BAB : 1

778 Words
Pagi ini masih sama seperti hari-hari biasanya, Sekolah Sekolah dan Sekolah. Hidup memang tak jauh-jauh dari yang namanya buku pelajaran. Itu jugalah yang dialami gadis bernama, Kimberly Hana Affandi, yang biasa dipanggil Kim atau Kimmy. "Pagi Ma, Pa," sapa Kim pada mama dan papanya yang sudah berada di meja makan untuk sarapan. "Pagi, Sayang," balas William dan Jessica. "Loh, Mama pagi-pagi udah rapi aja, mau kemana, Ma?'' tanya Kim pada mamanya. "Ini, Mama mau datang ke acara pembukaan butik temen Mama." "Ooh," balas Kim ber-oh ria sambil terus melanjutkan sarapannya. Di saat ia sedang menikmati sarapannya, tiba-tiba papa dan mamanya malah sibuk berbisik-bisik. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi ia merasa curiga kalau dirinyalah yang sedang menjadi pokok pembicaraan. "Ehem," dehemannya membuat kedua orang tuanya mengarahkan pandangan padanya. ''Papa sama Mama ngapain, sih, bisik-bisik?'' tanyanya penasaran. "Gini, Sayang. Papa sama Mama mau menjodohkan kamu dengan anak dari sahabat kami,'' terang William tiba-tiba. Tentu saja itu membuatnya kaget. Kupingnya saja langsung berasa panas mendengar ucapan papanya barusan. "Dijodohin?'' tanyanya tak percaya. Bukan, ini lebih tepatnya ekspressi kaget. "Iya, Sayang. Kamu mau, kan?'' tanya Jessica. Dijodohkan? Siapa yang mau. Yakali dijodohin sama pacar sendiri, itu baru perfecto. "Aduh ... Papa sama Mama apa-apaan, sih. Masa iya Aku dijodoh-jodohin segala. Aku juga masih Sekolah, Pa, Ma ... masih 18 tahun. Aku masih pingin kuliah, kerja, dan lain-lain lah pokoknya," jelasnya panjang lebar. "Meskipun kamu menikah, kamu akan tetap Sekolah seperti biasanya, kok. Mau, ya?" tambah Jessica lagi. "No!" pekiknya. "Apa Papa sama Mama pikir Aku nggak laku, sampe harus dijodoh-jodohin segala!?" "Oke ... kalau gitu kamu tinggal pilih aja, terima perjodohan ini, atau ..." William menggantung ucapannya. "Atau apa, Pa? Papa mau ngancem aku?" "Atau ini semua Papa sita," ujar William sambil meletakkan kunci mobil, beberapa kredit card, ponsel dan tablet milik Kim di meja.  Kedua bola matanya langsung terbelalak melihat penampakan itu. Ia heran, bagaimana papanya bisa memegang semua aset-aset berharganya itu? "Gimana, Kim?" tanya William membuyarkan lamunan putrinya. "Tapi, Pa ..." "Kimmy, Sayang. Masa kamu nggak mau ngabulin permintaan kami ini. Cuma ini, Sayang ... Mama sama Papa nggak minta yang lain-lain. Sejak masih dalam perut, kamu Mama bawa-bawa. Pas udah lahir, Mama manja-manjain sampe saat ini. Kamu seorang yang kami punya, hanya ini permintaan kami, Nak," jelas Jessica mengeluarkan bakat terpendamnya yang tak tersalurkan. Sudah jelas itu membuat Kim terharu. Dengan napas berat, ia akhirnya pasrah. "Ya udah, ya udah ... aku terima," setujunya. "Beneran, Sayang?"  "Iya, Ma. Tapi ..." "Tapi?'' tanya suami istri itu berbarengan. "Kalau orangnya nggak ganteng, aku bunuh diri," ancam Kim. "Oke," jawab keduanya pasti. "Mama yakin, kamu nggak akan menolak laki laki ini. Udah ganteng, berpendidikan, baik, dan kaya. Pokoknya semua yang terbaik ada padanya," puji Jessica. Entah kenapa, mendengar pujian-pujian yang diucapkan mamanya, malah membuat ia penasaran dengan sosok laki-laki itu. "Kalau gitu aku berangkat Sekolah dulu, Ma, Pa," ujarnya pada kedua orang tuanya, dan hendak menyambar semua barang-barang berharga miliknya yang tadinya mau di sita. Tapi baru saja mau menyentuh, papanya malah menahan tangannya. "Jangan bohong loh," ingatkan William. "Iya, Papa," balasnya sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian. Kemudian dengan secepat kilat ia punguti semua benda benda berharga miliknya yang tertata di meja. "Bye, Ma, Pa," tambahnya pamit. "Belajar yang bener, jangan pacaran-pacaran, kan udah mau punya calon suami," teriak Jessica pada Kim mengingatkan. "Ahh, calon suami," gumam Kim sambil berlalu pergi.                                   [][][][][] Di tempat yang berbeda, seorang laki-laki berparas tampan juga sudah rapi dengan tuxedo yang menutupi tubuh atletisnya. Penampakan yang benar- benar sempurna. "Aku berangkat dulu," ucapnya pamit pada kedua orang tuanya yang saat itu berada di meja makan. "Kamu mau kemana?'' tanya Doni pada putranya dengan suasana dingin. "Aku mau ke Sekolah, nanti siang baru ke kantor," jawabnya tak kalah dingin. "Duduk dulu, Papa sama Mama mau bicara hal yang penting sama kamu, Vin," ujar papanya yang segera ia turuti. "Ada apa?''  "Papa mau menjodohkan kamu dengan Putri dari teman Papa sama Mama. Namanya Kimberly dan dia juga salah satu siswi di Sekolahmu,'' jelas Doni. Penjelasan papanya hanya ia tanggapi dengan ekspressi dingin. Jujur, ia memang kaget, orang tuanya seolah memaksanya dengan perjodohan ini. Tapi, apa dayanya sebagai seorang anak. Ia hanya ingin orang tuanya bahagia. Meskipun hatinya tak menginginkan itu semua. "Bagaimana, Vin?" "Bukankah itu merupakan sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Jadi, aku tak perlu menjawabnya," terang Alvin dingin langsung bangkit dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya.  Terlihat raut wajah kesal yang di tunjukkan Doni atas sikap Alvin. Ia belum selesai bicara dan dia sudah berlalu pergi begitu saja. "Sabar, Pa. Alvin memang begitu, kan, sikapnya," ujar Karmila menenangkan sang suami. "Terserah apa kata dia, yang jelas perjodohan ini tetap berlanjut." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD