6 Oktober 2012
Usai kenyang melahap seporsi tempe penyet, nasi hangat, dan segelas teh manis di warung pinggir jalan Ketabang, Aku dan Ardan melanjutkan kencan kami ke taman prestasi di pusat kota. Sepanjang sungai kali mas, lampu warna-warni beraneka bentuk menggantung manis membentang sungai, jika tidak hujan seperti sekarang, biasanya akan ada perahu naga yang membawa beberapa penumpang menyusuri sungai. Selain itu kadang ada acara kesenian atau dangdut di panggung hiburan. Sayangnya, derai air hujan masih setia membasahi tiap sudut kota, membuat taman wisata pasti sepi.
Gerimis mendadak menjadi hujan deras lagi, membuat motor Ardan harus berhenti di emperan toko. Padahal lokasi taman prestasi tinggal lima ratus meter lagi, namun jika kami berdua menerobos hujan mungkin besok kami berdua akan flu. Aku memukuli bahunya sambil tertawa, mengapa dia selalu lupa membawa mantel di saat cuaca sering tidak menentu. Alasannya sangat konyol, agar dia bisa memelukku ketika kedinginan. Refleks kulempari kepala Ardan dengan tas selempangku hingga dia mengaduh kesakitan. Aku tidak peduli orang yang juga berteduh di kiri dan kanan kami melihat dengan tatapan aneh.
"Maaf ya, Nyu, gitu aja ngambek. Kan aku bercanda, doang," ucap Ardan mengembalikan tasku. "Nih tasnya, kasian dia nggak bersalah."
"Pret! Awas ya modus lagi, aku kempesin ban motor kamu!" ketusku merajuk, menerima tasku kembali.
Ardan mendongak, mengulurkan tangan kanannya ketika tetes hujan yang melewati genting toko bangunan itu jatuh ke tanah. Tiba-tiba, dia melemparkan air yang ada di tangannya ke arah wajahku membuatku menjerit terkejut. Ardan justru tertawa terbahak-bahak, mengabaikan orang-orang yang terganggu dengan kejahilannya.
"Ardan ih ... habis makan apa sih, nyebelin banget anak orang!" kutarik dirinya yang memakai jaket hitam dan mengusapkan wajahku di sana. "Sukurin!"
"Eh, Nyu."
"Apaan sih Om bebek!"
Kini lelaki itu terdiam, menerawang langit malam yang sungguh tidak cerah sama sekali. Beberapa kali terdengar suara guntur diiringi petir yang menyambar-nyambar. Refleks aku bergerak mundur, menutupi kedua telingaku rapat. Sungguh kubenci cuaca sialan ini.
"Kamu takut?"
Kuanggukan kepala dalam diam, lalu berjongkok. Ardan mengikutiku, berjongkok di sisi kiri seraya melipat kedua tangannya di atas lutut dan memandangku lekat.
"Nggak usah takut. Aku di sini kok." Tangan besarnya mengelus puncak kepalaku yang basah.
"Dan ...."
"Hm.... "
Kutatap kedua matanya yang menggelap, entah kenapa di saat seperti ini justru lelaki itu terlihat memesona. Kugigit bibir bawahku, baru menyadari bahwa aku sama sekali belum membuka identitas diriku kepadanya. Tapi aku ragu, apakah setelah dia tahu, dia tetap bersamaku atau menjauhiku.
Kutarik napas panjang, menopang kepalaku dengan tangan kanan lalu berkata, "Aku belum cerita tentang keluargaku ya?"
Lelaki itu menggeleng. Dengan suara pelan, kuceritakan semua tentang diriku yang sebenarnya. Pria berambut tebal itu sempat terkejut, mengetahui bahwa aku adalah anak kuliah yang berlatar belakang keluarga militer. Dia terdiam cukup lama hingga aku merasa bersalah dan bertanya-tanya. Kukatakan padanya bahwa semua itu sama sekali tak membuat diriku istimewa.
"Aku tidak menyangka jika kamu anak orang yang berada," kata Ardan dengan sendu.
"Aku tidak ingin orang lain berteman denganku karena aku memiliki semua ini, Dan," kataku padanya sembari memandangi air hujan yang turun dari genting toko. "Karena aku pernah dekat dengan seseorang dan ... pada akhirnya aku tahu dia memanfaatkan keadaan."
"Memanfaatkan apa?"
Kutundukkan kepala sambil tersenyum kecut. Ah, rasanya begitu bodoh jika mengingat sosok pria yang hanya memandang latar belakang keluargaku. "Meski dia tidak melakukan hal m***m, namun dia berhasil menghipnotisku untuk melakukan apa yang dia perintah. Aku rela menemui dirinya yang sedang sakit dengan perjalanan dua jam naik motor hingga basah kuyup akibat kehujanan waktu itu. Saat dia sembuh, aku juga menjemput dirinya dari rumah sakit. Bahkan untuk kencan pun aku juga menjemputnya karena dia tidak punya motor. Kemudian dia selalu bilang ingin merencanakan pernikahan denganku, ingin memperkenalkanku dengan keluarganya di Pontianak. Namun ... yang kudapat hanya sebuah omong kosong."
"Dia meninggalkanmu?"
Aku mengangguk sambil tersenyum kecut. Sedangkan Ardan lebih memilih mengusap ujung kepalaku dengan lembut. "Dia sudah memiliki seorang anak dengan wanita lain. Ternyata saat dia menyatakan perasaannya padaku, dia sudah memiliki seorang tunangan yang dinikahi esoknya."
Ardan menganga mungkin ekspresi antara terkejut dan ingin menertawakanku. "Kamu bodoh."
"Memang," kataku sedih lalu tersenyum sambil menatap Ardan. "Tapi aku tidak menyesali bertemu dengannya karena aku tahu dia bukan pria baik."
"Kamu benar, kadang manusia dipertemukan untuk dipersatukan. Kadang pula manusia dipertemukan untuk dipisahkan. Karena Tuhan sedang menunjukkan padamu mana yang tulus mana yang sekadar modus."
####
Motor CB150R puith milik Ardan berhenti di parkiran Taman Prestasi usai hujan sedikit reda. Kulepas jaket yang sedikit basah lalu merapikan rambut panjangku yang berantakan. Melihat sekeliling, untungnya bukan aku saja yang ingin menikmati malam minggu di taman rakyat ini. Walau hujan menerpa, nyatanya orang tetap mau datang walau basah-basahan juga.
"Duh ... Kasian, anak orang aku ajak basah-basahan. Nih, pakai punyaku yang anti air," kata Ardan melepas jaket merahnya lalu menyampirkannya di kedua bahuku. "Udah nggak usah protes, sini jaketmu dan tasmu." Dia merebut jaket dan tas selempang milikku sebelum aku mengeluarkan kalimat.
Dia melangkah mendahului sambil memakai tas selempangku tanpa malu. Entah aku harus terpesona atau terharu dengan sikap Ardan. Dia benar-benar memperlakukan perempuan dengan begitu baik. Sejenak pria itu berhenti dan menoleh ke arahku.
"Ayo!" teriaknya. "Kamu nggak pengen liat belut kawin?"
Sontak aku tertawa saat beberapa orang yang melewati pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut. Bahkan kami berdua bisa mendengar, salah satu dari mereka mengolok Ardan gila. Sambil berlari kecil, kuhampiri dirinya lalu berkata,
"Dasar gila!"
Kami berdua melangkah menyusuri jalan setapak yang dihiasi oleh daun merambat mengikuti bentuk pintu mirip lorong. Tetes air sisa hujan tadi, berjatuhan ke tanah melalui helai daun maupun mahkota bunga yang bermekaran. Aroma tanah lembab yang menggelitik indera penciuman membuat suasana hati semakin tenang walau sisi lain menjadi begitu melankolis.
Sembari mengomentari perubahan kota Surabaya yang semakin maju dari tahun ke tahun serta penataan taman yang semakin dipercantik, kami bergandengan erat, mengayunkannya ke udara. Di sela pembicaraan itu sesekali juga, Ardan mengomentari pasangan sejoli yang duduk memojokkan diri di bawah pohon walau lampu-lampu menyala terang dan tidak memedulikan bangku yang masih becek karena air.
"Awas tangannya, Mbak," kata Ardan kepadaku saat kami melewati pasangan remaja yang sedang asyik bermesraan. Refleks remaja tersebut gelagapan seperti terciduk petugas Satpol PP.
Kami berdua tertawa sambil berlari kecil menjauhi pasangan dimabuk asmara itu, lalu Ardan melihatku dan berkata, "Eh,kamu jangan jauh-jauh."
Aku mendekat dengan wajah bingung. "Kenapa?"
Tangan kanan Ardan menarik tangan kiriku dan menggenggamnya erat dan ditempel di d**a bidangnya. "Anak orang jangan sampai hilang, apalagi perasaannya nanti dibawa orang. Abang nggak kuat."
Kucubit lengan berototnya cukup keras. "Apaan sih. Lebay banget."
Namun, dia tidak kunjung melepas genggaman tangannya. Lalu kami berdua terdiam sambil terus menyusuri taman yang penuh dengan replika penghargaan kota pahlawan, di antaranya replika Kota Raya Terbersih 1992 hingga monumen pesawat Bomber b-26 Interluder yang merupakan saksi sejarah penumpasan gerakan pemberontakan di Indonesia. Selain itu, beberapa macam arena permainan anak-anak pun tersedia, termasuk jungkat-jungkit yang sangat kusukai sejak kecil.
Ardan itu mendudukkan dirinya ke salah satu bangku kosong yang menghadap ke sungai Kali mas. Aku mengikuti dirinya dengan duduk di sisi kanan sembari melihat sungai dengan temaram lampu hias yang melintang dengan cantik. Sayup-sayup terdengar suara pengamen mendendangkan lagu dari Tompi membuat diriku merona.
Segenap hatiku selalu memujamu
Seluruh jiwa kupersembahkan untukmu
Sepenuh cintaku merindukan dirimu
Seutuh gejolak membakar hatiku
"Ck, tahu banget sih tuh anak kalau aku mau nembak kamu, Nyu," kata Ardan tiba-tiba membuatku menoleh dengan mulut menganga.
Butuh beberapa saat untuk menafsirkan apa yang dikatakan oleh pemilik mata lentik itu. Lidahku begitu kelu, bahkan rasanya otakku ikut membeku dan terhipnotis oleh kalimat Ardan. Sejenak jantungku berpacu cepat tuk mengedarkan darah panas, dan tersadar dengan wajah memerah bak tomat. Kupalingkan muka, melepas tanganku dari genggaman tangan Ardan. Sungguh tubuhku dibuat bergetar karena ucapannya.
"Nyu," panggil Ardan dengan panggilan kesayangannya padaku. Aku tidak menjawab karena masih berusaha menetralisir detak jantung.
"Penyu ... Pendek tapi unyu," panggil Ardan lagi, dia lebih terdengar mengejek daripada memanggil.
Aku menoleh memandangi wajah Ardan yang ternyata sama gugupnya denganku. Bedanya sekarang perutku rasanya seperti diaduk-aduk dengan pening yang menjalari kepala. Bulu kudukku meremang entah kenapa. Apa di dekat kami ada hantu yang sedang menguping?
"Aku suka kamu."
Gerakan mulut Ardan cepat namun suaranya begitu jelas di telinga membuat jantungku berpacu semakin keras. Bertalu-talu hingga kedua telingaku berdengung kencang. Kutahan napas, ada sesuatu yang menggelitiki perutku tapi aku tidak tahu apa.
Sejenak Ardan terdiam sambil menunduk memilin jaketku. Lalu dia memandangku dengan senyum tipisnya lalu berkata,
"Aku nggak tahu apakah aku pantas bersama kamu. Tapi, berkenalan denganmu dari awal sampai detik ini membuat ... Aku tertarik untuk memilikimu. Jika boleh diberi kesempatan, kamu mau nggak jadi pacar aku?"
Aku tidak bisa menjawab karena detik berikutnya aku berlari ke tempat sampah terdekat untuk mengeluarkan isi perutku.
Ya Tuhan, inikah rasanya ditembak langsung sampai aku masuk angin seperti ini?
####
22 Maret 2019
Aku bertemu dengan Ardan lagi saat dia menjenguk Eko dan satu orang temannya yang bernama Wawan. Dulu, saat kami bersama aku memanggil tiga pria jenaka itu dengan sebutan trio kwek-kwek. Masih ingat dalam benakku bahwa Ardan telah berteman dengan Eko dan Wawan sejak tahun 2006.
Wawan yang memiliki tubuh tinggi dan kurus seperti tiang bendera, memandangku sejenak seolah dunia ini terlalu sempit untuk pertemuan mantan pasangan kekasih. Namun, dia segera menyunggingkan senyumnya padaku. Walau terasa kaku.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya Ardan kepadaku saat melepas infus Eko.
Sebelum aku menjawab, Eko menyela diriku dengan berkata,"Yang baik-baik saja itu aku atau Amel?"
Semburat rona merah tercetak jelas di kedua pipi pria bergigi gingsul itu. Dia menatapku seperti mengirimkan isyarat bahwa dia khawatir. Mungkin Ardan khawatir tentang perasaanku yang cukup sensitif setelah kejadian aku dicaci oleh pasien di sebelah Eko, mungkin juga dia khawatir tentang Eko yang terpasang gips. Aku tidak tahu.
"Aku tak apa." Kubereskan bekas selang infus dan botol cairan ke dalam nierbeken. "Tunggu surat kontrol dan obat pulangnya ya, aku siapin dulu," kataku ;alu melangkah pergi.
"Akrab banget," sahut Arion saat aku melewatinya. "Sama saya aja jutek!"
Tak kuhiraukan kalimat sindiran pasien menyebalkan itu. Lagipula kenapa dia suka sekali menguping? Kenapa juga dokter Bambang tidak segera menyuruh dia pulang agar tidak menggangguku.
Syukurlah, sepertinya Tuhan sedang mendengar doaku, ketika melihat tubuh besar dokter Bambang melangkah masuk ke ruang perawatan. Kusapa dokter bedah itu sambil membuang bekas selang dan infus ke sampah medis.
"Sebentar dokter, saya cuci tangan," kataku sebelum dokter itu melakukan visite harian.
Setelah cuci tangan,kuambil empat rekam medis dan menjelaskan hasil perkembangan pasien post operasi. Saat memasuki kamar tiga tepatnya di bed Arion, aku menghela napas kasar, malas memandang pria itu.
"Ini Tuan Arion dengan post op abses manus sinistra. Rencana pulang besok minggu dokter," kataku sambil menjelaskan.
"Gimana masih nyeri nggak?" tanya dokter Bambang.
"Udah berkurang, dok. Saya cuma pengen pulang saja."
Iya mending pulang daripada bikin aku nggak mood.
"Ya udah, besok boleh pulang tapi dirawat luka dulu ya. Nanti kontrolnya hari rabu jam delapan pagi," kata dokter Bambang. "Mbak, resep obat untuk pulang sudah saya tulis belum ya?"
"Oh, sudah dokter. Tuan Arion cuma dapet Cefixim sama Mefinal."
"Jadi, Pak Arion saya kasih antibiotik dan obat nyeri. Nanti itu diminum rutin ya biar lukanya cepet kering, sementara nggak ada pantangan makanan. Cuma alangkah lebih baik makan tinggi protein kayak ayam, daging, telur biar proses penyembuhan lebih cepat."
Arion mengangguk namun sesekali matanya melirik kepadaku. "Siap, terima kasih dokter."
"Oke, sudah selesai pasien saya?" tanya dokter Bambang kepadaku.
"Siap sudah, dok."
Dokter itu melangkah mendahuluiku. "Berarti besok kamu rawat luka pasien tadi sama pasien yang abses mamae ya."
Mampus aku.
"S-siap dokter."
Kuhela napas pasrah. Kenapa aku harus melayanai Arion yang jelas-jelas sedang kuhindari?