Day By Day

1541 Words
Nico. "Pemulihan pasca operasi itu penting Dok. Dokter sendiri kalau punya pasien seperti ini selalu meminta pasiennya istirahat total bukan? Saya bermaksud memberi saran terbaik yang saya pikirkan Dok." Dari tadi aku berusaha membujuk Dokter Senior yang aku operasi minggu lalu itu untuk beristirahat jika masih ingin bekerja di sini. Aku tidak memberitahukan siapapun sebenarnya tentang keadaan Dokter Indra saat ini. Sebenarnya aku hanya memberitahukan Abby. Bukannya aku jahat, tapi Abby sendiri yang bilang kalau sampai ketahuan Dokter Indra terkena stroke, maka dia akan diberhentikan secepatnya. Ayahnya tidak akan mengizinkan kalau sampai ketahuan dokter yang sudah sakit—apalagi stroke—untuk melakukan operasi lagi. Karena, dokter yang sudah terkena stroke, tidak akan bisa mengobati pasiennya seperti sebaik sebelum dia terkena stroke. Terlebih, arena yang dipegang Dokter Indra adalah bedah saraf sepertiku. Kami membuka dan menutup kepala orang, apabila terjadi tremor, tentunya hal itu tidak bisa dimaafkan. Apa jadinya pasien kami nanti? Aku bilang pada Dokter Indra kalau beliau sangat beruntung, stroke ini masih ringan, dan penyumbatannya masih kecil. Tapi gaya hidup, dan pola makannya harus diubah jika ia masih ingin umur panjang. "Ambil surat pengunduran diri yang aku letakkan di laci mejaku," kata Dokter Indra. Aku melihatnya terkejut. "Sebenarnya aku sudah tahu kalau hari ini akan datang. Hanya saja, aku tidak menyangka kalau aku masih bisa diselamatkan oleh tangan ajaibmu itu." "Dokter terlalu berlebihan." "Aku sungguh-sungguh, Nico." Seulas senyum menghiasi wajahnya. Jarang-jarang aku melihat Dokter Indra tersenyum seperti ini. "Sudah saatnya aku pensiun. Aku rasa rumah sakit ini juga mampu bertahan dengan satu dokter bedah saraf yang hebat sepertimu." "Tapi Dok..." Hebat! Iya aku akui memang aku hebat. Ini bukan sombong loh, hanya sekedar pengakuan saja. Bahkan guruku sendiri--Dokter Indra maksudnya--mengatakan kalau aku hebat. Tapi hanya satu bedah saraf untuk rumah sakit sebesar ini mana cukup? Yang ada aku bisa tumbang kalau begini. Kalian pernah melihat berita yang mengatakan dokter meninggal karena kelelahan? Jujur saja, aku nggak mau mati konyol seperti dokter yang ada di berita itu. Maksudku, ini bukan seperti di pelosok sana yang kekurangan dokter. Ini Jakarta loh! "Dokter Joseph juga sudah merekrut dua bedah saraf lagi dari rumah sakit lain, dan ada satu residen bedah saraf yang akan datang. Kau harus ajari dia, ingat seperti saat kau belum mengerti apa-apa, kau memerlukan penolong. Begitulah residen baru itu." Ucapan Dokter Indra memang membuatku sedikit tenang, namun tetap saja aku akan merasa kehilangan mentorku selama ini. "So, is it a farewell for us, Doc?" Dokter Indra menggeleng. "No. Tentu saja tidak. Kau masih bisa menemuiku di universitas dan rumahku kalau kau mau. Tak akan kulupakan jasamu." Aku mengangguk paham. Benar, aku bisa membedah dengan mahir mungkin memang itulah keahlian yang aku miliki. Tapi, aku tidak akan sehebat ini tanpa adanya Dokter Indra yang bersedia menjadi ensiklopedia berjalan untukku. "Terima kasih banyak, Dok." ----- Dokter Indra keluar dari rumah sakit, diikuti, sekaligus hari inilah hari dimana beliau dipensiun. Sedih memang, harus kehilangan dokter hebat, baik dan rendah hati seperti dirinya. Tapi jangan salah, aku punya tiga teman baru di bedah saraf. Well, akhirnya usulku pada Abby didengar juga oleh Dokter Joseph. Aku bilang pada Abby sekitar setahun yang lalu kalau bedah saraf kekurangan orang, dan butuh tambahan pasukan. Abby bilang dia akan sampaikan pada Dokter Joseph. Akhirnya setelah penantian yang cukup panjang, pasukan baru itupun datang. Satu orang konsulen yang beberapa tahun lebih muda dari Dokter Indra, satu dokter sepertiku yang kira-kira usianya baru empat puluh tahun awal. Dan, seorang residen spesialis tahun pertama. "Ciyeh yang udah nggak sebatang kara lagi," kata Farlos. Aku melirik Farlos yang asal melenggang masuk ke dalam ruang kerjaku. "Ada apaan lo? Tumben nggak ke UGD. Biasanya jam segini udah mulai ganggu-ganggu Abby?" "Lagi sibuk dia." Aku mengerutkan keningku, "Mana pernah UGD nggak sibuk?" "Maksud gue, dia lagi sibuk sama anak co-ass. Kalo UGD sibuk, dia baka manggik dokter umum manapun buat bantu dia sih. Lo tahu sendiri dia kayak gimana kalau udah main ancam-ancaman." "Senjatanya Dokter Joseph," kataku, dengan mata yang terfokus pada rekam medis pasienku, seorang anak kecil yang terkena tumor spinalis. "Andre masih di sini?" "Masih. Libur dua bulan dia." "Bohong lu!" "Demi apapun deh! Dia bilang, masa perpanjang kontrak lagi nih soalnya, makanya dia dapet jatah bebas dua bulan," jelas Farlos. "Lo boleh tanya langsung sama dia kalau mau. Eh iya, mau makan nggak? Lo laper nggak?" Aku menggeleng. "Yailah, pasien lo nggak bakal lewat kok kalau lo tinggal makan sebentar," kata Farlos. "Indira, umur tujuh tahun, diagnosanya tumor spinalis." "Pasien gue tuh." Pernyataannya membuatku mendongak. "Lo kaget? Awalnya sih memang dia kesulitan berjalan, kata ibunya di sering jatuh. Dan baru sebulan ini ketahuan kalau dia terkena tumor, makanya aku pindahkan ke onkolog," jelas Farlos, "Eh... Orang onkolog mindahin ke elo lagi ya, Nic? Ckck... laris manis nih dokter otak encer ini." "Gue aja bingung mau diapain. Kalau gue buang tumornya, dia bakal susah jalan lagi. Tapi kalau nggak di buang, ini nyebar, dan lumpuh total." Farlos ikutan melihat hasil CT scan, dan rontgentnya. "Coba lo omongin sama onkolog dulu gih. Harusnya ini bidang mereka sih, bukan elo. Nanti biar gue yang urus pasca operasi." Aku mengangguk setuju. "Kalo lo punya anak, mungkin seumuran anak lo Nic, anak ini," kata Farlos. "Anaknya baik deh, ceria dan gemesin banget. Gue jamin lo nggak bakal tega ngeliat dia lumpuh." Aku mengangguk lagi. "Ya udah. Sekarang makan dulu yuk? Gue laper nih." Sebelum keluar dari ruang praktikku, Farlos sempat mendapat telepon dari perawatnya untuk jam visite. Tapi dia meminta untuk jadwalnya diubah jadi sore saja agar bisa makan siang dulu sekarang. Saat kami menuju kantin rumah sakit, kami berdua melihat sosok tubuh tegap dengan postur tubuh yang atletis. "Dre!" Panggik Farlos. Andre menoleh, melihat ke arah kami berdua. "Ngapain lo ke sini?" Tanyaku. Andre malah cengengesan nggak jelas, "Cari dokter cantik dong... Hahaha! Sayangnya gue malah dapet dokter cowok tadi. Masa batang ngadu ama batang?" "Butuh belaian ya Si Mas yang satu ini," goda Farlos sambil mengelus pipi Andre. "Lepasin tangan lo nggak? Atau gua main kasar nih." "Ih, Mas Andre bisa aja deh..." Goda Farlos lagi masih dengan nada bicaranya yang menggelikan itu. "Dokter check-up hari ini emang cowok semua. Yang cewek biasanya hari Jumat kebanyakan. Lo salah dateng bro." "Bilang-bilang dong kalo dokter cewek kapan jadwalnya," balas Andre lagi. "Sari gimana sama Sari?" Celetukku di sela-sela ocehannya, "Lo bilang cantik badai tuh pramugari baru." "Bedeuh! Nggak nahan gua mah sama Sari. Asli, bohay banget itu bodinya!" "Ya Tuhan, lo bolos gereja berapa tahun sih?" Dengus Farlos sambil geleng-geleng kepala, "Pantes aja nyokap lo masih gencar jodohin lo sama anaknya tante-tante di gereja. Ternyata otak lo itu isinya nggak bener semua!" "Perlu gue bedah dulu nggak isi otak lo apa aja, Dre?" Tawarku, "Gratis deh biaya operasi dan konsultasi dokternya. Khusus buat Pilot m***m macam lo." "Bajigur! Pilot m***m muka lo!" Serunya kesal. "Anyway, lo berdua mau ngapain?" "Makan." "Ikut dong. Pulang ke rumah sekarang yang ada gue di tarik ke gereja nih. Ya alesannya anter nyokaplah, ya latihan main gitarlah, ya apalah alesannya. Gue males nih." Aku manggut-manggut, "Ya udah. Makannya juga di kantin situ doang sih." Kita bertiga duduk di meja bundar dengan tiga kursi yang mengitarinya. Tentu saja kita makan bersama-sama sambil bercerita juga. Kayak cewek-cewek juga sih kalau kita sudah bercerita tentang ini dan itu. "Sari tahunya udah punya tunangan... Apa daya gue harus kerangkengin lagi deh barang gue. Tadinya udah mau gua sikat tuh!" "Mana sih fotonya?" Tanya Farlos. Setelah ditunjukkan fotonya oleh Andre, komentar Farlos hanya singkat. "Yah. Bodinya mah biasa aja. Masih lebih oke Nana." Aku langsung membulatkan mataku saat nama adikku disebut. "Nana udah cantik, pinter, kerjanya oke punya. Bodinya juga semok abis dah!" "Lo kenapa jadi ngomongin adik gue, t***l?" Tanyaku kesal. "Kenyataan, Nic," jawab Farlos santai. "Adik lo oke punya banget." "Umur lo nggak akan sampe akhir tahun ini kalo sampe adik gue jadi korban lo!" Seruku pada Farlos yang hanya cengengesan, karena ucapanku barusan. "Lo juga!" Tambahku pada Andre. "Lo berdua tuh serupa tapi nggak sama." Andre penyuka tidur sama cewek cantik. Farlos penggombal ulung, yang jomblo paten. "Mending kita, jelas suka sama cewek. Lah elo? Dikira cewek di dunia ini udah kehabisan jumlahnya!" Seru Andre. "Gue tidur sama cewek, tapi nggak main colok." "Gue juga cuma gombal sana-sini doang kok. Nggak pernah serius sama cewek-cewek lain. Kecuali yang itu tuh..." tunjuk Farlos pada seorang perempuan yang rambutnya kuncir kuda, memakai jas putih panjang, lengkap dengan tanda pengenal. "Ngomongin gue?" Tanya Abby, sambil menarik satu kursi dari meja sebelah. "Katanya Farlos serius waktu dia bilang ngedeketin lo, Bi," jelasku. "Cih! Percaya kali gue sama bualannya!" Aku dan Andre tertawa lepas. "Bukannya lo lagi ada anak co-ass baru, Abs?" Tanyaku lagi disela tawaku yang mulai mereda. "Batal?" "Lagi gue babuin dulu mereka." "Babuin?" Ulang Andre. Abby mengangguk penuh kemenangan, "Iya. Biar mental mereka nggak mental tempe. Jadi, gue harus didik mereka biar nggak manja. Hahaha! Udah pada makan belom?" "Barusan selesai." "Oh... ya udah deh. Gue makan di ruangan gue aja. Dadah!" "Gimana gue nggak bisa serius coba sama dia? Cantik, pintar, mandiri, kurang apa coba?" Tanya Farlos padaku dan Andre setelah Abby meninggalkan kami. "Kurang cowok yang mau jadi suaminya. Tapi nampaknya..." Andre menggantungkan nada bicaranya yang membuatku menyeringai. "Nampaknya apa?" Andre mengedipkan matanya kepadaku. Kami berduapun berseru kompak, "Nampaknya dia bukan jodoh lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD