fine isn't always fine.
Kutengadahkan kepala memandangi langit-langit ruangan kerja, di mana beberapa poster kesehatan dan susunan pegawai ruangan ditempel di dinding. Tak kubalas pesan itu dan memilih meletakkan kembali gawai berbalut case biru di atas meja. Semakin dia tahu apa yang kurasakan sekarang, maka semakin hancur pertahananku untuk move on.
Pukul dua belas tepat, waktunya melakukan tindakan injeksi kepada beberapa pasien. Kedua kakiku rasanya berat memasuki kamar tiga lagi. Bukannya aku pengecut. Hanya saja, kalimat kasar yang menurutku tidak pantas diucapkannya masih terngiang-ngiang di telinga. Kugelengkan kepala, ah harusnya aku acuhkan saja dia. Toh, bukan aku yang mengoperasi tangannya yang sakit.
Sengaja aku tidak memandang bed 3E itu meski masih terdengar jelas suara rintihan dan umpatan dari bibir Arion. Hingga pasien di bed 3C mengeluh padaku merasa terganggu namun juga merasa kasihan.
"Saya hanya menyampaikan pesan dari dokter, Pak," kataku membela diri sambil memasukkan obat ondansentron ke selang infusnya.
Pasien paruh baya itu mengangguk. "Kamu yang sabar ya, Suster."
Aku mengangguk mendapat simpati seperti itu. "Terima kasih."
Giliran Eko yang kusuntik dengan obat anti nyeri dan drip antibiotik. Dia memandangku dalam diam meski kucoba untuk berkomunikasi layaknya pasien dan perawat.
"Ardan bilang, dia khawatir sama kamu," kata Eko memandangi tanganku yang sedang memasukkan obat ke selang infusnya.
Melirik sejenak pria bertubuh kurus itu dari balik bulu mataku. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini emang resiko pekerjaan kami. Kadang dipuji kadang dicaci."
"Iya gimana nggak dicaci, orang kayak kamu kerjanya lambat!" sahut Arion dengan cukup keras.
Aku dan Eko menoleh pada tirai pembatas pasien. Tidak kusangka pendengaran pria itu tajam meski sudah memelankan suara. Sialnya, sindiran Arion semakin membuat hatiku mendidih seperti baru saja disiram air panas.
"Sabar, Mel,” ucap Eko sambil tersenyum tipis.
Aku mengangguk lalu keluar dari bed Eko melewati Arion. Dia menatapku tajam dibalik mata cokelat yang sedikit sipit itu. Aku bertanya-tanya orang manakah dia hingga berkata kasar seperti itu? Atau kenapa dia tidak sabaran?
"Hei, Infus saya macet!" seru Arion mengekori langkahku.
Aku menoleh lalu berbalik mendekati bed miliknya. Kubenarkan selang infusnya yang macet dengan memelintir selang bening itu dan menariknya sedikit. Lalu menaikkan roll infus hingga cairannya kembali lancar. Aku tidak melakukan komunikasi apapun padanya.
"Sampai kapan saya seperti ini? Dokternya mana sih? Saya udah mau mati ini," keluhnya sambil mendesis. “Kamu mau membunuh saya pelan-pelan?”
"Teman saya kasian lho, Sus. Masa dari tadi pagi nggak segera dioperasi," sahut teman Arion memandangku kesal.
"Maaf, kami belum dapat panggilan lebih lanjut dari kamar operasi. Jika nanti dokternya datang bakal saya kabari. Lagipula dua jam lagi pasiennya juga masuk ruang operasi, kan?" kataku kesal.
"Dua jam ndasmu! Tangan saya nyeri setengah mati dan saya harus sabar bagaimana lagi. Lebih baik saya dicambuk sama pelatih saya daripada sakit kayak gini!" bentak Arion menatapku nyalang.
"Mohon sabar menunggu ya," kataku lalu pergi meninggalkan Arion dan temannya.
Tuhan, tolong beri aku kesabaran menghadapi pria seperti dia.
####
Waktu berjalan begitu lambat, rasanya hari ini seperti berjalan di atas arang panas saat berulang kali telingaku mendengar umpatan yang keluar dari mulut Arion. Lima tahun aku bekerja, belum pernah diriku mendapat hujatan dari mulut pasien. Selama itu pula aku tidak pernah mendapat komplain karena lambat bekerja.
Namun, hanya karena jadwal operasi diundur akibat kehendak dokter sendiri yang menjadi imbasnya adalah perawat. Kutarik nafas lalu menghembuskannya perlahan melalui mulut. Kuanggap Arion tak lebih dari adikku yang merengek meminta permen.
"Usianya sudah 28 tapi tingkahnya seperti anak SD," gumamku sambil mendengarkan senior melakukan timbang terima ke dinas sore.
Bertepatan itu, telepon berdering. Dengan sigap, kujawab panggilan itu. Senyumku mengembang saat perawat ruang operasi menginformasikan bahwa Arion boleh masuk kamar operasi. Mungkin terdengar seperti orang gila, tapi aku bahagia sebentar lagi dia dibius supaya mulutnya itu tidak berkata kasar lagi.
Setidaknya dua jam ke depan.
"Pasien Arion masuk operasi," kataku.
Temanku, Rangga langsung mengambil rekam medis milik Arion. Kubantu dirinya untuk mengecek surat persetujuan operasi, vital sign jam 11, serta kolf infus yang sudah masuk. Rangga pun mengambil kursi roda lalu pergi menjemput Arion di kamar tiga.
Suara derit kursi roda berbunyi, refleks menoleh pada sosok bongsor pria menyebalkan itu. Sejenak kami berpandangan dalam diam. Kubuang muka ke arah lain karena malas memandangi pria kasar setampan apapun dia. Aku berharap, Arion segera pulang setelah dioperasi sehingga telingaku tidak perlu susah-susah mendengar kalimat tidak sopan darinya.
Kuharap tak pernah bertemu....