Still You

1357 Words
Nico. "Kamu nggak ketemu sama Renita?" Tanya Mama saat aku sampai di rumah. Oh, jadi cewek tadi Renita. "Kamu habis dari mana?" Aku mengabaikan ucapan Mama, lalu masuk ke kamarku, untuk mengambil barang-barangku yang masih tertinggal di rumah orangtuaku. Sekarang aku tinggal di rumahku sendirian. Ya sebenarnya juga tidak sendirian sih. Ada pembantu, Mbok Gi, yang biasa mengurus rumahku untuk bersih-bersih--cuci baju, menyapu dan ngepel. Itupun datang dua hari sekali. Aku keluar kamarku, dengan membawa semua barang yang tersisa. Sampai Mama menghalangi jalanku untuk keluar. "NICOOO!" Seru Mama lagi. "Cepetan jelasin ke Mama kenapa kamu tinggalin Renita." "Too high Ma," jawabku, "Cewek high maintenance kayak dia bukan tipe aku Ma. Mahal. Ngabisin uang." Mama menarik napas panjang, tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Terus tipe kamu yang gimana? Mama harus cari yang seperti apa?" "Cia." Detik berikutnya, Mama menarik telingaku. "Adududuh! Mama! Sakit tahu!" "Sakit, sakit! Sakitan hati Mama yang harus ngeliat kamu terus-terusan mikirin Cia terus! Apa-apa Cia, dikit-dikit Cia! Kenapa sih?!" Mama melepaskan tarikannya dari telingaku, dia memegang dadanya. "Mama kenapa?" Tanyaku kaget. Napasnya tersengal-sengal. "Mama! Kak, bawa ke kamar Kak!" Seru Nana yang baru pulang kantornya. "Mama tunggu di sini sebentar ya, biar Nana ambilin obatnya." Obat? Mama sakit apa? Setelah selesai mengurus Mama sebentar aku bertanya pada Nana tentang Mama. Katanya, Mama sempat kena serangan jantung, dan karena tidak mau membuatku khawatir. "Titip Mama sama Papa ya, Na," kataku. "Maafin Kakak kalau nyusahin kamu." "Beres kok Kak," Jawab Nana, "Aku nggak masalah kok. Lagian, tugasnya anak perempuan memang jaga orangtuanya bukan?" Aku tersenyum, "Iya memang. Tapi nggak terus-terusan sampai kamu lupa cari jodoh kali." "Kakak sendiri?" Tanyanya balik. "Kakak beda urusan, Na. Kamu tahu sendirilah," jawabku kalem, dan bangkit berdiri. "Kakak pulang dulu ya. Kabarin Kakak kalau ada yang gawat di rumah. Oke?" "Siap Bos!" ----- Pagi harinya, aku melihat UGD sudah ramai. Dengar-dengar subuh tadi ada kebakaran di dekat perumahan yang letaknya beberapa kilo dari rumah sakit. Awalnya, mau ditolak oleh UGD, tapi Abby langsung memberontak, dan teriak, untuk menerima pasiennya. Aku juga kebagian jatah untuk mengobati pasien yang terkena luka internal. Intinya, keadaan UGD saat ini sangat seru. "Lo udah sadar, Abs?" Tanyaku padanya saat jam menunjukkan pukul sepuluh di tanganku. "Nih. Minum dulu." "Masih hangover gue. Tapi sukur deh, banyak yang nolongin UGD tadi," balasnya. "Lo juga nggak sibuk operasi kan?" "Lagi nggak. Yang banyak pasiennya kan elo bukan gue," sahutku diiringi tawa. "Makanya gue bilang ikut gue aja waktu itu jadi bedah plastik. Lo masih mau saraf, lama-lama sarap aja lo sekalian!" Balasnya dengan tawa lebih keras lagi dariku. Masih saja kebiasaannya mengataiku dengan pilihanku. Dulu dia memang orang yang menarikku untuk ikut-ikutan masuk bedah karena Jason memilih penyakit dalam. Dia bilang, dari dulu dia memang mau jadi pembedah, tapi karena nggak ada teman, jadi dia merengek padaku untuk menemaninya masuk bedah. Yap, aku sendiri juga cukup suka dengan tantangan untuk membedah-bedah. Makanya aku mengikutinya. Saat sudah saatnya memilih spesialisasinya dari bedah, dia ngotot mau ambil bedah plastik, dan mengajakku juga. Tapi aku bilang kurang tantangannya, maka aku ambil saraf. Kalau mau banyak pasien dan uang memang bedah plastik sih, seperti yang Abby pilih. Jangan tanya aku berapa banyak uang yang dia hasilkan sebulan. Dia sendiri membuka klinik kecantikan dengan beberapa temannya yang lain, dan yang kulihat, kliniknya laris-manis bos! Nggak pernah sepi dari pasien. "Ubah-ubah muka orang nggak seseru buka-buka otak orang," balasku. "Huu! Itu sih alesan lo aja!" Balasnya. "Dokter Abby, ada pasien mau melahirkan," kata seorang perawat yang menghampirinya. "Bawa ke kandungan langsunglah," balasnya. "Anu... Pasiennya ditolak oleh departemen kandungan." Abby melotot. "Gue cabut dulu Nic," katanya padaku, lalu berlari cepat menuju Si Pasien yang mau melahirkan itu. Memang, dia perempuan yang payah. Tapi dia dokter yang hebat. Tak lama berselang, Farlos datang menghampiriku. "Gimana keadaan cewek gua?" Aku tersedak minumanku sendiri karena pertanyaannya itu. "Apa lo bilang? Cewek lo?" "Abby." "Dia juga nggak mau sama lo kali. Mantannya aja Jason Han, dokter selebriti yang terkenal di Indonesia dan Korea. Lo apa bandingannya sama dia?" Farlos melebarkan pupil matanya, "Heh, gue udah stop cari cemceman di Fallout demi dia loh." "Ya lo mah tukang tebar benih sana-sini. Ati-ati USB lo rusak aja sih," kataku asal, "Oh, atau lo sengaja jadi dokter anak karna mau nyoba sama yang anak kecil lagi? Emang sih sekarang lagi ngetren, sampe masuk TV." "Omongan lo emang suka bener ya Nic," kata Farlos dongkol, "Ya kagalah. Gini-gini gue nggak pernah main colok. Ke Fallout cuma buat refreshing aja, sama nemenin itu tuh.. Dokter UGD paling cantik." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku saja. Ya memang Farlos kelihatannya blangsak di luarnya. Tapi dia tidak akan melakukan perilaku asusila pada perempuan manapun. Apalagi, disaat dia sendiri menyandang titel dokter. Beda halnya dengan Andre. "Hari ini Andre pulang tuh dari Abu Dhabi, ngumpul yuk? Ajak Abby juga sekalian," kata Farlos. Aku hanya menggeleng. "Nggak. Sekarang tanggal 19, Los." Farlos manggut-manggut. "Yah.. Okedeh. Biar Andre kapan-kapan aja ngumpulnya. Eh iya, salam ya buat Cia." "Sip," sahutku. "Kerja yuk. Entar dilaporin anak Presdir loh, dibilang makan gaji buta," sindirku. "Yeh... Ya udahlah." ----- Untunglah aku berhasil menyelesaikan konsultasi jam tiga. Lalu aku naik ke ruang perawatan untuk melihat keadaan pasien-pasienku. Sesudahnya, aku pergi ke tempat yang biasa kudatangi tiap tanggal 19 selama sepuluh tahun terakhir. Rumah Cia yang ada di daerah pinggiran kota Jakarta. Tempatnya cukup sejuk jika didatangi sore-sore seperti yang aku lakukan saat ini. Aku membawakan bunga favoritnya juga. Mawar kuning dan merah seperti saat aku melamarnya dulu. "Hai Sayang," kataku, "Maaf aku sibuk terus akhir-akhir ini. Masih banyak orang sakit di rumah sakit yang perlu dokter Lis, jadi harap maklum ya. Fans aku di rumah sakit banyak banget. Kalo kata Abby, mending ikut dia ke bedah plastik biar makin laris manis. Tapi kalau aku ke bedah plastik entar aku malah operasi orang-orang jadi mirip kamu." Aku merasa menceritakan apapun dengan Cia walaupun dia tidak bisa menjawab apapun, tapi aku tetapnakan menceritakannya segala hal yang aku alami. Sambil memandangi rerumputan hijau disini, aku bisa menceritakan kepenatan yang kurasakan selama ini kepada Cia yang tak menjawab apapun. "Kamu tahu? Eric udah balik dari Chicago," kataku, "Ashley udah buka restoran baru barengan Ramsey sama Sammy, namanya Anomali Gallery. Mereka juga menjual lukisan-lukisan yang aku buat katanya, dari pada jamuran, mendingan di pajang, terus dijual gitu deh. Terus..." Aku melanjutkan ceritaku. Sampai aku mendapat telepon dari rumah sakit. "Halo?" "Maaf Dok, tapi ada pasien yang harus segera ditangani." "Pasien mana lagi? Bukannya tadi sudah tidak ada pasien? Operasi juga nggak ada kan?" Tanyaku balik pada Nita yang menjawab. "Yang sakit Dokter Indra, Dok..." Hell yeah. "Bedah umum saja." "Tapi Dok... ada penyumbatan di medulla oblongata--batang otaknya. Departemen bedah umum tidak mau ambil risiko." Dokter Indra adalah konsulen bedah saraf di rumah sakit. Masalahnya adalah, hanya ada aku dan beliau saja yang menjadi ahli bedah saraf. Jadi, kalau beliau sakit, hanya tersisa aku. "Ya sudah. Satu jam aku baru sampai sana. Siapkan dulu semuanya, termasuk anestesi, patologi anatomi dan penyakit dalam." "Baik Dok." ----- Operasinya selesai sekitar jam sepuluh malam, dan aku pun pulang ke rumahku. Rumah yang seharusnya menjadi tempat tinggalku dan Cia juga anak-anak kita. Mungkin anak-anak kami sudah SD saat ini jika aku tetap menikah dengannya. Jika saja Cia tidak mengalami kecelakaan itu. Aku sering memikirkan apa yang kira-kira terjadi jika aku menikahinya, dan tetap menjadi pilot. Mungkin, dia akan merasa kesepian jika aku terus-terusan pergi kesana-sini. Tapi, malah aku sekarang yang kesepian tanpanya. Walaupun aku memiliki segalanya, keberhasilan di rumah sakit dan uang yang banyak. Tetap saja aku tidak bisa mendapatkan kehangatan dan rasa cinta yang aku rasakan seperti saat aku masih memiliki Cia. Bahkan, meski aku berhenti menjadi pilot, dan tidak ke butiknya, atau tempat lainnya yang sering kita datangi bersama dulu, tetap saja. Aku tidak bisa melupakannya. Masih tentang dia. Masih semuanya tentang Cia. Aku merebahkan badanku di atas ranjang dan memejamkan mataku sejenak. Ingin sekali aku bermimpi. Dalam mimpi, aku bisa bertemu dengannya. Memeluknya. "Sekarang gue ngerti Lis, kenapa lo bilang lo seneng banget kalo bisa mimpiin bokap lo dulu," gumamku pelan, "Karena lo sayang banget kan sama dia, dan karena kangen? Sekarang gue ngerti Lis. Gue juga kangen sama lo." Sangat. Aku sangat, sangat merindukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD