"Sudahlah, hari ini anggap saja tidak ada kejadian yang membuatku marah," ucapnya jauh dari apa yang aku harapkan.
"Tidak, Mas. Mari kita berpisah!" Kembali aku mengulang dengan mantap dan penuh penekanan.
"Kamu masuk ke kamar saja dan istirahat, sepertinya hari ini kamu lelah." Mas Darren kembali berbicara yang tidak-tidak, lalu pergi begitu saja dengan mobilnya, dan aku kembali ditinggal sendirian.
Daripada memikirkan hal yang berat, mungkin apa yang Mas Darren katakan benar. Aku hanya lelah. Karena ini adalah pilihan hidup yang harus aku jalani berserta konsekuensinya.
Aku mengunci pintu utama, lalu kembali ke dalam kamar, dan merebahkan diri di tempat tidur yang hanya ditempati olehku karena sampai sekarang kita masih tidur secara terpisah.
Mas Darren sepertinya enggan untuk menyentuhku dan setelah dia mengatakan tentang perjanjian, aku juga tidak mau disentuh oleh pria yang tidak ada aku di hatinya. Jadi, lebih baik menumbuhkan cinta lebih dulu, lalu setia, dan baru kita bisa bahagia bersama.
Itulah yang aku pikirkan dulu dan sungguh aku sama sekali tidak menyangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Bahkan aku sudah mengajaknya berpisah.
Tanpa sadar, aku memejamkan mata, dan bangun-bangun ketika waktu sudah menunjukkan pukul empat sebelas malam. Karena enggak bangun, aku kembali tidur.
"Aku minta maaf, Anya. Tapi aku tidak punya pilihan lain."
Dalam keheningan, aku tidak sengaja mendengar suara yang sangat pelan.
Ketika sadar, ternyata sudah jam tiga dini hari. Aku teringat pesan orang tua, kalau jam segini adalah waktu yang mustajab untuk dikabulkannya sebuah doa. Jadi, aku langsung pergi ke kamar mandi untuk wudu, lalu melaksanakan salat sunat wudu dua rakaat, salat taubat, lalu salat istikharah agar aku diberikan keyakinan untuk bertahan atau lepaskan. Karena pada dasarnya aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, lalu meminta kepada yang mahakuasa untuk dilancarkan semuanya.
Aku percaya kalau Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya akan langsung terjadi.
Setelah melakukan urutan yang tadi, aku langsung melaksanakan salat tahajud empat rakaat. Di akhir salat, aku meminta segala doa yang aku inginkan di dalam hidup ini, termasuk ingin punya suami yang romantis, dan selalu ada di saat duka apalagi suka. Karena mencintai yang tidak mencintai kita itu adalah cinta tanpa rasa.
Aku tidak tahu apa itu rasanya dihibur pasangan atau keromantisan lain yang biasa orang lakukan dengan suaminya. Aku memang tidak boleh menuntut banyak kepada pasangan, tapi tetap saja rasanya sangat menderita kalau masih harus bertahan.
Karena waktu salat subuh masih lama, aku mengambil buku dan pulpen yang ada di laci. Lalu melihat tabungan yang ada di M-banking. Uangku hanya tinggal ratusan ribu saja. Jauh dari kata cukup untukku tinggal di luar. Apalagi aku tidak terbiasa tinggal di rumah yang kecil atau makan sembarangan. Nanti tubuhku akan langsung gatal-gatal.
Bukan inginku punya kebiasaan seperti itu, tapi karena sudah terlanjur terjadi, aku hanya bisa pasrah, dan berusaha untuk menghindari keduanya. Makanya aku harus punya tabungan yang cukup dulu.
Aku mulai menghitung harga sewa sebuah rumah yang lumayan besar dan bersih di kota Jakarta dan kebutuhan sehari-hari. Aku juga tidak mungkin tinggal di sana tanpa usaha. Setidaknya aku bisa berjualan dari ponsel. Sayangnya aku tetap harus membeli beberapa barang yang harganya lumayan cukup mahal.
Perkiraan, aku membutuhkan uang sekitar lima puluh juta, tapi ini sangat pas-pasan. Sama sekali tidak ada lebih dan aku harus langsung bekerja. Kalau mau menjadi lebih tenang, aku harus berusaha mengumpulkan uang selama beberapa bulan.
Apa aku bisa bertahan di rumah ini dengan suami seperti Mas Darren?
Pasti bisa, bukan? Selama lima bulan saja aku bisa bertahan, masa, iya, aku tidak bisa bertahan selama beberapa bulan ke depan?
Benar, aku pasti bisa. Nanti ketika sarapan, aku akan menanyakan tentang lowongan pekerjaan di perusahaan Mas Darren. Siapa tahu ada posisi kosong yang bagus yang memang sudah ditakdirkan untukku.
Tanpa terasa, azan subuh sudah berkumandang, dan aku kembali melaksanakan salat tanpa menunggu waktu lagi. Siapa tahu ini adalah petunjuk yang Allah berikan agar aku bisa terlepas dari semua ujian hidup ini.
Ketika selesai berdoa, aku baru sadar kalau aku tidak bertemu Mas Darren setelah semalam. Bergegas aku pergi ke kamarnya, tapi tidak berani untuk masuk.
"Ingat, selama cinta belum muncul di antara kita. Aku bahkan tidak ingin kamu menyentuh pintu kamarku," ucapnya beberapa waktu lalu yang masih kuingat jelas.
Aku kembali mundur ketika mengingatnya, tapi aku juga perlu memastikan dia ada di dalam atau tidak. Jujur saja aku mengkhawatirkannya, karena bagaimanapun dia adalah suamiku. Orang yang terikat denganku dalam sebuah pernikahan.
"Lapar!"
Terdengar rintihan dari kamarnya itu. Meski pelan, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Lalu turun ke bawah untuk menyiapkan makanan kesukaannya.
Karena bahan-bahan sudah mulai habis, aku jadi masak seadanya. Asalkan rasanya rasa yang paling dia sukai, menurutku bukanlah masalah. Nanti setelah perutnya kenyang, baru aku akan mengutarakan isi hati tentang lowongan pekerjaan yang ada di kantornya.
Setelah semuanya siap jam tujuh pagi, tapi Mas Darren tidak kunjung turun, dan hal ini membuatku gelisah. Kita seringkali bertengkar hanya karena aku tidak membangunkan dia karena ada rapat penting, tapi di sisi lain aku bahkan tidak bisa menyentuh pintu kamarnya.
Melihat panci besar yang menganggur, aku terpaksa membawanya ke atas, dan berdiri di depan kamarnya. Lalu mulai memukul panci agar menghasilkan suara yang keras dan nyaring. Setelah beberapa saat, masih tidak ada pergerakan dari dalam kamarnya sampai aku kesal, dan memberanikan diri untuk menyentuh pintunya yang ternyata tidak dikunci.
Aku mulai memutarnya dan terlihatlah Mas Darren yang tidur dengan sepatu yang masih dipakainya. Kamar ini jauh lebih luas di bandingkan kamarku. Bahkan tidak ada apa-apanya dan terkesan indah serta elegan. Namun, sekarang tujuanku datang ke sini bukan untuk mengagumi keindahan kamar ini, tapi untuk membangunkannya.
Dengan sangat pelan, aku melangkah mendekat ke arahnya, lalu membuka sepatunya. Tanpa sengaja, aku melihat tangannya yang sedang memeluk sebuah foto.
Karena penasaran siapa foto yang ada di pelukannya itu, aku berusaha untuk menyingkirkan tangannya, tapi tidak bisa. Tenaganya terlalu kuat meski dia sedang tidur.
"Aku mencintaimu," gumamnya dalam tidur dan entah kenapa dadaku langsung berdesir ketika mendengarnya.
"Aku mencintaimu." Kembali dia mengulang kata itu.
"Iya, Mas, aku juga mencintaimu," lirihku sangat pelan sambil berusaha mengambil fotonya dan dapat.
Aku mengamati foto yang berhasil aku dapatkan ini dan hatiku langsung terasa ngilu ketika ingat siapa wanita yang ada di foto ini. Dia adalah Alana, kakakku.
"Aku mencintaimu ... Alana," gumamnya lagi membuat hatiku hancur berkeping-keping.