» Bab 1 | Abah «

1208 Words
Abah cuma ikhtiar, pengen ngasih yang terbaik buat  teteh. Pan, teteh  putri sulung Abah inih, berat tanggung jawab nya. Kalau misal Abah ga panjang umur, teteh yang nge gantiin tugas Abah, ngejagain Ambu, ngejagain si Eneng, gituh. Abaah, juga ga maksa teteh  juga, tapiiii Abah berharap ajah, Boleh ? "    “Boleh ? Sangat boleh Abah,...” desis Diandra yang hanya terdengar oleh hatinya seorang, begitu terngiang kembali kalimat kalimat Abah yang memilukan nya ketika itu. Dan juga kini.   Dear angin angin sepoi, melihat Abah seperti itu, hatiku patah. Patah sepatah patahnya. Berasa lebay pisan, tapi itulah yang sedang kurasakan. Ga pernah aku terlibat diskusi seserius itu dengan Abah. Tapi kali itu, kita, aku dan Abah sedang membicarakan keinginan dan harapan kita masing-masing sesuai peran kita. Yang entah darimana awal nya dan entah seperti apa akhirnya.   " Abah juga tawakal we  jeung  Gusti  Alloh  nu Agung, pasrah sama Gusti Alloh, minta terus sama Alloh supaya ngasih yang terbaik buat teteh, sekolahnya sukses, cita cita jadi orang kayanya tercapai, dan termasuk jodoh, Abah selalu berdoa minta sama Alloh, supaya Teteh dikasih suami yang sayang sama Teteh, yang sholeh dan ganteng. Oiyah Teteh masih mau di doa'in punya suami konglomerat tidak he he he dulu waktu kecil Teteh selalu merajuk sama Abah kalau Abah beres pulang dari Masjid Teteh selalu nagih ke Abah...."   “ Sudah doa’in Diandra supaya dapat suami yang kaya raya kayah Aki belum Abah ..." Aku melafalkan kalimat itu lirih. Kalimat yang selalu kuucapkan dengan semangat dan penuh harap di saat aku masih menjadi putri kecil Abah. Kalimat yang selalu kuteriakan sambil berlarian menjemput Abah sepulang dari surau, demi mendapat gendongan Abah.   Tentu saja, itu terjadi beberapa  tahun lalu, selayaknya anak-anak perempuan kecil lainnya yang mendambakan dirinya sebagai seorang putri di istana megah bergaun dan bermahkota mutiara yang bersinar dan di puja oleh seorang pangeran tampan. Dan, pastinya di mana pun seorang pangeran adalah dia yang tinggal di istana megah dan bergelimangan kekayaan juga para emban. Dan, aku di waktu  kecil melihat itu pada sosok nyata Aki Panuluh, yang kaya raya dan tampan, setampan dan serupawan Abahku yang tersayang. Begitu gagah. Yah ganteng gagah dan kaya raya seharusnya.   Dan entahlah, Abah yang ganteng dan gagah memilih hidup apa adanya yang boleh ku sebut susah, meninggalkan  status kaya raya nya. Membuat ku sedih. Ditambah lagi, beberapa hari ini Abahku yang gagah, sedang sendu terkadang tampak layu  dimataku. Dan itu semua karenaku.   ***   Iyah, Diandra inget Abah, Diandra inget. Diandra selalu nagih doa itu ke Abah, dan mungkin saat ini berkat doa-doa tulus Abah, Diandra akan mendapatkan suami yang ganteng, yang sholeh, dan kaya raya, seperti yang selalu Abah minta kan dalam doa-doa Abah.   » Shasinokaa | Bayang Semu Dia, « Cihanjuang, di pagi yang teduh... Gemercik air di pancuran-pancuran kolam ikan Abah, ditambah suara cicit burung-burung piaraan Abah, berhasil mengaduk aduk hati dan pikiran Diandra. Hati dan pikiran yang keinginannya belum berhasil Diandra duga kan apa maunya. Buntu. Diandra memaksakan diri memikirkan apakah harus dia mengiyakan permintaan Abah di saat usianya kini. Tak tepat  pikir Diandra, bahkan Diandra masih menilai dirinya hanyalah anak remaja kampung ingusan yang hanya tahu indahnya bermain dan tertawa bersama sama temannya saja tanpa harus memikirkan peliknya urusan orang-orang dewasa. Pun, ketika Diandra mendapati Abah dan Ambunya berselisih dengan orang dewasa lainnya, Diandra hanya berpikir bahwa, aku harus jadi orang kaya seperti Aki seperti Nini supaya tidak disepelekan orang lain, tidak mau menjadi seperti Abah dan Ambu, yang hanya tersenyum ketika orang lain menyakiti mencaci dan memaki. Pikiran itu menancap kuat hingga kini. Dan tidak ada bab Menikah di pikiran Diandra. Tidak pernah terlintas, Tidak pernah sekalipun.    “Menikah ? Mempunyai seorang suami ? Haruskah Duhai Alloh ? Bahkan aku belum tamat bersekolah, Abah tidak sedang bercanda dengan Diandra kan Abah ...”   Diandra membaringkan santai tubuhnya di saung. Tempat Abah biasa mengawasi kolam-kolam ikannya di pagi hari, sebelum Mang Iding menjemput Abah untuk berangkat ke perkebunan. Saung kecil ternyaman, yang Abah dan Kang Aos buat tepat  di bawah rindangnya  rimbunan pelepah-pelepah daun pohon-pohon kelapa di samping rumah Abah.   Matahari masih malu-malu, embun-embun masih membasah, hembusan angin terasa sejuk menyapa air muka Diandra yang betah memejamkan matanya. Dalam gelap, Diandra membayangkan keinginan-keinginan Abah, merunutkan lagi dan lagi kalimat-kalimat Abah untuknya.    Bagaimana kalau betul Abah tidak panjang umur ? Apakah siap aku menggantikan Abah ? Aku yang begini ini, apa memang yang bisa aku lakukan untuk menggantikan Abah, berhenti sekolah ? Bekerja ? Bekerja apa ? Merawat kolam-kolam ikan Abah ? Kerja di perkebunan ? Aaahhh semua nya ga mungkin, ga mungkin ga mungkin ..   “ Ga Mungkinnnnn “ teriak Diandra lepas,  yang membuatnya terbangun dari terjaganya. Diandra menoleh ke kanan dan ke kiri, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya berharap tidak ada yang mendengar teriakannya itu. Diandra pun bergegas bangun, dan duduk bersila menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan cepat. Mencerna kembali apa yang sedang dia pikirkan setengah mati sehingga membuat nya mengigau di saat tak tidur. Duhai Alloh, Abah masih gagah ini, ga mungkin kan Engkau ambil secepat itu, please ...   Apa yang harus aku lakukan kalau benar Abah Kau jemput lebih cepat, aku memang anak sulung Abah, tapi aku masih anak-anak, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak perempuan ingusan seperti aku, bekerja ? Menikah ? Oh tidak-tidak. Aku Diandra Panuluh. Aku putri sulung seorang Abah Panuluh. Abah Panuluh yang tersohor namanya sebagai Abah Raden Sandi Panuluh, putra kesayangan Aki Panuluh, juragan nelayan di Pelabuhan Ratu. Mungkin nanti kalau Abah Alloh jemput lebih cepat, akan ada banyak saudara Abah kerabat Abah atau teman Abah yang datang membantuku. Aaaaah terlalu naif kataku, Abah memang kesohor, tapi itu dulu sebelum Abah dan Ambu pergi dari rumah Aki Panuluh. Sekarang status Abah hanya indah untuk dikenang. Diandra menggaruk garuk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal, hingga kerudungnya pun tak lagi rapi dan nampak begitu berantakan. Diandra bangun dari duduknya, turun dari saung dan berniat beranjak melangkahkan kakinya berlalu dari saung. Sinar matahari cukup terang, itu artinya Diandra sudah cukup lama berdiam di saung. Seharusnya lengkingan suara Ambu yang memanggilnya untuk sarapan sudah Diandra dengar. Diandra melangkahkan kakinya untuk kembali ke rumah, setelah Diandra merapikan kembali kerudungnya yang sempat berantakan tak berpola. Diandra menyiapkan air mukanya yang ceria dengan senyum merekah, supaya Abah dan Ambu tidak lagi mencurigainya. Bahwa dia sedang dirundung gelisah tiada tara. Abah, apa sesungguhnya yang Abah pikirkan ? apa yang sesungguhnya Abah rasakan ? Diandra sayang Abah, tidak mungkin Diandra mampu melukai hati Abah, mohon tunggu sedikit lagi Diandra hanya belum memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang seharusnya Diandra lakukan ... “ Ambuuuuuu, sarapan pagi nya ga kelewat  kaaaan ,” Diandra melangkahkan kakinya masuk ke rumah sambil berteriak sekencang mungkin. Berteriak adalah satu hal yang sangat bisa dia lakukan, demi untuk menutupi jiwanya yang gelisah. Bersikap biasa saja seolah sedang tidak terjadi apa apa. Ambu yang mendengar lengkingan suara putrinya itupun menyambut  dengan pelukan. Pelukan yang cukup dalam seperti tahu bahwa putrinya sedang mendambakan delapan nya. Dekapan ajaib yang mampu  membuat tentram jiwa seorang tuan putri. Sekian menit berlalu dalam degupan jantung yang beradu, Ambu mengusap usap punggung Diandra yang memeluk nya erat. Dan air mata Diandra dirasakan Ambu meleleh saja membasahi  pundak Ambu, lelah tangisnya pun pecah. Suara sesenggukan nya mengundang pedih  seseorang yang memperhatikan  keduanya dari balik tirai.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD