6. Informasi

1527 Words
"Saya bisa minta tolong?" tanya Agung. Dia lebih dulu membenarkan letak duduknya, menarik kursi yang dia duduki ke arah depan. "Sudah menjadi tugas saya untuk menjalankan perintah dari Bapak, selama itu tidak bertentangan dengan hukum dan agama. Jadi, apa yang perlu saya bantu?" Ragu, Agung mengetukkan jemarinya di atas meja kayu yang terbuat dari jati itu. Bunyi ketukan yang samar sempat menjadi jeda di antara pembicaraan mereka. "Tolong cari informasi lengkap tentang Anggraeni, Kabag Pemasaran.". Setelah berucap demikian, Agung heran karena Radi tidak kunjung menjawab. Pria itu malah diam dengan wajah datar andalannya. "Kenapa? Kamu enggak bisa?" Radi menggeleng. "Saya bisa. Tapi yang sekarang sedang saya pikirkan adalah kenapa tiba-tiba Bapak mau tahu tentang Bu Anggi?" Lalu mulut Radi terkatup selama beberapa saat dengan kening yang berkerut samar. "Apa pertanyaan Bapak tadi soal seseorang yang sengaja membuat buruk citranya sendiri adalah tentang Bu Anggi?" Melengos, Agung masih saja tidak terbiasa dengan insting tajam yang dimiliki oleh Radi. "Ya, kamu bisa anggap seperti itu. Jadi apa saya bisa mengandalkan kamu juga untuk yang satu ini?" Kepala Radi langsung mengangguk. Pria itu mengangkat lengannya, menatap pada jam tangan yang dia kenakan hari ini. "Nanti malam saya akan kirimkan file nya ke Bapak." Tersenyum puas, Agung mengangguk. "Terimakasih! Kamu bisa kembali ke tempat kamu." Begitu Radi berbalik badan dan meninggalkan ruangan kerjanya, Agung berniat untuk kembali bekerja. Namun belum sempat niatnya terlaksana, sebuah pesan masuk ke dalam gawainya. Mata Agung langsung menatap malas pada nama yang sudah lama mendekam di sana. Bahkan Agung lupa mengganti nama wanita itu di ponselnya walaupun dua tahun telah berlalu semenjak mereka bercerai. 'Aku akan bertunangan dua minggu lagi. Aku harap kamu bisa datang.' Agung langsung mendengus tawa. Niat dari mantan istrinya ini terlihat jelas sekali. Apalagi kalau bukan untuk pamer? Dulu, wanita itu selalu berteriak karena Agung yang baru saja masuk kantor secara resmi dengan jabatan tinggi, jarang sekali menghubungi nya. Agung sibuk mengurus banyak hal yang sebelumnya adalah tanggung jawab Ayahnya. Meskipun begitu, setelah melihat sang Istri yang luar biasa marah karena jarang diperhatikan, Agung selalu berusaha untuk pulang saat jam makan siang. Tapi ternyata itu saja tidak cukup. Setiap harinya wanita itu tetap mengeluh dan mengeluh sampai akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berpisah. Dan sekarang, setelah dua tahun mereka bercerai, rupanya mantan istrinya itu sudah menemukan pengganti yang menurutnya jauh lebih baik daripada Agung. Agung bisa apa? Toh mereka sudah putus hubungan begitu lama. Dan mau tidak mau Agung juga harus datang ke acara pertunangan mantan istrinya itu karena ayah dari mantan istrinya adalah seseorang yang sejak lama berteman dekat dengan keluarganya. Jika sampai Agung berniat untuk tidak datang, Agung yakin Ayahnya akan kembali mengamuk. Tapi rasanya agak memalukan jika pergi ke pertunangan mantan istri seorang diri. sedangkan untuk datang bersama dengan Radi, rasanya akan sangat aneh. Apa Agung harus meminta tolong pada Yunita untuk mendampingi nya? Tapi bagaimana jika Yunita yang sudah memiliki tunangan itu menolak dirinya? Kembali menekan tombol interkom yang ada di atas mejanya, Agung meminta Radi untuk kembali masuk ke dalam ruangannya. "Saya belum mencari informasi yang Bapak minta," kata Pria itu datar. Agung berdecak. "Bukan itu, ini hal lainnya lagi. Apa kamu punya seseorang perempuan yang bisa diajak kerjasama untuk jadi pacar pura-pura?" Sepanjang mengenal Radi, yang paling Agung tidak suka dari asistennya itu adalah tatapan matanya dan juga wajahnya yang tanpa pertengkaran ekspresi. Melihat itu saja membuat Agung kesal walaupun Radi tidak berbuat salah. "Apa Bapak berencana shooting FTV?" "Saya enggak perlu menjelaskannya ke kamu kali ini. Saya cuma butuh jawaban kamu." "Ah." Radi mengangguk. Satu jarinya terangkat, hinggap di dagu. "Apa ini karena Bapak berniat datang ke acara pertunangan mantan istri Bapak?" Mata Agung langsung membulat, kaget. "Kamu sudah tahu?" Tanpa menjawab, Radi kemudian melangkah maju dan meletakkan sebuah undangan berwarna silver ke atas meja. "Undangan nya baru saja datang tadi, diantar oleh kurir." Agung menghela napas. Ternyata mantan istrinya itu mengirim pesan secara pribadi agar Agung tidak berpikir untuk tidak datang setelah menerima undangan aslinya. "Ya baiklah. Jadi apa ada perempuan yang seperti itu?" "Ada. Bapak mau yang seperti apa? Yang seksi, yang kalem, atau yang bisa nurutin apa saja mau Bapak? Kalau Bapak mau, ada juga yang bisa Bapak nikahin sekalian, supaya kalau ada acara begini lagi Bapak enggak perlu sewa perempuan buat jaga gengsi di depan mantan istri." Alis Agung menukik tajam. "Kamu nyindir saya?" Dengan wajah datarnya, Radi membalas, "Apa itu terdengar seperti sindiran? Kalau memang iya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya." Berdecak, Agung kemudian mengibaskan tangannya. Dia jadi bertanya-tanya kenapa sampai detik ini dia masih berada di luaran dengan bebas dan bukannya ada di dalam penjara saat memiliki seorang asisten yang berpotensi menjadikannya kriminal ini? Setiap berurusan dengan Radi, rasanya Agung selalu khilaf berpikir untuk menghanyutkan Radi di pantai Selatan. Siapa tahu kan, Radi berjodoh dengan Nyi Roro Kidul? "Pokoknya cari yang elegan dan tidak merepotkan. Saya butuh untuk dua minggu lagi." Tanpa mau menaikan tekanan darah tingginya lagi, Agung langsung memerintahkan agar Radi keluar dari ruangan nya. * Bunyi ranting kayu yang patah terdengar bersamaan dengan langkah kakinya yang semakin menjauh dari gerbang masuk. Tak ada suara manusia yang terdengar, yang ada hanya burung yang terbang mencari selimut dari daun untuk anak-anak nya, karena udara mengisyaratkan bahwa akan turun hujan nanti malam. Di depan sebuah gundukan hijau, kaki itu berhenti. Tidak ada yang dilakukannya selain berdiri diam sambil membaca nama yang ada di sana berulang kali. Doa yang dia lantunkan hanyalah Al-fatihah yang dia baca sebanyak tiga kali. Lalu punggungnya menunduk, menaruh bunga kecil yang tadi dia bawa dan meletakkan nya di sana. Setelah itu, sudah. Dia langsung berbalik badan dah menyusuri jalanan yang sama dengan tang tadi dia pijaki saat masuk. Tidak ada yang berarti setiap kali dia datang. Dia melakukannya hanya untuk mengingat sosok yang dulu pernah begitu 'berjasa' dalam hidupnya, yang kini sudah pergi menghadap langit. "Mbak, datang lagi ternyata." Sapaan dari penjaga itu disambut senyum kecilnya. "Terimakasih atas kirimannya kemarin ya, Mbak. Padahal seharusnya enggak perlu repot-repot." Kepalanya menggeleng, "Saya enggak repot, Pak. Itu cuma pemberian kecil dan sebagai tanda terimakasih saya." Pak Tua itu tersenyum hingga membuat matanya menyipit. "Padahal Mbak juga sudah bayar iuran setiap bulannya tepat waktu, berkat itu gajih yang saya terima bisa saya gunakan untuk biaya sekolah anak saya. Ditambah Mbak selalu kasih saya hadiah, saya jadi merasa enggak enak. Saya kadang berpikir harus bagaimana saya membalas kebaikan Mbak." Sejenak, dia menunduk. Tidak seharusnya dia menerima ucapan terimakasih dari seseorang hanya karena keinginan egoisnya. Dia memberi si Pak Tua hadiah setiap bulan bukan karena dia baik hati, bukan juga karena dirinya suka bersedekah. Hanya saja, Karena dia ingin lepas tanggung jawab terhadap hal yang membuatnya sesak sejak dulu. "Enggak usah melakukan apapun, Pak. Saya melakukan itu buat diri saya sendiri," ujarnya. Kepalanya mengangguk sekilas, berpamitan untuk kembali ke arah mobilnya terparkir. Bunyi alarm mobil yang ditekan menjadi satu-satunya yang terdengar di area parkiran itu. tentu saja, karena hanya dirinya yang saat ini berada disini. Sore hari bukan lah waktu yang umum untuk seseorang mengunjungi pemakaman. Ketika sudah duduk di belakang kemudi dan bersiap untuk pulang, denting halus terdengar dari ponselnya yang dia letakkan di dalam tas. Tadinya, dia berniat untuk mengabaikan apapun itu sampai dia tiba di rumah nanti, namun ternyata dentingannya tidak hanya sekali sehingga mau tidak mau dia harus memeriksanya sendiri. Belum sempat jemarinya yang panjang dan kurus itu menekan pop up yang muncul di layar, sebuah dering yang cukup keras lebih dulu terdengar. Nama seseorang yang merupakan bawahannya menari-nari di sana. "Ya?" "Bu Anggi, Draft iklan promosi yang kemarin Fix ternyata mirip sekali dengan Bahar Praja Group. Mereka sudah meluncurkan iklannya dan konsepnya sangat mirip!" Suara panik itu membuat Anggi terdiam. Sejujurnya dia juga terkejut, karena konsep iklan yang sudah disetujui dan akan mulai dibuat untuk promosi, malah sama persis dengan iklan milik perusahaan saingan mereka. Jika anak Pemasaran saja sebegini paniknya, lalu Anggi tidak bisa membayangkan bagaimana dengan divisi iklan yang sudah bekerja keras merancang iklan promosi itu. Memijit keningnya pelan, Anggi memasangkan sabuk pengaman ke tubuhnya dengan satu tangan. "Saya akan coba cari tahu soal ini besok, karena sekarang semua orang juga pasti sudah pulang. Kamu jangan bilang ke yang lain dulu, walaupun nantinya mereka memang akan tahu dengan sendirinya, tapi yang penting jangan sampai kamu yang kasih tahu," katanya memberi solusi. Bawahannya itu langsung mengiyakan, sambungan telepon terputus. Lama, Anggi hanya diam sambil menatap ke arah depan. Lampu di sekitar parkiran ini sudah mulai menyala karena hari sudah akan gelap. Sejujurnya ini sama sekali bukan sesuatu yang aneh karena bagaimana pun tingkah laku licik akan selalu ada di setiap persaingan perusahaan besar. Namun yang sama sekali tidak Anggi sangka adalah karena pelakunya adalah pihak Bahar yang dikenal sebagai perusahaan rekanan dengan perusahaan tempatnya bekerja. Konon katanya, pemimpin dua perusahaan ini adalah teman baik sejak kecil. Bahkan anak-anak mereka menikah walaupun pada akhirnya bercerai. Atau sejak perceraian itu terjadi keretakan yang tidak bisa dihindari? Ini memang bukan mutlak menjadi masalah bagian Pemasaran, karena masalah iklan adalah tugas divisi iklan. Tapi bukan berarti tidak ada kaitannya sama sekali. Karena bagaimana pun tugas promosi adalah tugas utama dari divisi Pemasaran. "Nanti lagi deh di pikirin," gumam Anggi. Dia lantas menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari sana. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD