Bab 3

1667 Words
Bima masih menatapku curiga. Entah bagaimana dia bisa menemukanku di taman. Dan sialnya, aku sedang bersama dengan Rex. Senang mempunyai adik yang selalu melindungiku, tapi ada saat-saat dimana dia menjadi adik yang mengesalkan dengan sifat protektif yang berlebihan. Over protective. "Ada hubungan apa di antara kalian?" tanyanya penuh interogasi. Duduk tegak di hadapanku dengan tatapan tajam penuh intimidasi olehnya. Sayangnya itu tidak akan berpengaruh besar untukku. "Tidak ada. Kami tidak sengaja bertemu di sana. Aku bahkan sengaja tidak ke cafe untuk mencegah dia menemuiku kesana." Kedua matanya memicing beberapa saat. "Baiklah, aku percaya kali ini," putusnya. "Oh ya, aku melihat Sean ada di sini. Kalian bertemu?" lanjutnya lagi. "Tidak sengaja bertemu tadi pagi di minimarket." Bima menarik nafas panjang. "Aku harap Kakak tidak tergoda lagi untuk kembali padanya. Dia seorang aktor, pintar berakting. Satu lagi, mama sama papa ingin melihat Kakak." Sebenarnya dia adikku atau kakakku sih? Terlalu banyak perintah. "Iya, Kakak akan berkunjung ke rumah." Lebih baik mengiyakan saja daripada dia mengajak berdebat. "Aku balik dulu. Kirana minta dijemput," katanya setelah melirik jam tangan mahalnya. "Sampaikan salamku untuknya. Dan jangan sampai dia yang lebih menguasai kamu," selorohku. Bima tertawa kecil. "Tidak akan. Keluargaku tetap nomor satu," balasnya sambil bangkit dari duduknya. Dia mengecup keningku singkat dan bergegas pergi. Meski sudah menginjak usia dewasa, dia tidak pernah malu melakukannya di hadapan orang banyak sekali pun. Jika tidak mengenal kami, bisa saja orang beranggapan kalau kami ini sepasang kekasih atau mungkin suami istri. Ugh, menggelikan. ~~~ "Gimana, Mas?" "Menarik. Seperti biasa karyamu memang selalu memuaskan. Kita akan terbitkan segera. Dan seperti biasa, Todi akan mengeditnya lebih dulu," kata mas Fandy. Seorang pemilik percetakan dimana aku selalu mencetak karya-karyaku selama ini. Dan dia memang selalu turun tangan untuk menilai novel yang akan diterbitkannya. Seminggu yang lalu aku sudah mengirimkan naskahku melalui email. Dan dari balasan yang aku terima, dia memintaku untuk bertemu hari ini. Dan disinilah aku sekarang. Berhadapan dengan pria berusia tiga puluhan ini. "Oh iya, Mas. Aku juga ada satu naskah lagi. Tapi menurutku tidak begitu menarik, makanya aku tidak kirimkan juga." Aku teringat dengan satu naskah yang aku buat secara iseng. Dan isinya adalah kehidupanku sendiri. Aku sulap sedemikian rupa dengan nama yang juga aku ubah dengan nama samaran. "Mas baca dulu deh," jawab mas Fandy. Beban di pundakku terasa lebih ringan sekarang. Itu berarti aku punya waktu untuk memikirkan cerita baru lagi. Masalah naskah yang baru kutunjukkan tadi, aku tidak terlalu menjadikannya beban. Jika memang tidak bagus, aku akan menyimpannya untukku sendiri. Atau mungkin bisa aku bagikan di blog pribadiku. Hari yang bebas, kuputuskan untuk mengunjungi kedua orang tuaku. Berlibur setidaknya beberapa hari ke depan sebelum mas Fandy menghubungiku lagi. Kami masih berada di satu kota tapi aku jarang mengunjungi mereka karena kegiatanku sendiri. Dan aku lebih suka hidup sendiri. Lebih tenang saat aku harus menuangkan ide-ideku ke dalam tulisan. Mengendarai mobil sendiri sepertinya akan sedikit menyusahkan. Saat menghubungi Bima, ternyata dia masih bekerja hingga sore nanti. Kalau harus menunggunya, akan sedikit membosankan. Kupilih untuk naik angkutan saja. Tidak ada yang salah dengan angkutan umum. Saat masih berjalan menuju halte, mobil mewah berwarna putih itu berhenti di sebelahku. Aku sama sekali tidak mengenalinya. Bahkan tidak merasa kalau aku mempunyai teman yang mempunyai mobil semewah itu. Aku meneruskan langkahku hingga akhirnya suara klakson itu menggentikan langkahku. "Hana!" teriaknya memanggil namaku. Kuputar tubuhku melihat ke arah sumber suara. Rex? Apa yang dia lakukan? "Ada apa?" balasku malas. Dia memasang senyum menggodanya. "Kamu mau kemana? Buru-buru sekali." Dia bertanya dari dalam mobilnya, hanya menurunkan kaca jendela. Hm, aura seksinya sangat terlihat dari balik kaos abu yang dipakainya itu. Otot lengan dan perutnya bahkan bisa terlihat. "Ke rumah orang tuaku," jawabku jujur. Mencoba mengabaikan penampilannya yang sedikit menggoda imanku. "Ayo aku antarkan." ~~~ Selama perjalanan, Rex memanfaatkan waktu untuk mengetahui lebih banyak lagi tentangku. Dia terus saja bertanya tentangku tanpa memberitahukan tentang dirinya. Dan jalanan yang sedikit macet membuatnya mempunyai waktu lebih lama. Yang biasanya aku bisa tempuh dalam dua puluh menit, kali ini sudah hampir satu jam. Sepertinya akhir pekan ini banyak sekali orang yang keluar dari kediamannya dan berada di jalanan. Aku sendiri juga bingung bagaimana bisa tadi aku menerima tawarannya dengan mudah. "Yang itu," tunjukku pada salah satu rumah bercat putih di antara rumah-rumah di komplek ini. Rumah yang menjadi saksi pertumbuhanku, tapi tetap terawat dengan baik. Rex memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang memang muat menampung setidaknya tiga mobil. Dan mobil papa sudah terparkir indah di sana. "Terima kasih," kataku saat akan turun. Tapi yang terjadi, lenganku ditahan olehnya. Membuatku menoleh kembali padanya. "Aku tidak ditawarkan untuk masuk?" tanyanya dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Aku menghela nafas. Kalau sudah begini, mama sama papa akan mencurigaiku. Keduanya pasti akan menghujani Rex dengan ribuan pertanyaan. Ah, aku benci keadaan seperti itu. "Ya sudah," kataku pada akhirnya. Kasihan juga dia sudah mengantarkanku jauh kesini. Aku mengucapkan salam saat membuka pintu. Ada mama sedang duduk di ruang tamu. Mengatur ulang bunga yang selalu ada di meja tamu. "Eh, baru aja diomongin udah nongol aja anaknya," celutuk mama sembari memasukkan satu tangkai bunga ke dalam vas dan mengatur posisinya. Langkahku cepat menghampirinya. Mencium kedua pipi mama. Dan hanya beberapa detik hingga sosok wanita terhebat di hidupku itu menyadari keberadaan Rex. "Siapa?" tanya mama padaku dengan gerakan mata menunjuk Rex. "Teman, Ma." Rex berjalan santai menemui mama, meraih tangan mama dan menciumnya. "Saya Rex, Tante." Mama tersenyum lembut dan menyuruh Rex untuk duduk sementara ia menyelesaikan pekerjaannya yang memang sudah hampir selesai. "Papa mana?"tanyaku sambil menghempaskan tubuhku di salah satu sofa tunggal. Menaruh tas selempang yang kubawa di sebelahku. Mama menunjuk ke arah belakang dengan dagunya. "Ada di belakang. Kamu siapkan teh untuk teman kamu," perintah mama. "Bi Inah kemana memangnya?" Aku ingat betul terakhir kali aku ke rumah ini, sosok paruh baya yang sudah lama mengabdi untuk keluargaku itu masih ada di rumah ini. Mama menghela nafasnya. "Suaminya sedang sakit. Sudah seminggu ini tidak bekerja." Ah, di usianya yang memang sudah tidak muda lagi, suami bi Inah memang sering jatuh sakit. Dengan patuhnya aku berdiri dari dudukku, berjalan menuju dapur. Sosok papa muncul dengan cepat dari balik pintu kamar mandi. "Eh, ada putri kesayangan papa," sapanya dan memelukku. Hm, pelukan dari pria cinta pertamaku ini memang selalu menenangkan. Dan pastinya selalu kurindukan. "Papa apa kabar?" tanyaku. "Baik, Sayang. Kamu ini semakin lama saja berkunjung ke sini. Padahal tidak jauh juga. Dan lihat badan kamu sekarang. Kenapa makin kurus begini?" Papa selalu saja seperti ini. Memperhatikan bahkan setiap detil tentangku. Mama saja tadi tidak begitu menyadarinya. "Sedikit pusing, Pa," kataku memberi alasan. Padahal memang selera makanku yang berkurang belakangan ini. Papa lebih dulu ke ruang tamu karena aku masih harus menyelesaikan membuat teh. Saat tiba di ruang tamu dan menyajikan teh, benar saja dugaanku sebelumnya. Kedua orang tuaku sudah memulai sesi wawancara tak terencana itu. Entah sudah berapa pertanyaan yang terlontar, aku tidak tau. Padahal hanya berselang lima menit saat aku tidak ada disana. Sorot papa bahkan terlihat sangat serius. "Apa kau menyukai Hana?" Aku tersedak mendengar pertanyaan papa. Apa-apaan itu? "Iya, Om." Dan dengan mudahnya Rex menjawabnya seperti itu. Oh tidak! Jangan-jangan dari awal dia memang sudah merencanakan ini? Sejak dia menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. "Kau berniat serius dengannya?" Rex tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Saya datang sekalian untuk meminta restu dari Om dan Tante." Papa tidak juga mengendurkan keseriusan di wajahnya. "Tapi kami belum mengenali siapa kamu sebenarnya. Kami tidak bisa dengan mudahnya menikahkan putri kami dengan sembarang orang." Kulihat Rex sedikitpun tidak merasa terintimidasi dengan tatapan tajam papa. "Itu sebabnya saya datang untuk mengenalkan diri," balasnya. Dan cerita itu berlanjut dengan dia yang menceritakan kehidupannya secara keseluruhan. Tidak menutupi kenyataan bahwa dia adalah seorang duda dengan anak satu. Sorot papa menunjukkan ketidaksukaan atas fakta itu. Meski usia Rex masih muda, tapi kenyataan itu tetaplah tak bisa diabaikan. Sapaan salam dari pintu depan menghentikan pembicaraan. Bima muncul dari sana. "Eh, Kak Hana datang?" sapanya dan ikut bergabung dengan kami. Tidak segan-segan mencium keningku seperti biasanya. Bahkan mengambil posisi di sebelahku, menjadi pembatas antara aku dan Rex, karena sofa tunggal yang tadi aku tempati sudah diisi oleh papa. "Cari saja wanita yang sepadan denganmu. Jangan menghalangi masa depan putri kami." Suara datar dan dingin dari papa membuatku bergidik ngeri. Tidak ada bedanya dengan Bima yang juga over protective padaku. Rex menatap papa tidak percaya. Ada sedikit gurat tidak setuju di wajahnya. "Memangnya apa yang salah dengan status sebagai duda, Om?" Owh, dia berani sekali pada papa. "Selama saya masih menyayangi dan mampu membahagiakan Hana, tidak ada masalah, 'kan?" Emosi papa semakin naik, terlihat jelas dari wajahnya. "Statusmu sebagai duda yang bukan karena istrimu meninggal sudah menujukkan kalau kamu bukan calon suami yang pas untuk Hana. Dari pernikahan sebelumnya saja kamu tidak bisa mempertahankannya, bagaimana dengan selanjutnya? Kami tidak mau mengambil resiko." "Pa," bujukku lembut. Bukan ingin meminta restu seperti yang diinginkan oleh Rex, tapi untuk mengingatkan papa. Selama ini aku diajarkan olehnya untuk tidak menghina orang lain. Dan saat ini aku tidak ingin papa melanggar apa yang dia sudah ajarkan pada kami. Kulihat mama juga mengelus lengan papa seolah mengingatkannya. ~~~ Kubaringkan tubuh lelahku di atas kasur yang sudah cukup lama tidak kutempati. Aku masih tidak percaya dengan hal yang terjadi tadi. Papa mengusir Rex dengan halus. Sepertinya papa benar-benar tidak menyukainya. Eh, kenapa juga aku harus memikirkan hal itu? Kami tidak ada hubungan apa-apa. Hanya sekedar teman yang bahkan belum genap sebulan saling kenal. Tapi tetap saja. Sikap papa padanya tadi membuatku merasa bersalah. Rex bahkan sudah meluangkan waktunya untuk mengantarkanku. Aku yakin dia bukan pria yang tidak punya pekerjaan hingga bebas bepergian kemana-mana. Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Nomor tak dikenal. Sedikit bimbang untuk menjawabnya, tapi bisa jadi hal yang penting. "Halo." "Kamu baik-baik saja?" Suara ini, kalau tidak salah adalah milik Rex. Dari mana dia mendapatkan nomor ponselku? Meski sudah kenal lebih dari dua minggu, aku tidak pernah memberikannya hal itu. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf soal tadi, aku tidak menyangka kalau papa akan bersikap seperti itu. Tapi memang semua karenamu juga. Siapa suruh mengaku-ngaku jadi pacarku?" Niatnya ingin meminta maaf, aku malah menyalahkan dia lagi. Suara tawa terdengar dari seberang. "Karena memang itu yang aku inginkan. Tapi ternyata tidak mudah." Aku terdiam. "Hana, kau masih disana?" Suaranya kembali menyentakku. Aku hanya membalasnya dengan gumaman. "Tidak perlu terlalu dipikirkan. Aku tidak apa-apa. Hanya butuh usaha lebih lagi. Ya sudah, aku harus bekerja lagi. Bye." Terserah dia saja. Seperti katanya, aku tidak akan memikirkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD