Perhatian : Alur bab ini meggunakan latar waktu campuran maju dan mundur. Harap membaca dengan teliti agar tidak terjadi kesalahpahaman atau plot hole.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Berkali-kali Dava mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi. Di jok sampingnya, Gisel duduk disana. Kursi yang tak pernah ditempati oleh seorang perempuan berstatus menjabat kekasihnya. Ia masih tak percaya bahwa kini dirinya sudah memiliki hubungan resmi. Sangat bukan Dava tapi ia menyukai hal ini.
Usai meninggalkan hotel, Dava sok ide mengajak Gisel merayakan hari pertama mereka jadian dengan menghabiskan waktu bersama. Walaupun ia juga tak punya rencana kemana ia hendak pergi berdua dengan sang kekasih, Dava hanya berusaha untuk menahan Gisel agar bersamanya. Dengan waktu yang sedikit lebih lama.
Kekehan kecil tiba-tiba terdengar dari gadis di sampingnya membuat Dava melirik. “Kenapa?”
“Hm?”
Dava memelankan laju mobilnya. “Kenapa tiba-tiba ketawa?”
“Cuman lagi kepikiran aja,” Gisel menyamankan posisi duduknya. “Bisa-bisanya kita baru kenal gak ada dua jam udah mutusin buat pacaran? Kayaknya cuman kita pasangan yang begini di dunia.”
Dava menyunggingkan senyum kecil. “I know but that’s it, we are not be like the other couple. Kita beda.”
“Tapi...”
“Hm?”
“Do you really like me as you said before?”
Dava menghentikan mobilnya karena lampu erah menyala di rambu lalu lintas. Ia meraih tangan Gisel untuk dikecup punggung tangannya. “Who doesn’t, sih?”
“Gue tanya serius, ya.”
“Loh, gue juga serius,” Dava melirik angka pada rambu lalu lintas yang menghitung mundur untuk berubah jadi hijau. “Cowok bego mana yang ketemu lo dan gak langsung suka? So do i.”
Sebenarnya jauh di lubuh hati Dava, ia harus mengakui bahwa hubungannya dengan Gisel tidak terjamin berjalan lama. Mereka berdua hanya sama-sama sedang dimabuk cinta karena fisik semata. Mana ada rasa sayang yang tumbuh hanya dalam waktu kurang dari dua jam? Tidak ada. Begitu pula dengan yang dirasakan Dava. Ia menyukai gadis itu, ia akui ia memang tertarik. Maka dari itu pula ia tiba-tiba ingin menjalin hubungan.
Katakanlah ia gila, Dava tak akan mengelak dan malah akan mengangguk setuju. Tapi apa masalahnya mencoba?
Sedangkan di tempatnya, Gisel yang duduk dan terlihat tenang, diam-diam juga memikirkan hal yang serupa. Kemana akal sehatnya hingga tiba-tiba ia menyanggupi permintaan laki-laki asing untuk menjalin hubungan? Gisel tentu bukan gadis polos yang belum pernah berpacaran atau memiliki hubungan spesial dengan laki-laki. Sekalipun ia cuman memiliki satu mantan kekasih sedangkan sepuluh yang lainnya hanya berjalan sampai taham berkencan namun berakhir saling meninggalkan padahal belum ada status, intinya Gisel kini lebih bisa mengontrol perasaan.
Apa yang ia rasakan saat ini pada pria yang sedang sibuk menyetir dan fokus ke jalanan di sampingnya, jelas bukan rasa sayang. Berlebihan jika ia bisa jatuh cinta pada pandang pertama dan menyebutnya sebagai perasaan sayang. Ia hanya tertarik. Terpesona.
Dava bodoh karena berani mengajak Gisel berpacaran secepat ini, like only two hours, terus menyatakan permintaannya. Namun gadis itu jelas lebih bodoh karena bilang iya.
Entahlah.
Semuanya sudah terlanjur terjadi dan Dava serta Gisel sama-sama malas putar balik. Apa yang akan terjadi di depan mereka berdua, biar saja terjadi. Gisel akan mengikuti kemana air sungai mengalir, dan Dava juga naik ke kapal yang sama.
“Lo beneran jomblo, kan, tapi?”
Gisel menoleh. Tawa kecil keluar dari bibirnya. “Serius lo tanya itu setelah gue udah fiks jadi pacar lo?”
“Hehe. Ya siapa tahu, kan?”
“Siapa tahu apa?”
“Siapa tahu elo punya pacar di luaran sana. Siapa tahu gue hanya jadi yang kedua?”
Gisel tertawa mencemooh. “Pede juga, ya, ngaku jadi yang kedua. Kalau jadi yang ketiga, keempat, kelima?”
Mendengar itu, Dava langsung tertawa dan menggelengkan kepala. Koor tawa Gisel menyusul selanjutnya. Mereka berdua menertawakan kebodohan mereka hari ini, sore ini.
Harusnya Dava tahu kalau Gisel memang berbeda.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Disini?” tanya Dava ketika mobilnya sudah berhenti di pom bensin pinggir jalan. “Demi apa, sih?”
Tatapan cowok itu kembali mengitari jalan raya. Bingung bukan main kenapa Gisel meminta diturunkan disini. Benar-benar di pinggir jalan.
“Iya, Dava."
Cowok yang disebut namanya itu mengaati setiap pergerakan sang kekasih. Gisel yang kini memasukkan ponsel ke dalam tas merk ternamanya, kemudian melepas sabuk pengaman dengan cekatan.
“Kenapa?”
Gisel mengangkat kepalanya. Menatap Dava yang sedang menyorotnya dengan tatapan meminta penjelasan.
“Kenapa minta diturunin di sini?”
Gisel mendesah kecil sebelum malah menyandarkan kepalanya ke sandaran jok mobil. Ia menoleh pada Dava yang posisi duduknya menyamping ke arah Gisel. “I should make you know something.”
“Ya, you should.”
“My parents are... so strict.”
Dava langsung memejamkan mata sesaat. “s**t, no way.”
“Yes way.”
“Jangan bilang kita harus back street. Lo gak bisa selalu diajak ketemuan, gue gak bisa ke rumah lo buat apel, gak bisa chatting for a long hours or talk to each other.”
“Ya, enggak segitunya, sih. Look, gue bahkan masih keluar masuk club tiap malem. Bokap nyokap cuman gak bisa dan gak mau liat gue pacaran sama cowok sembarangan.”
Dava melongo. “Am i sembarangan to you?”
Gisel tertawa, tangannya terulur mengusap sekilas rahang Dava sebelum kembali berujar. “Mereka maunya gue pacaran sama cowok pilihan mereka.”
“So let me try it first.”
Gisel menggeleng. “Don’t. Trust me, we’ll better hide our relationship from my parents only. Kita gak perlu sembunyi-sembunyi dari publik, cuman dari orang tau gue doang. Gue cuman minta jangan nunjukkin muka di depan bokap nyokap apa lagi ngaku jadi pacar gue. They’ll hate it. So much.”
Dava mendesah gusar. Ia menyugar rambutnya untuk yang kedua kali.
“Ya?” rayu Gisel. Tangannya mengusap lengan kekar sang kekasih. “Please?”
“Just it?”
“Just it.”
“Hmm,” Dava mengangguk akhirnya. “Okay then.”
Gisel tersenyum manis. “Thank you. Gue pulang sekarang kalau gitu.”
Dava menggenggam tangannya tiba-tiba. “Wait.”
“Hm?”
“Can i steal your kiss tonight? Sebelum lo balik?”
Seulas matahari terbit melengkung di bibirnya. Cewek itu mengangguk sembari mendekat. “Of course. My lips is yours.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Dava tiba di rumahnya ketika jam dinding menunjukkan pukul 23.05. Usai melepas dasi, jas, dan kemejanya yang ia pakai seharian ini, melempar sepatu dan menanggalkan celana di karpet bulunya, ia langsung ganti baju asal-asalan dan berbaring di kasur empuknya.
Memorinya melayang pada apa yang terjadi sejak sore tadi. Jika dipikir-pikir, ia sudah menghabiskan waktu sekitar lima jam atau lebih untuk berduaan dengan Gisel. Mulai dari mereka meninggalkan restoran pukul enam hingga barusan ia mengantar gadis itu itu ke rumahnya untuk pulang. Ralat, ke pom bensin.
Tebak kemana mereka usai tadi?
“Ini kita mau kemana, sih?” tanya Gisel ketika menemukan Dava menyetir ke arah jalan yang tidak ia ketahui. Sudah mencapai perbatasan kota bahkan. “Dav, mau kemana sih?"
“Nanti juga tahu.”
“Maunya tahu sekarang.”
Dava mengacak rambut Gisel gemas. “Pantai, Sayang.”
“Hah?!” Gisel kaget, jelas. “Demi apa? Ini jam enam senja, lo pakai jas, gue pakai gaun, dan lo ngajakin ke pantai? Are you insane?!”
“Chill. Kita ke butik dulu, beli baju disana buat ganti. Kalau gue mah aman pakai as, gak dingin. Tapi elo kan pakai gaun terbuka begini. Bisa masuk angin kalau nekat ke pantai.”
‘Nah, that’s it. It is.” Gisel menatap Dava tak percaa. “Dari pada repot-repot ke butik segala cuman buat beli baju, kenapa kita gak kemana aja gitu, kek, yang bukan pantai?”
“Gue gak repot, kok,” Dava melirik Gisel yang bersedekap di depan d**a. “Tadi clueless banget mau ngajakin kemana. Terus kepikirannya ke pantai doang. Ya udah. Lagian ini udah terlanjur jauh, males kalau puter balik.”
Ujung-ujungnya, mereka berdua memang benar jadi ke pantai. Ini karena Dava memang benar-benar ingin menghabiskan waktu lama bersama Gisel. Sepi dan berdua. Dengan bertukar cerita dan saling mengenal. b******u mesra di pinggir ombak. Desau angin dan semilirnya yang romantis.
Cowok itu tersenyum tiba-tiba. Geli sekali memang. Kemana perginya seorang Dava Garda Erlangga yang garang dan dingin minta ampun kepada perempuan selain kepada wanita yang ia bawa ke ranjang? Kali ini hanya ada Dava Garda Erlangga yang nampaknya jatuh ke dasar tebing, bertekuk lutut untuk seorang gadis yang berhasil ia pacari dalam waktu singkat. Bahkan Dava bukan tergiur pada tubuhnya, tertarik tentu tapi bukan itu poin utamanya kali ini.
Ia benar-benar bisa merasakan perasaan yang beda. Gisel membuat Dava terhipnotis oleh senyumnya, matanya, karakternya, semuanya.
Ia merogoh ponsel di bawah bantalnya yang tak sengaja tertindih. Membuka kunci cepat lalu menekan salah satu fitur tukar pesan disana. Kontak yang baru ia simpan ketika pulang dari pantai tadi alias milik Gisel, kini terpampang di depannya.
Jemari Dava bergerak disana sebelum akhirnya mengirimnya.
To : Giselle Afreea W
Jangan begadang, ya. Abis cuci muka langsung tidur. Good night sweety.
Sent.
Ah, Dava jatuh cinta.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Demi anjing?!”
Dava mengangguk sebagai balasan menjawab pertanyaan yang sama dari tiga temannya. Iya, apa yang terjadi kemarin, Dava tak ingin menutup-nutupinya. Cowok itu berkata jujur pada Andi dan yang lain, bahwa apa yang direncanakan Andi dan dirinya kemarin gagal total karena kelakuan Dava sendiri. Tapi ia tak menyesal. Sama sekali tidak.
Andi menatap Dava malas. “Emang lo, tuh, gak bisa dikasih percaya.”
Dava mengembuskan asap rokok dari bibirnya lalu meringis. “Ya, gimana ya. Kalau lo jadi gue, lo pasti juga bakal berbuat yang sama, kok.”
“Secantik apa emang si Risol?” tanya Agas dengan tubuh merapat pada Dava.
“Gisel, tolol.” ralat Dava. “Cantik. Banget.”
“Mana, lo ada fotonya?”
“Ye, kepo lu.” Deril menoyor kepala Agas. “Kalau urusan cewek aja cepet. Giliran suruh bayar uang seninan lama amat kayak jalan dari Mekah ke China.
“Biarin, sik.”
“Bentar, bentar,” Andi menegakkan tubuhnya. “Berarti Ferrari-nya gak jadi, dong, ya?”
Dava mengangguk saja. Mobil mewah itu bukan masalah.
“Iye. Timbun, dah, sono di kamar lo.”
“Ck, ck, ck. Kalau gue jadi elo, gue pilih Ferrari sih dari pada si cewek. Cewe, mah, gampang anjir dicari. Tapi mobil gratisan? belum tentu.”
“Udahlah. Lo kagak tahu emang rasanya udah terlanjur cinta,” Deril membela. “Jomblo mana ngerti.”
“Ye, anjing.”
Semuanya tertawa.
Dava sedikit bersyukur dalam hati karena apa yang ia takutkan— yakni minimal Andi akan mengocehinya habis-habisan karena malah memacari gadis yang seharusnya dijodohkan dengan Andi— nyatanya tidak terjadi.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Dava Garda Erlangga's point of view
Udah satu tahun gue dan seorang Giselle Afreea Wicaksana menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.
Kaget? Sama, gue juga.
Gue pikir hubungan kami bakalan jalan maksimal tiga bulan. Karena yang pertama, gue sepik cewek-cewek buat mainan aja bisa langgeng samapi seminggu doang paling lama. Lainnya cuman sehari dua hari. Kedua, gue emang suka beneran sama Gisel hari itu, tapi gue gak seratus persen yakin Gisel ngerasain hal yang sama. Dia tipe cewek yang gak ketebak. Dilihat dari tongkrongannya ke kelab malam dan temennya yang jadi hits kampus, gue yakin dia tipe cewek yang gak bisa diajak serius.
Tapi nyatanya? Here we are.
Banyak yang udah terjadi satu tahun belakangan antara gue sama dia. Mulai dari susahnya kalau mau main karena gue gak mungkin jemput dia langsung ke rumah tapi nungguin dia di tempat lain. Repot? jelas. Gue sering banget marah karena Gisel ngeyel gak ngebolehin gue ke rumah dia. Apa susahnya bilang ke orang tua dia kalau gue cuman temen yang nebengin dia buat kemana gitu kek.Gak usah ngaku pacar. Aman kan?
Dan permasalahan tentang antar jemput itu adalah hal pertama yang jadi konflik di hubungan kami.
Mulai dari momen awal pertengkaran kami, rasanya lagu Back To you bener-bener relate abis sama hubungan gue dengan Gisel. Bukan, bukan lagu Back To You punya Selena Gome. Tapi Back To You punya Louis Tomlinson sama Bebe Rexha.
Dua sampai tiga minggu awal jadian, kami baik-baik aja. Bener-bener macem pengantin baru yang lagi manis-manisnya jalanin hubungan. Sampai hari dimana gue lagi pusing banget gara-gara abis berantem sama nyokap di pagi hari, sorenya gue dibikin makin pusing sama Gisel yang minta untuk gak ngajak dia ketemuan dulu karena dia ada acara sama bokap dan lain sebagainya. Padahal Gisel tahu, kalau gue lagi ada masalah, gue selalu terbuka dan nyeritain ke dia, sekalipun kita masih pacaran gak sampai sebulan waktu itu. Tapi dia gak ada waktu itu buat dengerin keluh kesah gue. Mungkin karena masalah emang lagi numpuk-numpuknya kala itu, gue jadi ngeluapin semua emosi ke Gisel.
you stress me out, you kill me
You drag me down, you f**k me up
Gue marah keesokan harinya dan kita berantem di rumah gue yang kebetulan juga pas lagi kosong.
“Kita udah ngomongin ini seratus kali,” ujar Gisel waktu itu sambil memijat kepalanya yang mungkin pusing karena abis berantem sama gue. “Orang tua gue sekeras itu. Mau nyoba kayak apapun, elo gak bakal diterima sama mereka. Karena pasangan gue adalah hak pilih dari bokap nyokap. Itu peraturan mutlak.”
Dan setelah konfik itu, gue bener-bener mencoba buat gak egois dan harus belajar ngertiin dia sebanyak yang dia mau. Kalau gue mau Gisel tetep bertahan sama gue, berarti gue harus nurutin cara main dia, Bener’kan?
Gue gak pernah jadi pacar yang antar jemput ceweknya ke sekolah karena cewe itu udah punya supir. Alasan kedua ya karena gue gak bisa muncul di depan gerbang rumah dia. Setiap kali kita mau jalan, dia lebih sering minta ketemuan di tempatnya langsung atau di minimarket dan tempat lainnya.
Hal yang gue syukuri adalah supir keluarga Gisel bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan majijikannya. Jadi perihal Gisel mau kemana dan sama siapa, akan jadi hal aman yang gak bakalan dibocorin ke orang rumahnya. Namanya Pak Hendri. Dan dia adalah orang yang bener-bener bisa dijaka kerja sama.
Alasan lainnya yang sering jadi alasan gue dan Gisel berantem adalah, cowok lain. Orang ketiga dalam hubungan kami.
Enggak, jangan mikir Gisel tukang selingkuh atau main-main sama cowok lain di belakang gue. Da bukan tipe cewek begitu, at least selama jadi pacar gue, dia gak pernah begitu.
Tapi laki-laki yang sering masuk ke dalam hubungan kami adalah laki-laki yang jadi tumbal untuk dijodohkan oleh Papa dan Mamanya Gisel. Bukan hanya sekali dua kali Gisel memberi tahu gue bahwa dia harus pergi ke suatu tempat untuk menemui laki-laki yang dijodohin sama dia. Dan gak sekali dua kali juga gue mukul rahang orang tersebut setiap gue menciduk dia berani pegang-pegang Gisel.
Memiliki watak dan karakter sama-sama pemarah dan keras kepala, sama-sama anak pertama, sama-sama berzodiak Scorpio, membuat kita hampir lebih banyak bertengkar dari pada mesra-mesraan. Hal yang paling fatal akibat pertengkaran kami adalah...
Gue dan Gisel sering putus nyambung.
Gisel dengan gengsinya yang setinggi langit, susah banget buat minta maaf itu embuat gue kadang kesal sendiri. Iya kalau gue lagi di suasana hati yang baik. Kalau gue juga lagi emosi, api ketemu api ya meledak.
Pernah suatu pagi, gue ngehubungin Gisel lewat chat kalau gue mau morning ride sama anak-anak. Tentu aja Deril, Agas, dan Andi adalah anak yang gue maksud. Gisel udah hafal itu sekalipun dia belum pernah gue ajakin ke tongkrongan.
Sialnya, pas baru mau balik ke rumah dari alun-alun kota, gue diserempet truk sampah yang bikin motor gue oleng dan gue? jangan ditanya. Jatuh jugalah. Gue udah mau emosi kalau gak inget yang nyupit truk bapak-bapak tua yang mukanya kayak capek banget. Gimanapun, sekasar apapun gue, gue juga masih manusia yang bisa kasihan.
Jadi dengan hati dongkol karena spion motor gue copot satu dan stang yang agak bengkok, belum lagi pergelangan gue yang linu abis karena ketindihan motor jatuh, gue langsung balik ke rumah. Niatnya mau langsung istirahat karena suasana hati lagi jelek banget.
Tapi mau buka pagar rumah, yang gue temukan adalah Gisel dengan sorot mata tajamnya.Dengan tangan bersedekap di depan d**a, cewek dengan jaket cokelat kayu itu menunjukkan raut marah.
“Dari mana lo?”
Gue bingung, dong. Baru mau jawab dan ceritain musibah yang gue alami, dia udah nyolot lagi.
“Dichat centang satu, ditelepon gak bisa. Kemana aja lo?”
“Gue udah pamit bukan sih tadi pagi?” jawab gue sambil nyuruh dia minggir karena gue mau masukin motor. “Belum lo baca?”
“Lo bilang mau morning ride. Hell, ini udah jam setengah lima sore.”
“Gue futsal. Abis itu ke Deril sama yang lain.”
“Gak bisa ngabarin?”
Tepat ketika gue udah selesai urusan dengan motor, gue noleh ke dia sambil ngangkat alis. “Mood lo lagi kacau?” tanya gue yang sebenernya kayak lagi tanya ke diri sendiri. Karena demi apapun, gue langsung sensi setelah dia membrondongi gue dengan pertanyaan-pertanyaan. “Sejak kapan lo jadi nuntut gue buat ngabarin dua puluh empat jam?”
Gak ngerti apa mata gue yang lagi siwer atau gimana, gue sempet nangkep dia kayak sedikit mendecih. Dia ketawa tapi mencemooh. “Oh, lo lupa kalau punya pacar sekarang?”
“Giselle Afreea, gue lagi gak mau debat.”
Adalah jawaban gue atas segala tuduhannya hari itu. Gue muter kunci pintu rumah, masuk langsung ke dalam dan gue tahu Gisel juga langsung masuk mengikuti gue.
“Bisa gak sih sekali aja kalau gue marah tuh elonya jangan kayak gini?!”
Tiba-tiba Gisel teriak.
We are on the ground, we are screaming
I do not know how to make it stop
Gue puter balik badan, ngeliat dia yang sekarang mukanya merah banget nahan emosi. Gak minat buat bales teriak, gue cuman jawab seadanya pakai nada santai. “Kayak gini kayak apa?”
“Lo selalu menyepelekan sesuatu tahu, gak!”
“Kalau gue selalu gitu kayak apa yang lo bilang, gue gak bakal susah-susah ngabarin lo pagi tadi!” gue jadi bales teriak. Emosi juga lama-lama. “Lagian bukannya dari dulu awal kenal gue emang gini. Kenapa baru sekarang lo protes?!”
Gak berhenti disana, gue maju melangkah ngedeketin Gisel yang berdiri di belakang pintu. “Sekarang gue yang tanya. Bisa gak lo kalau ketemu pacar tuh tanyain apa gue baik-baik aja, apa gue di jalan gak kenapa-napa? Jangan ego lo aja yang diprioritasin.”
“What? Ego gue? Ego gue lo bilang?!”
“Terus mau gue sebut apa? Inget-inget, selama kita pacaran, pernah gak lo nanyain apa gue bakal baik-baik aja sama keputusan lo yang tiba-tiba berubah pas kita udah janjian mau jalan, lo yang tiba-tiba begini, tiba-tiba begitu, pernah gak lo mikirin gue?! Hubungan kita tuh ya punya gue sama punya lo. Kalau terus-terusan ngomongin soal lo doang, lo kira gue bakal baik-baik aja?!”
Satu tetes air mata jatuh ke pipi Gisel. Gue tahu dia kaget dengan omongan gue. Gue gak pernah sekasar ini ngomong sama cewek apa lagi sampai nyudutin begini. Gue jelas ngerasa bersalah pas liat dia nangis. Tapi namanya juga cowok. Mau langsung minta maaf juga gengsi. Gobloknya, bukannya langsung minta maaf, Dava Garda Erlangga yang emang b******n unggul ini malah ngeluapin emosi yang lainnya.
“Lo tahu kalau gue abis jatuh tadi di jalan? Lo sadar gak gue dari tadi nahan sakit di tangan? Enggak! Lo gak pernah mau repot-repot ngamatin gue kenapa. Hubungan kita tuh cuman soal elo, elo, dan elo.”
Air mata Gisel makin deras dan rasa bersalah gue juga makin membesar. Tapi dasarnya emang b******k, gue sekuat tenaga nahan diri biar gak maju meluk dan nenagin cewek gue. Gue biarin Gisel nangis disana. Menatap gue dengan pandangan terkejut dan tak percaya.
Apa yang gue keluarin semuanya hari itu, kalimat-kalimat sampah itu, gue cuman mau Gisel tahu, hubungan kita bukan cuman tentang dia. Gue emang pernah bilang mau dia adalah prioritas gue. Tapi bukan berarti gue gak butuh diperhatiin. Gue juga mau Gisel ngerti kalau cowok gak suka disudutin, disalahin terus-menerus.
Kalau emang mood dia lagi jelek dan itu bikin emosinya meluap-luap, dia bisa kan bilang baik-baik? Dia bisa cerita sepanjang apapun, gue siap dengerin. Bukannya tiba-tiba marah gak jelas.
“Fine.”
Gisel akhirnya membuka suara. Dia mengangguk-angguk sambil ngusap pipinya. “Kita emang gak bisa terus-terusan begini. Apa yang terjadi antara gue sama lo selama ini emang cuman kesalahan.”
Gue tahu kemana percakapan ini akan berjalan.
“Kita... putus aja. Kita selesai disini.”
Adalah kalimat mengerikan yang gue dengar hari itu. Tanpa menunggu gue buat menahan dan mengelak, Gisel cepat-cepat buka pintu dan lari keluar rumah.
Gue?
Diam di tempat.
Tapi itu cerita dulu.
Itu pertama kali gue putus sama Gisel sebelum akhirnya gue menyesali perbuatan gue dan berujung minta maaf ke dia. Gue ngeyakinin Gisel kalau gue gak bakalan ngulangin kesalahan yang sama.
Bayangin aja. Kita baru pacaran satu bulan setengah terus tiba-tiba putus gara-gara dua-duanya lagi emosi. Gue gak ngerti kenapa setelah diputusin Gisel, geu ngerasa— sumpah ini geli— tapi idup gue berasa sepi banget. Hambar.
Gue kangen ngeresein Gisel. Kangen chattingan, teleponan, kangen denger dia ngomel.
Akhirnya setelah tiga hari gue ngegalau kayak anjing dan tiap malem mabok bareng Agas, besoknya gue samperin dia ke sekolahnya. Detik dimana dia bilang dia mafin gue dan mau balikan lagi, gue hampir lupa diri mau cium dia di tempat parkir SMA Pertiwi.
I love it, I hate it, and I can not take it
But I keep on coming back to youI just keep on coming back to you
Gue udah bilang, lirik lagu itu bener-bener kayak nyeritain hubungan gue sama Gisel. Di setiap suku katanya, gue meresapi, apa yang nulis lagu emnag terinspirasi dari cerita gue sama cewek gue?Sekangen itu. Suwer.
Gue tahu, pelan tapi pasti, rasa ketertarikan yang awalnya gue rasain sampai berani nembak dia udah bermetafora jadi rasa nyaman. Kemana-mana gak sama Gisel rasanya beda dan gue gak suka perbedaan itu.
Gue gak pernah bilang sayang ke Gisel selama dua bulan kita pacaran. Pun dengan Gisel. Kita sama-sama tahu kalau kita berdua masih belum sampai ke tahap itu.
Tapi semuanya langsung berbeda sampai hari dimana gue hampir kelepasan ngambil apa yang harusnya gak gue ambil dari cewek gue.
You got me so addicted to the drama
I tell myself i am done with wicked games
But then I get so numb with all the laughter
That I forget about the pain
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *