Chapter 2

1672 Words
"Saya terima nikah dan kawinnya Lintang Kurnia binti Agung Haryanto dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Langit lantang. "Sah saudara saksi?" "Sah...." "Alhamdulillah..." Hati Lintang bergetar. Detik ini juga ia sah menyandang status sebagai istri Langit Wicaksana. Ia telah resmi menjadi bagian dari keluarga Ramdhan Wicaksana. Seharusnya Lintang bahagia. Namun hatinya mendung dan bahkan sudah bergerimis ketika menyadari bahwa sang ibu duduk bersanding dengan ayahnya. Lintang menatap ke dalam sorot bening netra sang ibu yang tersenyum ke arahnya. Bulir bening menetes lancar tanpa mampu ia cegah. Ia tahu, bukan hanya dirinya yang tertekan menjelang pernikahan, tapi juga ibunya. Di kampung, berita pernikahan Lintang dan Langit menjadi buah bibir. Banyak yang mencibir karena pernikahan diadakan di Jakarta dan kerabat Suryati dilarang Agung untuk turut menjadi saksi pernikahan Lintang. Warga kampung mengatakan Suryati lupa kampung halaman dan sombong. Mentang-mentang dapat besan kaya, Suryati dianggap malu jika kerabat ikut datang ke Jakarta. Padahal Suryati pun berniat mengadakan syukuran di rumah dan mengajak kerabat ke Jakarta, tapi Agung tegas melarang. Lintang semakin terharu kala ia melihat kedua mata Suryati berkaca, seperti ada kesedihan yang tertahan. Lintang pun merasa sedih. Bukan semata karena ia tahu, pernikahan ini tak berarti apa pun di mata Langit tapi harapannya untuk melihat keluarga istri pertama dari ayah juga sirna. Ibu tiri dan ketiga kakaknya tidak ada yang hadir. Mereka tak pernah menganggap dirinya sebagai bagian dari keluarganya. Langit sempat melirik Lintang sekilas. Gadis itu bersiap menjabat tangannya tapi Langit segera memalingkan wajahnya. Ia tak menyambut jabatan tangan dari Lintang. Hati itu kembali bergerimis. Jika tidak sedang berada di tengah orang banyak, mungkin tangis itu sudah pecah. Waktu berlalu begitu cepat. Ia tak pernah menyangka ada di titik ini di usia 22. Cita-citanya adalah menikah di umur 25 tapi Allah mempertemukannya dengan jodohnya lebih cepat dari yang ia duga. Jodoh? Untuk sesaat Lintang tertegun. Pikirannya bergelut pada gambaran pernikahan ideal di benaknya. Seketika hatinya kembali berderai. Tangis melengking di dalam sana. Pernikahan ini begitu mewah. Gaun, dekorasi, makanan, dan semua aspek menggunakan yang terbaik. Namun, hatinya terasa kosong. Senyum palsu menjadi caranya untuk menutup luka. ****** Lintang duduk di sofa setelah mandi dan berganti pakaian. Sebenarnya ia ingin segera merebahkan badan karena begitu lelah dengan prosesi pernikahan sekaligus resepsi yang menguras tenaga. Namun ia menunggu hingga Langit selesai mandi. Ia bingung sendiri, tak tahu harus melakukan apa. Bahkan sekadar menyalakan televisi, dia pun sungkan. Lintang melirik ranjang pengantin yang didekorasi dengan bunga mawar dan kantil. Kamar ini akan menjadi kamarnya dan Langit. Ia tak tahu bagaimana ia bisa tidur satu ruang dengan suami yang tak pernah menganggapnya. Langit keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia cuek saja melewati Lintang dan mengambil baju ganti di lemari. Ia buka pintu lemari untuk menutupi tubuhnya selama berganti baju. Lintang memandang ke arah lain. Perasaannya yang memang sensitif terbitkan kesedihan yang semakin dalam. Sejak masuk dalam kamar ini, Langit sama sekali tak mengajaknya bicara. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya di ranjang tanpa sedikitpun menoleh ke arah Lintang. Ia memejamkan mata, tak peduli sang istri masih mematung di sofa. Lintang menatap sang suami yang sudah terpejam. Ia menahan laju air mata yang hampir tumpah. Sedari awal, Langit sudah mengingatkannya untuk tak melibatkan perasaan apapun dalam pernikahan ini. Namun, rasanya sulit. Ketika ia sudah resmi menikah lalu mengesampingkan semua perasaannya. Ada tanggung jawab, hak, dan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan keduanya. Sangat menyakitkan, ketika dia harus membiasakan diri untuk menganggap bahwa pernikahan ini tak pernah ada. Sulit untuk memandang Langit sebagai seseorang yang asing sementara laki-laki itu kini menjadi sosok yang seharusnya bertanggung jawab atas dirinya. Lintang sungkan untuk tidur di ranjang yang sama dengan Langit. Laki-laki itu bahkan mendiamkannya. Beginikah rasanya, ada tapi dianggap tiada? Lintang merebahkan badannya di sofa yang cukup lebar. Mungkin malam ini dan seterusnya, ia akan tidur di sofa. Lintang mencoba memejamkan mata kendati sulit untuk terlelap meski ia merasa sangat lelah. Ini baru malam pertama dan tangisnya sudah menggenang di atas bantal. ****** Seperti biasa Lintang bangun sebelum Subuh. Langit masih lelap. Sepertinya ia begitu kelelahan. Adzan Subuh berkumandang. Lintang mandi dan berwudhu untuk bersiap sholat Subuh. Setelah selesai, ia melihat Langit sudah terbangun. Laki-laki itu masuk kamar mandi, lagi-lagi tanpa bicara. Seusai sholat, Langit sudah tak ada di kamar dan Lintang tak tahu ke mana laki-laki itu. Lintang juga tak tahu harus mengerjakan apa, sementara di dapur sudah ada beberapa asisten rumah tangga yang sibuk memasak. Bahkan sepagi ini, seorang asisten sudah aktif membersihkan kamarnya. Lintang menyiapkan pakaian kerja Langit. Ia tak sulit memilih kemeja, jas, celana, dan dasi. Ia sudah sering melihat Langit mengenakan satu stel pakaian kerja saat masih bekerja di perusahaan Langit. Tiga hari menjelang pernikahan, Langit memintanya untuk berhenti bekerja. Langit juga mengatakan, dia tak akan mengambil cuti atau liburan pasca menikah. Karena itu Lintang menyiapkan pakaian kerja Langit. Ia tahu, hari ini Langit akan tetap berangkat bekerja. Langit yang sudah tampak segar setelah mandi memandangi pakaian yang tertata rapi di ujung ranjang. Ia melirik Lintang dengan tatapan datar. "Kamu nggak perlu menyiapkan pakaianku. Aku bisa menyiapkan sendiri." Langit menatap kemeja warna biru tuanya. "Hari ini aku nggak mood pakai kemeja biru tua." Ia memasukkan kembali pakaian kerjanya ke lemari. Lintang mencelos. Entah kenapa penolakan Langit yang tak ingin dirinya menyiapkan keperluannya membuat Lintang semakin merasa diabaikan. Lintang tak enak sendiri. Ia keluar kamar dan berjalan menuju dapur untuk membantu pekerjaan asisten yang bertugas memasak. Di kampungnya, menantu perempuan biasanya memasak untuk mertuanya. Ada tiga orang yang tengah beraktivitas di dapur. Mereka cukup kaget melihat Lintang datang bergabung. "Wah kayaknya enak sekali. Lagi masak apa, Bi?" Lintang tersenyum ramah dan menatap lembut wanita paruh baya yang biasa disapa Bi Ijah. "Eh, Non Lintang. Bibi lagi masak sop jamur. Non Lintang ada apa ke dapur?" Bi Ijah merasa Lintang begitu berbeda dengan Marsha dan Devana yang judes dan tak pernah masuk dapur. "Saya boleh ikut masak?" tanya Lintang masih dengan senyum di kedua sudut bibirnya. "Non Lintang bisa masak? Non Lintang nggak usah repot-repot ikut masak. Ini udah jadi tugas kami," balas Bi Ijah. "Nggak apa-apa. Di kampung saya sudah biasa masak." Lintang meraih wortel di depannya dan mengirisnya. "Oya wortel ini mau dimasak apa? Saya iris bulat-bulat atau memanjang?" Lintang kembali bertanya pada Bi Ijah. "Di iris memanjang agak oval, Non. Begini contohnya." Bi Ijah mencontohkan potongan wortel di depan Lintang. Lintang menirukannya. "Ehm..." Tiba-tiba suara Mirna mengagetkan tiga asisten dan juga Lintang. "Nyonya..." Bi Ijah mengangguk. Mirna menatap Lintang tajam. Tampangnya dingin dan tak bersahabat. "Daripada di sini mending kamu mengurus keperluan Langit." Mirna menelisik penampilan Lintang yang jauh dari kesan elegan di matanya. Bagi Mirna, baju itu begitu kuno dan lebih pantas dikenakan oleh asisten rumah tangga. Ia tak habis pikir bagaimana menantu dari keluarga Ramdhan mengenakan blouse atasan kedodoran dengan rok panjang yang ia taksir beli di pasar atau toko baju murah. Lintang mengangguk pelan. Bagaimana ia bisa menyiapkan keperluan Langit jika sang suami menolak bantuannya? "Satu lagi, pakailah pakaian yang menunjukkan kelasmu. Baju yang kamu kenakan sangat murahan, lebih pantas dipakai Bi Ijah atau Siti. Jangan sampai saat ada tamu datang mengira kamu adalah bagian dari tim asisten rumah tangga di sini." Kata-kata itu terdengar menohok. Lintang bahkan tak berkutik. Mirna berlalu masih dengan raut wajahnya yang ketus. Lintang menatap Bi Ijah dan dua asistennya yang lain. "Saya ke kamar dulu ya, Bi." Lintang memaksakan bibirnya untuk tersenyum lalu melangkah keluar dari dapur. Bu Ijah tertegun, begitu juga dengan dua asisten yang lain. "Aku kok kasihan lihat Non Lintang ya, Bi. Dia nikah dengan orang kaya. Hidupnya dikelilingi fasilitas mewah. Tapi aku lihat dari wajahnya, dia kayak nggak bahagia," ucap Siti, asisten rumah tangga yang lain. "Iya, aku juga lihatnya begitu. Padahal ini baru hari pertama pasca menikah. Dia sudah yang tertekan begitu. Mana Nyonya galak sekali." Rini, satu asisten yang lain ikut merasa bersimpati pada Lintang. Bi Ijah terdiam. Ia sampai kehabisan kata. Ia berharap Lintang selalu dilindungi Allah. Ia tahu benar bagaimana watak Mirna, Marsha, dan Devana yang suka semena-mena dalam berkata, tak bisa menjaga lisan, dan sering menyakiti orang lain dengan kata-kata pedas. ****** Sarapan pagi itu berlangsung dalam suasana kaku. Meski semua anggota keluarga duduk mengitari satu meja, tapi Lintang merasakan sangat jauh dari kehangatan keluarga. "Langit, apa kamu tidak berencana untuk mengajak Lintang bulan madu? Seperti Marsha dan Rangga, mereka berbulan madu ke Swiss. Devana dan almarhum kakakmu juga bulan madu ke Turki. Kamu dan Lintang juga perlu bulan madu." Ramdhan menatap Lintang dan Langit bergantian. Langit tak menanggapi. Tentu, ia tak pernah berpikir untuk berbulan madu. "Lintang, kamu ingin honeymoon ke mana? Biar nanti Papa yang beliin tiket untuk kalian." Ramdhan tersenyum sumringah. Devana menatap Lintang dengan tatapan tak suka. Ia tak ingin posisinya sebagai menantu kesayangan tersingkir oleh kehadiran Lintang. Lintang bingung untuk menjawab. "Terserah Pak Langit saja," ujar Lintang seraya melirik Langit yang duduk di sebelahnya. "Kok manggilnya "Pak"? Di sudah jadi suamimu, bukan atasanmu lagi. Panggil dia "Mas"." Ramdhan tertawa kecil. Lintang tersenyum dan mengangguk. "Iya, Pa. Saya terbiasa memanggil "Pak". Mulai sekarang saya akan membiasakan memanggil "Mas"." "Langit, buatlah rencana bulan madu dengan Lintang. Papa ingin kalian cepat punya momongan," tukas Ramdhan. Langit mengangguk pelan. "Baik, Pa." "Langit, jangan lupa belikan baju-baju yang bagus untuk istrimu. Dia sudah menjadi bagian dari keluarga Ramdhan. Dia harus beradaptasi dan jangan memakai pakaian murahan yang tidak berkelas. Dia harus belajar menjadi wanita yang berkelas." Mirna berkata tegas dan tatapannya seolah menghunus hingga mata terdalam Lintang. Lintang terdiam. Ia pikir, Mirna tak akan mengungkit hal ini lagi. Ia merasa tak enak hati, Mirna mengungkitnya di depan anggota keluarga yang lain. Lagi-lagi Langit mengangguk. Saat Langit bersiap berangkat ke kantor, Lintang mengantarnya hingga ke halaman. "Tak perlu repot-repot mengantarku. Kamu nggak perlu menjalankan peranmu sebagai istri. Aku ngasih kamu kebebasan. Lakukan apa yang kamu suka." Langit menatap Lintang sepintas lalu ia masuk ke mobil tanpa berkata-kata lagi. Lintang diam mematung bahkan hingga mobil Langit tak lagi tampak. Hatinya kembali menangis sementara ia membentuk dirinya untuk terlihat tegar di luar. Ini baru hari pertama... Hari pertama setelah menikah. Dan tekanan itu sudah terasa begitu berat. ****** bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD