Chapter 4

1361 Words
Mario duduk di meja kerjanya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa fokus bekerja lantaran terus mengingat Sarah Dawson, partner kencan satu malamnya seminggu lalu. Ya, sudah lewat waktu dari seminggu ini Mario tidak mengikuti kencan satu malam lagi, dan terus menyesali dirinya mengapa tidak meninggalkan nomor telepon atau kontak apa pun pada Sarah. Seorang gadis seumuran Sarah tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangannya. Ia memakai sebuah setelan kantor dan rambutnya yang berwarna hitam legam lurus ia biarkan terurai. Ia berdecak, melihat laki-laki di hadapannya yang sudah seminggu ini tidak ada kemajuan. Itu adalah Daria Malvis, satu-satunya adik perempuan yang dimiliki oleh Mario. Daria merupakan lulusan terbaik kampus Stanford, dan ia bercita-cita menjadi sukses seperti ayahnya, Dario Malvis. Berbeda dengan Mario, Daria sangat potensial dibidang bisnis. Ia juga sangat menyukai bidang tersebut, dan ingin sekali mengambil alih perusahaan ayahnya. Sayangnya, Dario tidak mengizinkannya. Alasannya sangat simpel, ia tidak ingin suami Daria nantinya menguasai perusahaannya. Lebih baik Mario lah yang melanjutkan bisnisnya, meskipun laki-laki itu sudah menolaknya berkali-kali. "Sudah ada satu minggu kau di sini, dan pekerjaanmu sama sekali tidak ada kemajuan. Mau sampai kapan?" protes Daria, ia sudah sangat jengah dengan Mario. "Lalu kenapa bukan kau saja yang mengerjakan pekerjaanku?" protes Mario balik, ia bersandar di kursinya. Daria menghampiri meja kerja Mario, ia duduk di atasnya sambil menatap Mario dengan tajam. "Jika ayah mengizinkan, aku akan mengambil alih perusahaan ini tanpa persetujuanmu atau pihak manapun." katanya. Mario tersenyum sinis, "Sayang sekali, adikku yang potensial tidak diizinkan untuk mengambil alih perusahaan oleh ayah." katanya sambil tertawa. Setelah mengatakan hal itu, pintu ruangan Mario kembali terbuka. Ayahnya dan sekertarisnya datang. "Mrs. Lopez, bisa aku berbicara dengan anak-anakku sebentar?" tanya Dario Malvis kepada sekertarisnya. "Baiklah." kata Mrs. Lopez, lalu bergegas pergi dari ruangan. Dario Malvis menghela napasnya, ia menghampiri meja Mario dengan ekspresi yang sudah diketahui oleh Mario. Ayahnya ingin memarahinya. "Mau sampai kapan kau seperti ini, Mario?" tanya Dario dengan nada tinggi yang tertahan. "Apa kau masih mengikuti kencan satu malam?" tanyanya lagi. "Apa urusannya kencan satu malamku dengan perusahaan?" "Tentu saja itu akan merusak reputasi perusahaan, bodoh." cibir Daria kesal, ia tidak percaya mengapa kakaknya begitu bodoh, padahal mereka lahir dari Rahim yang sama. "Aku memberimu waktu sebulan untuk memperbaiki kinerjamu di perusahaan ini, dan kuharap kau segera mencari seorang sekertaris untuk mengatur semua jadwalmu." pinta ayahnya. "Aku terlalu sibuk untuk mencari seorang sekertaris." kata Mario, "Dan aku sudah berusaha keras memperbaiki kinerjaku, hanya saja aku memang tidak cocok berada di sini." "Bagaimana kau bisa mengatakan sudah memperbaiki kinerjamu sementara sampai saat ini iklan baru kita belum rampung?" ujar Daria, kembali memprotes Mario. Dario menghela napasnya, "Sudah, intinya. Aku memberikanmu waktu satu bulan untuk memenuhi dan meningkatkan kinerjamu. Mengerti?" Mario tidak menyahuti ayahnya, hingga ayah dan adiknya keluar dari ruangan. Ia justru memijat keningnya karena merasa sangat pusing. Ia bahkan tidak mengerti bagaimana bisa ayahnya bersikeras untuk meminta dirinya melanjutkan bisnis ayahnya ini? Padahal sudah sangat jelas bukan, Daria lebih mampu memimpin perusahaannya. Konsentrasi Mario kembali bubar ketika mendengar ponselnya berdering. Ponsel keluaran terbaru dari merk ponsel paling mahal di dunia saat ini. Tertera nama yang paling sangat ia benci di layarnya. Frany. Dengan malas, Mario segera mengangkatnya. "Di mana kau? Ke mana saja kau selama seminggu ini?" Mario mendengus ketika Frany langsung menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Sejujurnya, hubungan mereka sudah lama berakhir. Hanya saja, Frany belum bisa melepaskan Mario seutuhnya. Perempuan itu masih bersikap posesif kepada Mario, seperti sekarang ini. "Selamat siang, Frany." sahut Mario dengan nada bicara sarkas. "Aku bertanya, Mario." Mario memutar bola matanya kesal, "Aku berada di kantor ayahku, kenapa?" tanyanya. "Kantor? Kau bekerja? Atau sedang meminta uang?" "Ayolah, Frany. Berhenti mencari tahu urusanku."  "Aku akan segera ke sana." Sambungan telepon mati, dan Mario hampir membanting handphonenya. Awalnya, Mario tidak tahu bahwa Frany adalah seorang yang sangat posesif terhadap pasangan. Mario hanya tahu Frany adalah seorang model terkenal, dan sangat memuaskannya di ranjang. Jika sejak awal dirinya tahu Frany adalah sosok wanita yang menyebalkan, mungkin ia tidak akan mau berpacaran dengannya. Telepon kembali berdering, kali ini telepon kantor. Sambil membuang napasnya, Mario mengangkat telepon. "Ya?" "Cepat kerjakan proyek iklan baru kita, kalau kau masih menyepelekannya, aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke Thailand." Telepon kembali mati, dan sudah dipastikan suara tersebut adalah suara Daria. Apa katanya? Thailand? Punya hak apa Daria menyuruh Mario kembali ke Thailand? Mario tidak akan pernah pergi ke Thailand lagi, dan tidak akan bertemu dengan ibunya lagi. *** "Kau sudah mencari kantor jasa advertising terpecaya?" tanya Mario, kepada sahabat sekaligus asistennya, Daren. "Aku menemukan satu jasa iklan yang menurutku lumayan, Gorgeous Adv. di Winchester." jawab Daren sambil menunjukkan profile perusahan tersebut kepada Mario di smartphonenya. "Telepon mereka sekarang dan katakan pada mereka aku meminta iklan yang bagus, tidak peduli berapapun biayanya. Deadlinenya selama dua minggu." jelas Mario, sambil memakai jasnya. "Dan," tambah Mario, "Aku ingin iklannya di pajang di seluruh kota-kota besar di US." "Baiklah." sahut Daren yang langsung bergegas menelepon kantor Advertising tersebut. Mario beranjak pergi dari ruangannya ketika Daren sibuk mengerjakan semua tugasnya. Ia bersyukur memiliki Daren, yang memang menguasai apa yang tidak ia kuasai. Untunglah, Daren tidak pernah mempermasalahkan hal ini. *** Sarah masih mencari tahu tentang Mario Malvis ketika teleponnya tiba-tiba berdering. Ia segera mengangkat telepon tersebut, dan berbicara dalam satu tarikan napas. "Gorgeous Advertising, Sarah Dawson berbicara, ada yang bisa kubantu?" tanya Sarah. "Aku Daren Hill dari Malvis Jeans, bisa aku berbicara dengan pimpinanmu?" Malvis Jeans? Konsentrasi Sarah sempat buyar ketika brand tersebut di sebutkan. Namun, dengan cepat ia tersadar lalu langsung menghubungkan sambungan telepon ke telepon milik Emma. Sarah menutup teleponnya ketika Emma sudah berbicara di ruangannya. Ia sama sekali tidak menyangka, bagaimana bisa Malvis Jeans menghubungi kantornya? Setelah Emma selesai berbicara di telepon, perempuan itu langsung menghampiri Sarah di mejanya. "Malvis Jeans mengubungi kita dan meminta pertemuan besok, kira-kira apa kah Mario Malvis teman kencan satu malammu itu datang?" tanya Emma, dan sebenarnya, ia sedang menggoda Sarah. Sarah tidak bisa menjamin, karena Mario yang ia tahu bukanlah seorang pria yang senang bekerja. Yah... Kau tahu, kan, dia terkenal sangat playboy? "Aku tidak tahu." sahut Sarah sambil mengangkat bahunya. "Aku sangat penasaran, Sarah. Bagaimana bisa kau tidak memberitahuku bahwa kau akan ikut one night stand?" "Sudahlah, Emma. Ini sudah lewat lebih dari seminggu dan aku sudah tidak ingin membahasnya. Lagi pula, aku tidak akan lagi bertemu dengannya. Itu sudah jelas." "Jika ternyata dia mencarimu?" Sarah mengangkat bahunya lagi, "Dia sudah menemukanku sekarang." jawabnya. "Tetapi kau menyukainya kan?" goda Emma, dan Sarah langsung menatapnya tajam. "Stop, Emma." pinta Sarah, yang tidak mendapatkan tanggapan dadi Emma. "Bagaimana dia di ranjang? Kau kehilangan keperawananmu bukan?" Sarah menghela napasnya, "Lalu, jika kau bertemu dengan Mario Malvis, kau mau apa?" Emma menepuk tangannya sekali, "Tentu saja aku ingin kenalan dengannya, dia tampan." katanya antusias. "Dan yang terpenting Mario belum tentu menyukaimu bukan." tambah Emma sambil tertawa. "Kau ini sahabatku atau bukan?" protes Sarah kesal. Emma tertawa, dan ia langsung menepuk bahu Sarah. "Tenang saja, jika aku bertemu dengannya, kau juga harus bertemu dengannya lagi. Mengerti?" Itulah yang Sarah inginkan. "Tapi, untuk apa?" Emma melirik ketiga staff centil yang sedang berkumpul tidak jauh dari meja resepsionis. "Tentu saja untuk membuktikan pada mereka, bahwa kau benar-benar kencan satu malam dengan Mario Malvis." Ah, Sarah harap ia benar-benar bisa membuktikan hal itu. *** Mario tidak mengikuti one night stand malam ini. Pria itu sengaja menghindari Frany yang sedang mencarinya sejak tadi siang. Padahal, jadwal Frany sebagai model bisa dibilang cukup padat. Mario tidak mengerti mengapa perempuan itu masih sempat mencari dirinya. Mario justru berada di bar, bersama Daren sahabatnya, dan meminum beberapa botol anggur mahal. "Kau sedang banyak pikiran, semua terlihat jelas di wajahmu." kata Daren yang menyadari hal tersebut. "Aku sedang mencari pasangan one night stand ku minggu lalu, dia sangat cantik." jawab Mario. "Jadi, kau dipusingkan dengan seorang wanita?" Mario menggeleng, ia kembali meneguk anggurnya. "Aku juga memikirkan soal pekerjaan kantor, Frany yang terus menerorku dan juga..." "Apa?" "Intinya, aku sedang mencari wanita itu. Apa kau bisa mencarinya?" "Siapa namanya?" "Sarah." Daren tertawa, dan itu membuat Mario sangat bingung dibuatnya. "Kenapa kau tertawa?" tanyanya. "Ada banyak wanita bernama Sarah di Amerika, Mario. Pantas saja kau terlihat sangat kalut." kata Daren yang masih tertawa. Mario kembali meneguk anggurnya. Karena jika dipikir dengan logika, memang pernyataan Daren barusan ada benarnya. Bagaimana cara ia mencari Sarah sedangkan orang yang bernama Sarah sangat banyak di Amerika? Bahkan di dunia! Dan bodohnya, Mario melupakan nama belakang Sarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD