Chapter 1

1052 Words
"Langit dijodohkan sama anak Agung dari istri keduanya?" mata Mirna membulat. Ia kaget bukan kepalang sang suami menjodohkan putra bungsunya dengan gadis desa anak dari pelakor yang telah merebut suami sahabatnya. "Tidak apa-apa kan, Ma? Agung itu kan teman kita. Lintang juga anak dari Agung meski dari istri kedua. Tapi pernikahan mereka kan sah di mata agama dan negara. Lintang lahir dari pernikahan yang sah. Lintang juga punya hak yang sama dengan anak-anak Agung dari istri pertamanya." Ramdhan menatap Mirna tajam. Ia tahu, Mirna sangat membenci Suryati, perempuan desa yang ia anggap perebut suami orang dan penghancur kebahagiaan Lina, istri pertama Agung. "Tetap beda, Pa. Derajat seorang pelakor itu jauh di bawah istri pertama yang sudah menemani dari nol. Ia mengecap kekayaan suami tanpa berjuang dari bawah. Nonsense dengan sebutan istri kedua, istri yang juga dinikahi secara sah. Tetap saja judulnya pelakor!" Mirna geram sendiri. Ia ingat bagaimana Lina jatuh bangun menata hatinya karena Agung menikahi Suryati. "Ma, jangan bawa-bawa Suryati. Kata Agung, Lintang ini gadis yang baik, sopan, dan belum pernah dekat dengan laki-laki. Bahkan di kampung, ia biasa ke sawah, ngasih makan ternak, masak, dan bikin kerajinan. Rasa-rasanya jarang ada perempuan seperti ini di zaman milenial. Cewek sekarang banyak yang manja, nggak mau kerja tapi pingin hidup enak, nggak mau masak, hobinya dandan dan shopping." Ramdhan sudah sreg dengan karakter Lintang. Ia butuh perempuan sabar dan taat suami untuk putranya. "Namanya anak pasti mewarisi karakter orang tuanya, Pa. Ibunya pelakor, anaknya bisa aja menuruni sifatnya yang gatel sama laki-laki. Lagipula apa nggak ada calon lain yang lebih berkelas dibanding Lintang? Banyak yang lebih cantik dan elegan dibanding Lintang." Mirna masih saja keukeuh dengan pendiriannya. Rasanya ia tak rela sang putra jatuh pada perempuan yang ia nilai tak memiliki kredibilitas yang baik. "Yang penting Langit setuju. Ia tak keberatan menikah dengan Lintang. Kamu setuju dengan perjodohan ini, kan?" Ramdhan melirik sang putra yang diam tertegun. Langit mendongakkan wajahnya. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti keinginan sang ayah. Ia tak mau kehilangan jabatannya hanya karena menolak permintaan sang ayah. Lagipula ia tak sedang menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Tentu, Ia tak mencintai Lintang. Dia bahkan tak pernah berangan akan menikahi perempuan yang sama sekali tak masuk dalam kriterianya. Langit mengangguk. "Ya, Langit setuju." Mirna membulatkan matanya. "Kamu yakin?" "Sudahlah, Ma. Jangan halangi pernikahan Langit dan Lintang. Besok Papa mengundang Agung dan Lintang makan malam bersama. Kita akan membicarakan pernikahan Langit dan Lintang." Mirna terdiam. Ia tahu jika suaminya sudah menginginkan sesuatu, maka seluruh anggota keluarga harus menurut. ****** "Menikah?" Lintang menyipitkan matanya. Ia ingin memastikan apa sang ayah benar-benar ingin menikahkannya dengan anak dari sahabatnya? "Iya, Lintang. Umur kamu memang masih muda, tapi sudah cukup untuk menikah. Calon suami kamu juga orang yang baik, pekerja keras, dia juga pemilik perusahaan besar. Namanya Langit Wicaksana." Lintang terbelalak. Apakah Langit Wicaksana yang ayahnya maksud adalah atasannya? "Langit Wicaksana dari perusahaan Bumi Wicaksana?" Agung mengangguk. "Iya, dia CEO dari Bumi Wicaksana. Putra bungsu Ramdhan Wicaksana, rekan Ayah." "Lintang bekerja di perusahaannya, Yah," balas Lintang. Agung tersenyum lebar. "Berarti kalian sudah saling mengenal? Itu bagus, kan? Kalian akan lebih mudah beradaptasi saat menikah nanti." Lintang termenung. Ia tak kuasa menolak permintaan ayahnya. Ia tak mau merusak keakraban yang tengah terbangun dengan sang ayah setelah sekian lama merasa asing satu sama lain. ****** Makan malam antar dua keluarga itu berlangsung dalam atmosfer yang dirasakan begitu canggung untuk Lintang. Agung meminta salah seorang penata rias dan busana untuk mendandaninya. Ia tidak percaya diri dengan gaun dan sepatu high heels yang ia kenakan. Rumah Ramdhan begitu megah seperti istana. Halamannya luas, garasi juga ada banyak untuk menampung semua mobil dari semua anggota keluarga. Ramdhan memiliki aturan yang harus dipatuhi setiap anggota keluarga bahwa meski anak-anaknya telah menikah, mereka diharuskan untuk tetap tinggal di rumah itu. Langit memiliki dua orang kakak. Pertama kakak perempuan yang sudah menikah dan belum memiliki anak. Kedua kakak laki-laki yang sudah meninggal. Kakak laki-laki ini meninggalkan seorang istri dan seorang anak berumur lima tahun. Karena Ramdhan dan Mirna sudah menganggap sang menantu seperti anak sendiri, maka istri almarhum dan anaknya tetap tinggal di rumah itu. Mereka juga memiliki asisten rumah tangga dan petugas sekuriti yang jumlahnya cukup banyak. Fakta ini membuat Lintang merenung akan masa depannya. Ia tak hanya harus mempersiapkan diri menjadi istri dari seseorang yang tidak ia cintai dan kadang ia begitu takut melihat tampang gaharnya, ia juga harus siap untuk tinggal dalam keluarga besar dengan banyaknya aturan keluarga yang harus ia patuhi. Kesan awal yang Lintang tangkap dari sambutan keluarga Ramdhan, ia rasakan hanya Ramdhan yang bersikap ramah terhadapnya. Entah kenapa, ia merasa ibu Langit beserta anak perempuan dan menantunya tidak seantusias Ramdhan kala menyambutnya. Ia rasakan tatapan Mirna begitu tajam dengan ekspresi wajah menyiratkan rasa tidak sukanya. Begitu juga dengan tatapan Marsha, kakak perempuan Langit serta Devana, istri almarhum kakak Langit. Lintang bisa merasakan tatapan keduanya menyasar pada setiap inchi tubuhnya, seolah tengah menilai penampilan fisiknya. Tak ada satupun senyum yang terulas di wajah mereka. Baik Agung maupun Ramdhan sepakat bahwa pernikahan Lintang dan Langit akan segera dilaksanakan. Sebelum berangkat makan malam, Lintang menelepon ibunya dan memberi tahu kabar ini. Sang ibu turut mendukung putrinya untuk segera menikah. Ia ingin ada yang menjaga putrinya selama tinggal di ibu kota. Setelah pembicaraan mengenai konsep pernikahan selesai, Langit meminta waktu untuk berbicara dengan Lintang di tepi kolam renang. Setiap kali berhadapan dengan Langit, Lintang selalu gugup. Ada kecemasan dan ketakutan yang tiba-tiba memenuhi d**a. Ia bahkan tak berani menatap atasan yang saat ini meminta bicara dengannya bukan sebagai atasan tapi sebagai calon suami. "Aku cuma ingin bilang, tolong jangan pernah libatkan perasaan kamu dalam pernikahan kita nanti. Aku menyetujui perjodohan ini bukan karena aku mencintaimu. Aku hanya ingin memenuhi keinginan Papa. Bagiku ini hanya pernikahan bisnis, tak lebih." Langit memandang lepas ke kolam renang. Cahaya lampu merasuk hingga terbitkan secercah terang di dalam sana. Lintang tergugu. Ada yang retak di dalam sana, hadirkan rasa sakit yang begitu menusuk. Kini ia mengerti, ia tak hanya harus menyiapkan hati untuk menikah dengan pria yang terasa asing dan tidak ia cintai, tapi juga harus menata hati untuk tidak pernah dianggap sebagai seorang istri. ****** bersambung ---------------------------- mohon maaf ya jika kata-kata asing tidak terbaca italic-nya. Waktu ngetik sudah di-italic, tapi setelah publish, tidak muncul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD