Ungkapan cinta yang aku pikir untukku ternyata hanya untuk wanita yang bahkan aku tidak tahu di mana keberadaannya.
Kenapa? Kenapa semua yang menyakitkan harus terjadi padaku?
Apa aku tidak layak untuk bahagia?
Apa aku tidak punya hak untuk dicintai?
Segera aku keluar dari kamar itu dan menutup pintunya kembali. Aku menumpahkan segala rasa sakit dengan tangisan yang tidak tertahankan lagi.
Selama ini aku berusaha sabar dan selalu berpura-pura kuat, tapi ternyata tubuhku tidak bisa menahan beban yang terlalu berlebihan ini.
Pernikahan kita memang terjadi secara buru-buru dan dijodohkan, tapi aku juga memberikan pilihan kepada Mas Darren untuk menolaknya. Kenapa dia harus menerima kalau pada akhirnya bukan aku yang ada di hatinya.
"Anya!" panggilnya tiba-tiba ketika aku masih sesenggukan.
Tidak mungkin bagiku untuk keluar dengan tampilan seperti ini, jadi lebih baik aku mengunci pintu, dan pura-pura tidak mendengar panggilannya.
Saat ini aku lebih memilih bertemu dengan hewan buas daripada melihat wajahnya. Sungguh, aku sudah tidak sanggup lagi menjalani pernikahan ini. Aku ingin pergi jauh dari hidupnya, tapi di sisi lain aku tidak punya pilihan lain selain bertahan.
Tidak mungkin juga kalau aku menceritakan semuanya kepada orang tuaku, mereka bisa marah, dan memaki aku. Bahkan mereka bisa memukulku. Alasan terbesar kepada aku menerima perjodohan ini karena aku sudah tidak kuat tinggal di rumah orang tua.
Ayahku akan mengayunkan tongkatnya ketika aku melanggar peraturan yang dia buat dan kakak lelakiku akan ikut memaki. Hanya mama yang baik, tapi aku tidak mau menyakiti perasaannya.
Aku juga tidak mau membuatnya semakin kepikiran dengan keadaan diriku, lalu jatuh sakit. Kali ini aku benar-benar hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
"Anya!" panggilnya lagi, tapi aku tidak peduli.
Aku mengambil tisu yang ada di lemari dan mengusap semua air mata. Tidak ada gunanya menangisi hal ini. Karena mungkin sedari awal memang bukan aku yang ada di hatinya.
Bisa jadi perjanjian tentang pencarian cinta juga hanyalah alibi, karena di hatinya memang sudah ada orang yang dia cinta, tapi bukan aku.
Teka-teki yang cukup membingungkan selama beberapa bulan ini akhirnya terungkap. Sungguh, selama ini aku hidup terlalu polos sampai tidak mencium gelagatnya yang sedari awal memang tidak berniat untuk menjadikanku sebagai orang yang dia cintai.
Baiklah, kalau memang ini yang dia mau. Akan aku berikan. Mulai sekarang aku tidak akan peduli siapa wanita yang dia bawa ke rumah dan siapa yang dia cintai. Aku hanya perlu pekerjaan, lalu mengumpulkan uang.
Setelah uang yang aku punya cukup untuk biaya hidup, aku akan pergi meninggalkan rumah ini, pernikahan yang tidak sehat, dan menjalani hidup seperti orang normal.
Untuk apa aku mengorbankan hidupku untuk orang-orang yang bahkan tidak tahu terima kasih.
Aku berjalan ke arah cermin besar dan menatap pantulan diriku yang sangat cantik dan aku memiliki tubuh yang bagus. Tidak ada alasan untuk suamiku untuk tidak mencintaiku. Sungguh, ternyata selama ini aku terlalu naif. Namun, tidak untuk sekarang aku akan bekerja keras untuk mewujudkan segala mimpi-mimpiku.
Ketika kondisi hatiku sudah membaik, segera aku turun ke bawah, dan menyiapkan alat makan untuk kita berdua.
"Tadi aku panggil beberapa kali, tapi kamu sepertinya tidak dengar. Kenapa?" tanyanya tanpa mempertanyakan sepatunya yang sudah terlepas.
Apa mungkin dia lupa?
Baguslah. Aku berharap rencana yang baru disusun ini berjalan dengan lancar.
"Tadi aku sedang di kamar mandi, Mas. Perutku sedang tidak enak," jawabku seadanya dan dia tidak berkata lagi.
Kedua matanya menatap makanan yang tertera di meja dengan bersinar. "Wah, ada acara apa, nih?" tanyanya membuatku tersenyum tipis.
Sepertinya sekarang aku tidak hanya harus berperan sebagai seorang istri, tapi juga aktris yang pandai berakting agar Mas Darren tidak mencium rencanaku.
"Tidak ada. Aku hanya mau menanyakan satu hal, Mas."
Gerakan tangannya langsung terhenti. "Apa tentang semalam?" tanyanya sambil menundukkan wajahnya.
"Bukan, ini tentang hal lain," sahutku cepat.
Tidak sengaja aku melihat bibirnya membentuk senyuman. Tunggu, apa itu senyuman yang ditunjukkan hanya padaku?
"Apa itu?" tanyanya sambil menatapku lekat, lalu mengambil beberapa daging yang kemudian disimpan ke piringnya.
"Tapi janji kamu tidak akan marah, ya, Mas?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja. Memangnya kamu pernah melihatku marah?" tanyanya sambil menatapku lekat.
"Bukan hanya pernah, sering malah," jawabku dalam hati.
"Belum, sih, tapi aku hanya takut."
"Aku janji tidak akan marah. Katakan saja," pintanya.
"Apa di kantor ada lowongan pekerjaan? Aku bosan di rumah terus, Mas. Daripada ke rumah Maya, bukankah lebih baik kalau aku juga kerja?" jelasku singkat.
"Ada, tapi untuk saat ini hanya membutuhkan OG saja," jawabnya membuatku terdiam.
OG? Berarti aku harus tahan dan mengikuti perintah orang lain?
"Apa tidak ada yang lain, Mas?" tanyaku berharap ada posisi yang lebih baik. Bukan berarti posisi ini tidak baik, bukan, tapi aku tidak terbiasa kerja diperintahkan banyak orang.
Karena setahuku, OG atau OB di tempat Mas Darren itu harus bisa membuatkan kopi beberapa karyawan, terutama atasan, dan menurut dengan perintah banyak orang.
Apa aku sanggup?
"Tidak ada," jawabnya singkat dan tajam.
"Baiklah. Aku pikir-pikir dulu."
"Jangan terlalu lama, karena hari ini juga ada wawancara untuk posisi ini. Jadi segeralah melamar dan nanti anggap saja kita tidak saling kenal," tegasnya dan aku hanya mengangguk.
Lagi pula siapa yang mau mendekatinya. Aku pikir dia akan bertanya lebih lanjut seperti yang terjadi di novel-novel romansa, ternyata tidak. Dia bahkan menjawab sekenanya saja.
Dia menuliskan beberapa berkas yang dibutuhkan ketika melakukan lamaran, lalu pergi ke kantor tanpa mengucapkan salam juga. Sayangnya aku terlalu sibuk untuk mempermasalahkan hal itu. Sekarang aku harus pergi ke tukang foto untuk mencetak beberapa gambar diri dan membuat surat lamaran.
"Perusahaan mana yang akan Mbak Lamar?" tanya petugas fotokopi.
Aku menyebutkan perusahaan Mas Darren.
"Setahu saya di sana harus mengirimkan berkasnya di email dahulu, nanti kalau diterima Mbak akan dihubungi," jelasnya.
"Tapi katanya hari ini ada interview secara langsung, Mas."
"Iya, tapi tetap saja harus kirim berkas via email juga," jawabnya kukuh, "biar saya bantu."
Aku mengangguk dan tidak lama dia menunjukkan kalau data diriku sudah dikirimkan.
Bergegas aku pulang ke rumah dan bersiap untuk pergi ke perusahaan. Hanya dalam puluhan menit, kita sudah sampai di sana.
Baru saja masuk ke area depan, aku tidak sengaja melihat Mas Darren dengan wanita lain lain lagi.
Aku memberanikan diri untuk mendekat agar bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.
"Kapan Mas bawa aku ke rumah? Aku juga mau dinikahi agar anak ini punya status yang jelas," rengek wanita itu membuatku menghentikan langkah.
Apa dia sedang hamil?
"Nanti, ya, aku harus menjinakkan dia dulu," jawab Mas Darren tanpa banyak berpikir.
"Tapi kapan? Orang tuamu juga katanya sudah tidak sabar untuk menimang cucu. Mereka bahkan melihat kondisiku setiap hari," ucap wanita itu lagi membuat sekujur tubuhku terasa lemas.