Bab 2

1560 Words
What the hell! Hidupku sepertinya selalu sial sejak bertemu dengan pria itu. Entah bagaimana hari ini kami bertemu di minimarket. Dia bersama dengan bayi kecilnya sepertinya sedang mencari s**u. Aku yang melihat mereka lebih dulu memilih untuk menghindar. Kalau sampai kami bertatap muka lagi, aku pikir akan terjadi kesialan besar untukku sepanjang hari ini. "Maaf," kata seseorang di belakangku. Aku pikir itu bukan untukku, jadi aku tetap cuek. Mencari-cari keberadaan chiki yang biasanya aku buat sebagai persediaan di apartemen. Sentuhan lembut di lenganku membuatku mengalihkan pandangan. Eh? Kenapa dia sudah ada di dekatku? Alamat sial lagi kalau begini mah. Aku memandanganya setengah malas. "Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Si kecil dalam gendongannya berceloteh kecil dalam bahasa bayinya yang aku tak mengerti sama sekali. Tangannya melayang-layang di udara seperti ingin menggapai sesuatu, kemudian menangis karena tidak mampu meraihnya. Seakan menyadari keinginan si kecil yang menggemaskan, dia berjalan mendekati rak di depan kami hingga tangan kecil itu bisa mengambil sesuatu dari sana dan membuatnya tertawa. "Maaf soal kemarin." Dia akhirnya membuka suara. "Dimaafkan," balasku singkat. Tidak ingin terlibat lebih jauh dengannya. "Aku sungguh minta maaf," ulangnya. Bisa kulihat dari wajahnya kalau dia memang serius mengucapkan kalimat itu. Ekspresinya penuh penyesalan. Aku menghembuskan nafas, malas. "Dimaafkan. Lalu apa lagi?" Entah suaraku yang terlalu besar atau bagaimana, si kecil di gendongannya terkejut dan hampir saja menangis jika dia tidak mengayunkannya segera. Mata bulatnya yang sedikit berair menatapku seolah sedang menelitiku atau mungkin mencoba mengenali. "Maaf," lirihku merasa telah mengganggu ketenangan si kecil. "Namanya Raynelle," katanya mengenalkan. Aku kan tidak bertanya, sekalipun melihat bayi cantik itu sangat menggemaskan. "Dia masih delapan bulan," lanjutnya. Oh, perkiraanku dua hari yang lalu ternyata salah. Tapi wajar kalau aku menilai seperti itu, badannya sangat montok dan terlihat seperti sudah setahunan. Aku hanya menatapnya tanpa membalas kata-katanya. Dia tidak bermaksud untuk mengetahui namaku hanya dengan memberitahukan nama anaknya kan? Itu sangat buruk. "Dan aku Rex." Dia menyebutkan namanya sendiri, meski aku tidak yakin dia jujur. Kalimat itu hanya kubalas dengan ber-oh ria. "Kamu tidak berniat memberitahukan namamu?" tanyanya pada akhirnya. Modus! "Hana?" Pandanganku tertuju pada sumber suara yang menyebutkan namaku. Aish, dia jadi tau kan namaku. Padahal aku sudah berniat untuk tidak memberitahukannya. "Sean?" Jadi benar kalau pria itu ada di kota ini? Dia mengenakan rayban gelap dan topi untuk menutupi jati dirinya yang sebenarnya. Saat melangkah mendekatiku, dia perlahan melepaskan rayban itu. Menunjukkan mata biru yang dulu sangat kugilai. "Oh, kamu sudah menikah? Kenapa tidak mengundangku?" tanya Sean dengan nada sedih yang dibuat-buat. Dia menatap dalam ke arah Rex. Hm, aku saja baru tau namanya barusan, bagaimana mungkin aku sudah menikah dengannya. "Hai, aku Sean, mantan Hana." Ia mengulurkan tangannya dan disambut oleh Rex sembari menyebutkan namanya. "Kalian tidak mengundangku, jadi jangan salahkan aku yang tidak datang bahkan tidak tau pernikahan kalian. Dan lihatlah si kecil ini, begitu menggemaskan," katanya gemas menoel pipi gembul Ray. Meski dibuat terlihat senang, aku bisa mendengar nada terluka di baliknya. Bisa saja. Alasan kami putus bukan karena tidak cinta lagi, melainkan tidak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Lagi-lagi gadis kecil itu hanya bisa menatap heran pada pria di depannya. Mata coklat miliknya, yang aku pikir mewarisi Rex berkedip beberapa kali. "Dia mirip denganmu, Han. Sangat cantik," celutuk Sean. What? Mirip dari mana? Ini orang juga sepertinya sudah kebanyakan pakai kacamata, jadi penglihatannya tidak jelas lagi. "Kau kapan datang?" tanyaku mengalihkan. "Tiga hari yang lalu." Dia melirik sejenak ke arah Rex lalu beralih padaku. "Aku pikir aku masih punya kesempatan," lanjutnya mendramatisir keadaan. Dan apa yang terjadi di tempat ini? Kurasakan sesuatu yang hangat menempel di pinggangku. Apakah itu tangan Rex? Aku mencoba untuk menepisnya. Enak saja dia semudah itu merangkulku. "Baiklah, aku harus pergi secepatnya. Tadi hanya ingin beli vitamin. Bye, Han." Sean berlalu dari hadapan kami. "Apa yang kau lakukan?" tanyaku kesal. Dan lagi-lagi suaraku membuat Ray terkejut dan hampir saja menangis. Wajahnya sudah cemberut dan mata indahnya berair. Ah, aku belum cocok berada di sekitar anak kecil. "Kau membuatnya takut." Aku hanya mendengus kesal. "Lanjutkan saja belanjamu, aku masih banyak keperluan," ketusku dan meninggalkan dia di sana. "Hana!" Kucoba untuk mengabaikan panggilannya, tapi nyatanya dia berulang kali memanggilku. Mau tidak mau aku berhenti juga. Berbalik dan menatap kesal padanya. "Apa lagi yang kau inginkan?" "Kamu." Mudah sekali dia mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Setelah dua hari yang lalu dia mengeluarkan kalimat penolakan tegas untukku bahkan disaat aku hanya menatapnya, hari ini dia bilang menginginkanku. Aku curiga kalau dia ada sedikit gangguan di otaknya. Tapi jawaban yang dia berikan itu tidak mampu mengembalikan ketertarikanku padanya. Aku sudah terlanjur kesal dengannya. Oke, fisiknya memang menarik, tapi tidak dengan sikapnya. Mengandalkan fisik semata bukan tipeku. Fisik yang sempurna harus dibarengi dengan jiwa yang baik juga. Omong kosong hanya mengandalkan rupa. Dia berjalan mendekatiku. "Tidak bisakah kita kenal lebih baik? Lupakan saja apa yang sudah terjadi kemarin-kemarin. Bukankah kamu bilang sudah memaafkanku?" "Dimaafkan, tapi tidak dilupakan. Permisi." "Aku akan menunggumu di cafe." Mungkin aku juga harus segera mencari tempat tongkrongan baru. *** Yang namanya takdir ternyata memang tidak dapat dihindari bagaimana pun usaha yang kita lakukan. Aku tidak mendatangi cafe seperti permintaan pria yang mengaku bernama Rex itu. Aku sengaja menongkrong di taman kota kali ini. Meski baterai laptopku mungkin hanya bertahan beberapa jam, aku tetap memilih kesana. Sekalian cari suasana baru. Dan entah apa dosa yang telah kulakukan, dia menemuiku di taman. Aku bahkan sama sekali tidak melihatnya sebelumnya. Apakah dia mengikutiku? Sepertinya tidak juga, mengingat tadi aku beberapa jam ada di apartemen. "Kita memang berjodoh sepertinya. Padahal tadi pagi kita berjanji bertemu di cafe. Tidak menemukanmu di sana selama beberapa jam, aku memilih ke sini. Dan ternyata pilihanku sangat tepat." Apa dia tidak punya pekerjaan lain? Hm, maksudku, apa yang dia lakukan untuk bertahan hidup? Bisa sesantai ini bahkan disaat ia harus membesarkan seorang bayi? Dan kali ini dia sendiri, tidak membawa Ray, si gadis kecil nan lucu itu. Ingin terlihat single, huh? Eh, dia memang single. Hanya saja sudah punya ekor. Dan penampilannya kali ini sungguh menggoda iman. Kaos putih melekat sempurna dibalut dengan jaket kulit berwarna coklat. Bawahannya jeans hitam dan sepatu kets. Terlihat jauh lebih muda jika seperti ini. Aku mendengus kesal. Menulikan telinga akan apa yang coba dia bahas dan fokus kembali ke laptopku. Tapi yang terjadi dia malah mendekatkan wajahnya ke layar laptopku seolah ikut membaca apa yang kuketikkan di sana. Segera kututup benda tipis itu dan menatap marah padanya. "Apa yang kau inginkan sebenarnya?" "Berteman. That's it." "Kuota pertemananku sudah habis." "Special person?" "Aku tidak tertarik." Dia tertawa. "Hei, bukankah kau sejak awal sudah menatapku penuh keinginan?" "Itu hanya sebuah kesalahan. Oke, awalnya aku tertarik, tapi itu hanya karena ada sedikit penasaran. Selebihnya tidak." "Dan bukankah penasaran adalah awal dari pertemanan? Karena kau penasaran denganku, jadi kau ingin mengenalku lebih dekat lagi. Kau seorang penulis bukan? Tentu kau mengerti hal seperti itu." Aku terdiam tidak membalasnya. "Lalu apa yang membuatmu penasaran denganku? Hal apa yang ingin kau ketahui? Aku akan dengan senang hati memberitahukannya untukmu," lanjutnya. Aku terdiam sejenak. "Aku hanya penasaran wanita seperti apa yang telah berhasil kau taklukkan dengan wajahmu itu. Secantik apa dia hingga kau tertarik padanya," jujurku sedikit menoleh padanya, teringat dengan kalimat yang pernah dia ucapkan untukku di cafe. Seketika itu wajahnya menjadi datar. Tidak ada lagi senyum menggoda seperti yang dia lakukan sebelumnya. Apakah pertanyaanku menyinggungnya? "Sorry kalau membuatmu tersinggung." "Tidak masalah, hanya sedikit teringat dengannya." Rex mencoba memberikan senyuman tipis. "Aku akan menjawabmu. Dulu memang dia wanita tercantik yang pernah aku kenal. Wanita paling istimewa dari segalanya. Hanya saja semua sudah sirna sejak dia mengandung Ray." Dia membuang jauh pandangannya ke depan, menatap kosong ke keramaian di taman kota. "Apa dia tidak menginginkan kehadiran Ray?" Tingkat kekepoanku mulai naik. "Ya. Demi karirnya dia tidak menginginkan hamil saat itu. Dan akulah yang telah menghancurkan mimpinya. Tidak mungkin aku tega dia membunuh darah dagingku sendiri. Setelah semua itu, dia memilih untuk meninggalkan kami bahkan sebelum melihat anak yang telah dia lahirkan." Oh, aku menyesal telah membuatnya teringat akan masa sulitnya. Tapi dia semudah itu menceritakan semuanya, bahkan kami belum begitu kenal. Hanya pertemuan tak sengaja yang berawal buruk. "Sorry." Dia beralih menatapku. "Bagaimana denganmu? Apakah pria tadi pagi adalah masa lalumu? Sepertinya dia masih menyukaimu." Ternyata dia tak mau kalah juga. Kini giliranku yang dicerca pertanyaan darinya. Sudut bibirku terangkat saat menyadari cerita kami sedikit mirip. "Sepertinya sedikit mirip denganmu. Itu beberapa tahun yang lalu sebelum dia memutuskan untuk pergi ke hollywood. Mengejar mimpinya seperti mantan istrimu." "Dia aktor hollywood?" Aku mengangguk. "Wow, kau hebat sekali punya mantan aktor hollywood," kekehnya. "Apa hebatnya kalau hanya seorang mantan?" "Lagipula dia sudah menganggap kita ini sebagai suami istri." Dia tertawa saat mengatakannya. Aku juga tidak menyangka kalau Sean akan berpikiran seperti itu saat melihat kami bersama, bahkan tidak menanyakan apa-apa lebih dulu. Dan kalimat singkat Sean tadi membuat Rex memiliki kesempatan. "Teman?" Dia mengulurkan tangannya ke arahku setelah terdiam sesaat. "Hm." Aku berdehem tanpa membalas tangannya. Hal itu membuatnya menarik paksa tanganku untuk berjabat tangan dengannya. Dasar pemaksa. "Deal," lanjutnya dengan senyum tipis. Perhatianku kembali pada layar laptop. "Ray dimana?" tanyaku tanpa menoleh. "Di rumah bersama pengasuhnya. Dia sedang tidur saat aku pergi tadi. Lagipula bukankah seperti ini lebih baik?" Ayah lupa diri! Tanpa membantahnya, aku hanya menganggukkan kepala. Kedua tanganku masih asik menari-nari di atas keyboard. Ide untuk ceritaku serasa seperti mengalir lancar. Mungkin karena pengaruh suasana baru juga. "Kamu benar seorang penulis?" tanyanya beberapa detik kemudian. Pertanyaan itu hanya kubalas dengan deheman. Jika aku meninggalkan kegiatan ini, ide itu bisa lenyap begitu saja. "Novel?" lanjutnya dan aku mengangguk. "Roman?" Lagi-lagi aku mengangguk. "Kamu seolah sudah mengalami saja semuanya," celutuknya. Kalimat itu berhasil menghentikan kegiatanku. Aku menatap kesal padanya. "Penulis itu bukan berarti harus sudah mengalami semuanya. Bisa saja dari hasil penglihatan akan lingkungan sekitar, atau bahkan khayalan tingkat tinggi. Di sini aku hanya berimajinasi, bukan menceritakan pengalaman." Dia tersenyum kecil. Astaga! Senyuman itu sungguh menggoyahkan imanku. "Kak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD