PC ~ Prolog

1051 Words
Bali, Indonesia. Pulau yang sangat indah. Gemerlap dengan kehidupan ramai pada siang dan malam hari. Kota yang rasanya tidak pernah tidur. Kota yang selalu ramai dengan turis lokal maupun mancanegara, membuat suasana Kota ini sangat berbeda. Semua orang juga sangat menikmatinya. Hiruk pikuk serta udara Bali selalu di dambakan oleh banyak orang. Tapi, itu tidak berlaku untuk seorang gadis yang tengah kesepian dalam kesendirian. Berbalut luka serta bertopeng derita telah menjadi kebiasaan gadis yang satu ini sejak masih kecil. Nyatanya.. keindahan itu tidak seindah nasib Starla Brigita Quenzy. Seorang gadis berparas cantik berusia dua puluhan. Gadis lugu dengan sejuta luka pada hati dan juga tangannya. Semua kesedihan ini, tidak ada yang mengetahui. Tidak ada yang mengerti, dan tidak ada yang peduli. Air mata seakan tercurah dengan percuma lantaran tidak ada yang bersimpati. Starla seakan hidup untuk dirinya sendiri. Bertahan untuk dirinya sendiri, berjuang untuk dirinya sendiri, serta menapaki jalan berliku sendirian. Tidak ada seorangpun yang sudi menemani. Kebebasan usia muda nyatanya tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang seharusnya, nyatanya tidak pernah ada. Apa lagi, sejak Mama memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang tua bangka dan mengadakan resepsi mewah di Pulau Dewata. Starla tidak ingin mencibir, juga tidak ingin menghujat. Dia hanya ingin mengatakan yang sebenarnya, jika Mama adalah spesies dengan label materialistis serta tidak tahu malu pada dahinya. Wanita yang telah melahirkannya ternyata menjadi wanita yang paling dia benci pula. Kebencian itu bahkan sudah mendarah daging. Seakan telah menyatu dalam aliran darah serta tetesan keringatnya. Jika Starla bisa memilih, dia akan memilih untuk tidak memiliki Mama. Anggaplah dia egois, anggaplah dia durhaka, anggaplah dia sebagai anak tidak berbakti atau anak yang tidak tau di untung. Terserah.. lagi pula, siapa yang peduli? Orang lain hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan. Mereka hanya bisa menilai berdasarkan apa yang mereka lihat. Mereka hanya berasumsi dengan yang terjadi di depan mata. Mereka tidak benar benar mengetahui dengan pasti hingga ke titik terdalamnya. Di hancurkan, di injak, di remukan sampai kandas adalah hal paling lumrah yang telah Starla alami. Hal yang tidak pernah mereka ketahui. Juga hal yang di anggap sepele oleh mereka. Itu masih bukan apa apa. Nyatanya, Starla justru semakin tinggi saat di rendahkan. Dia tumbuh semakin kuat dan kuat di setiap harinya. Tidak ada yang mengurusi urusan orang lain selain mereka yang memiliki dua muka dengan tingkat ketebalan setara baja. Memiliki lidah tajam serta berbisa. Itu pula yang membuat Starla semakin menjauhkan diri dari kehidupan ramai dan memilih untuk bertahan dalam kesendirian. "Starla, apa kamu sudah siap, sayang??" Suara seorang wanita membuyarkan sumpah serapah yang tengah Starla layangkan untuk Mama. Starla menaikan sebelah alisnya saat melihat pantulan seorang wanita mengenakan gaun pengantin melalui cermin. Gaun pengantin putih yang sakral dengan janji suci pernikahan nyatanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Starla mendengus kesal saat melihat wanita itu mendekat dan berdiri di belakangnya. Meski dia tidak ingin menghadiri pesta pernikahan Mama, tapi dia tetap di sini pada akhirnya. Dia tetap menghormati keputusan Mama untuk menikah lagi. Meski dia benci, tapi dia tidak mengatakannya. Dia lebih memilih untuk memendam kebencian itu di dalam hati. "Kenapa? Kamu tidak bahagia dengan pernikahan Mama?" Mama bertanya seraya meletakan tangannya pada bahu Starla setelah tidak mendapatkan jawaban apapun dari anak gadisnya. Mendapatkan doa restu dari Putri semata wayangnya ternyata lebih sulit dari pada mencari jarum pada tumpukan jerami. Sifat keras kepalanya tanpa sadar telah dia turunkan kepada putrinya. "Kalau Mama sudah tau, harusnya.. Mama tidak perlu bertanya lagi." Starla menjawab dengan nada sarkas yang biasa dia gunakan untuk berkomunikasi dengan Mama. Memang tidak pernah ada keharmonisan antara dia dan Mama. Mereka berdua tampak akur di permukaan, namun saling menyerang di dalamnya. Semua tentu karena sifat buruk Mama. Penghianatan yang Mama lakukan sudah tercium sejak dulu. Penghianatan yang telah membuat Papa meninggal adalah hal yang akan selalu Starla ingat sampai kapanpun. Bahkan sampai detik ini, Starla enggan untuk berkomitmen juga karena trauma yang telah Mama torehkan pada memori masa kecilnya. Apa Mama masih tidak menyadari itu? Wanita itu terlalu egois untuk peduli dengan orang lain, peduli dengan perasaannya. Starla juga tidak pernah mengharapkan itu. Bagaimanapun, di mengerti.. adalah hal tabu yang tidak mungkin dia dapatkan sejauh apapun dia berusaha menjangkaunya. "Sayang, Mama tidak perlu restu kamu untuk pernikahan Mama. Kamu mau datang saja, Mama sudah syukur. Jadi.. Mama tidak pernah berharap lebih." Ujar Mama dengan santai. Pembicaraan seperti ini, masih terbilang halus karena tidak perlu menggunakan suara lantang untuk berteriak. "Bagus kalau Mama sadar akan hal itu." Suara Starla merendah. Dia malas berdebat. Meski dia cukup pandai bersilat lidah, namun kemampuannya masih jauh di bawah Mama. "Maaf, Mama tau kalau kamu sangat membenci Mama. Semua salah Mama. Mama janji tidak akan menikah lagi jika pernikahan ini sampai gagal." Ucapnya dengan raut penyesalan, tapi.. itu hanya nampak di permukaan, tidak tau apa yang tersimpan di dalam hati. "Mama juga mengucapkan kalimat itu lima tahun yang lalu. Apa Mama amnesia?" Starla ingat betul dengan ucapan Mama yang satu ini. Karena perkataan itu masih terekam dengan jelas saat Mama menikah dengan pria yang sekarang menyandang status sebagai MANTAN SUAMI MAMA. Ini adalah pernikahan ke empat Mama. Nyatanya, kegagalan dalam maghligai Rumah Tangga, tidak pernah membuat Mama jera. Berkali kali gagal juga masih belum cukup untuk menyadarkan Mama dari banyaknya kesalahan yang telah Mama perbuat. Mungkin karena Mama meninggalkan otaknya saat berlibur ke Rusia bertahun tahun dengan suami kedua Mama saat itu hingga membuat Mama pikun. "Sudah, tidak perlu di bahas. Kamu harus secepatnya mengganti baju. Resepsinya sudah mau mulai. Jangan buat Mama malu." Adalah ucapan terakhir Mama sebelum wanita itu menghilang di balik pintu. Apa itu sungguh sungguh wanita yang telah melahirkannya? Kini Starla ragu. Dia menarik nafas dengan gusar. Dia ingin menangis sejadi jadinya. Jika wanita itu adalah orang asing, dia akan menaburkan sianida pada minuman wanita itu. Melihat wanita itu lenyap, adalah keinginannya sejak lama. Starla memijit ruang di antara alisnya. Kepalanya berdenyut nyeri. Jika sudah seperti ini, dia harus segera minum obat dan tidur. Namun, dia tidak melakukannya. Dia berganti pakaian dan menyelinap keluar. Starla ingin menghabiskan waktu seorang diri. Hanya dengan dirinya sendiri, dia bisa bahagia. Ini juga satu satunya cara untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Dia harus menghilangkan kesialannya malam ini. Resepsi pernikahan? Persetan. Starla bahkan ingin melemparkan bom molotof sebagai hadiah pernikahan untuk Mama dan suami barunya seraya mengatakan whising you all the best in your new life.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD