bc

Girl Almighty

book_age18+
721
FOLLOW
5.2K
READ
possessive
badboy
badgirl
bxg
campus
highschool
virgin
wild
like
intro-logo
Blurb

Akibat Andi— teman Dava, yang merayu Dava untuk menemui seorang perempuan yang hendak dijodohkan dengan Andi, ditambah lagi Andi menawarkan mobil sport terbaru yang akan diberikan pada Dava secara cuma-cuma, mau tak mau Dava jelas tergiur.

Tapi Dava tak pernah mengira bahwa gadis yang akan ia temui bisa secantik ini. Giselle Afreea adalah jelmaan dewi kecantikan, Dava yakin itu. Bisa-bisaya Dava baru bertemu dengan perempuan semenarik itu hari ini. Kemana Dava selama ini?

Karena ketertarikan di awal pertemuan mereka inilah yang membuat Dava yakin bahwa cinta pandang pertama memang benar adanya. Dalam satu pertemuan yang belum menghabiskan setengah jam, Dava mau bertekuk lutut untuk gadis itu. Gisel seakan memakai ramuan pelet untuk memancarkan aura indah di tubuhnya.

Tak perlu waktu dan pertimbangan banyak untuk Dava akhirnya menyatakan ketertarikannya pada Gisel hari itu. Hal yang paling membahagiakan untuk Dava adalah ketika Gisel menyetujui penawarannya untuk menjadi kekasih resmi seorang Dava Garda Erlangga.

Semenjak hari itu, keduanya dikenal sebagai pasangan paling menarik.

chap-preview
Free preview
01
Dering bel pulang sekolah baru berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu ketika Dava, Andi, dan dua kawannya yang lain sedang duduk di atas motor masing-masing. ntah apa motifnya, namun ke empat  cowok tampan itu selalu memarkir motor bersebelahan. Ada Dava Garda Erlangga dengan ninja merahnya, Deril Ardito Zain dan Agas Zidane Althaf dengan ninja hitamnya, dan Andi Pramana dengan vespa lawasnya. Iya, jika yang lain gemar menaiki motor besar— yang sebenarnya bukan diniatkan untuk pamer tapi memang keliatan keren—Andi lebih suka dengan vespa kuningnya yang usut punya usut, diberi nama Ondi. Bukan itu masalahnya. Ini tentang ponsel Andi yang berdering dikala ia sedang asik mengobrol dengan tiga temannya. Nada dering yang sengaja ia buat berbeda tersebut berasal dari nomor ibunya. Dan ibu seorang Andi Pramana yang sekarang sedang naik daun karena nama dan fotonya jadi terpampang dimana-mana dengan kalimat promosi minta nomornya dicoblos itu tak pernah telepon jika bukan hal yang penting. Tanpa sadar, Andi membaca bismillah dalam hati sebelum akhirnya menekan warna hijau di layar ponselnya, menghiraukan Dava, Agas, dan Deri yang langsung diam namun tatapannya menunjukkan pertanyaan. “Assalamualaikum, Ma?” sapanya. “Kamu dimana? Udah pulang?” Andi mendengus ketika tak mendapati balasan atas salamnya barusan. “Assalamualaikum, Ma?” ulang Andi. “Iya, iya, waalaikum salam,” jawab ibu akhirnya. “Jadi, kamu dimana?” “Lagi di tempat parkir sekolah. Baru mau pulang. Mama lagi d kantor?” “Iya,” Diana berdeham. “Cepet pulang, mandi, ganti baju sama pakaian yang udah disiapin bibi di atas kasur kamu. Satu jam dari sekarang, kamu harus udah sampai di hotel yang mama baru kirim alamatnya.” Hah?” Andi mengernyit. “Hotel?” “Mama udah booking restoran disana.” “Sewa reestoran?” Firasat Andi benar-benar tidak enak kini. “Buat?” “Bisa berhentitanya dan sekarang cepet pulang?” “Loh, gak bisa dong. Aku harus tahu kenapa aku tiba-tiba banget disuruh kesana.” Mamanya terdengar menghela nafas kasar disana sebelum akhirnya bersuara. “Mama sudah atur jadwal buat kamu biar bisa kenalan sama anak temen mama.” Oh, tentu saja. Andi mengumpat dalam hati. Harusnya ia tak perlu tanya lagi. Karena bahkan memoriku terulang mulai dari awal bulan, ini sudah ke empat kalinya sang ibu menggunakan Andi sebagai perabot alias boneka permainan bisnis. Ia selalu dijodoh-jodohkan dengan anak teman sang ibu. Diana memang tidak pernah bilang secara gamblang apa tujuan dari yang ia perintahkan pada sang putra, tapi Andi tidak bodoh. Ia terlalu jenius hanya untuk sekedar mengetahui apa maksud dan niat terselubung di balik semua ini. “Andi gak bisa. Ada acara sama temen-temen—“ “Apa? Nongkrong gak jelas sama temen kamu?” Dia diam sebentar. “Pokoknya gak bisa. Dan gak mau.” “Mama gak meminta persetujuan kamu,” ujar Diana teguh pendirian. “Pulang sekarang.” Panggilan langsung diputuskan sepihak ketika bibir Andi baru akan mengeluarkan penolakan. Dia berdecak, menahan mati-matian agar tak ada satu kata kotor yang sampai keluar dari bibirnya. “Kenapa lo?” “Sepet amat, tuh, muka.” sembur Agas menambahi kalimat Deril. Andi menoleh sembari memasukkan ponsel ke dalam saku celana. “Biasa, nyokap.” Dava mencibir dan mengejek. “Kali ini calonnya sama apa udah beda lagi?”  Agas tergelak. Deril ikut tertawa sedangkan Andi langsung menatap jengah pada Dava. “Ngeselin banget nyokap, sumpah.” Agas menepuk bahu Andi berulang kali. “Sabar, Bro. Gue bisa bayangin, sih, kalau jadi elo.” “Dikira ini Siti Nurbaya kali, ah, masih aja main jodoh-jodohan,” timpal Deril. “Terus sekarang elo langsung mau balik? Gak jadi gabung ke Mak Ijah sama kita?” Yang ditanya diam saja. Jemarinya mengetuk tangi bensin beberapa saat, kepalanya memutar otak. Tatapannya bergerilya kesana-kemari. “Dav, mau gantiin gue, gak?” Dava langsung tersedak ludahnya sendiri. Bahkan ia tak sedang minum atau makan. Cowok itu menatap horor ke arah sahabatnya. “Lo ngomong sama gue?” “Ya menurut elo, anjim.” “Ogah, ya!” Dava memakai helmnya, bersiap untuk pulang. “Gue gak minat jadi bahan tinju bokap lo.”  “Kagak bakal tahu asal lo ngaku.” “Ogah. Agas aja, noh, jomblo dan pengangguran,” ujar Dava mengedikkan bahunya ke arah motor samping milik Agas. “Lo gabut kan, Gas? Noh, bantuin Andi melakukan penyamaran. “Paan, anjir?” Agas tak terima diumpankan. “Gak, gak. Kalau elo aja gak sanggup berurusan sama Om Tomo, apa lagi gue?” “Ck.” “Lagian gue harus cabut nganterin nyokap pijet ini.,” kata Agas menyangkal. Ia menunjukkan layar ponselnya yang sangat terang kepada tiga temannya “Noh, liat. Baru dichat.” “Dav, bantuin aja sih, si Andi. Kasian, noh,” ujar Deril membela. “Lagian elo kan ngebet pengen kenalan sama cewek. Siapa tahu cakep yang ditemuin Andi nanti.” “Lo kira gue kagak bisa cari cewek sendiri? Lagian sepengen-pengennya gue punya cewek, gue gak doyan sama punya temen.” “Elah, bukan punya gue itu,” Andi menendang pelan tungkai kaki Dava. “Bantuin kali ini doang.” Dava baru akan menolak sesaat sebelum ia sadar Deril dan Agas juga ikut-ikutan menunjukkan tampang memelas dan emmohon. Dava langsung misuh. “Anjing. Kalau yang gak enak aja dikasih ke gue, ya, lo-lo pada.” Agas tertawa. “Lagian lo gak kasihan apa sama Andi?" Dava menatap Andi di sampngnya. “Lo berani bayar berapa, dah, kalau gue mau bantuin?” “Ye, anjing temen sendiri juga!” seru Agas menoyor kepala Dava. Yang ditonyor hanya tertawa tak merasa bersalah. Ia kembali menghadap Andi. “Gimana, woi?” “Ambil Mercedes gue kalau lo mau.” ujar Andi akhirnya, walaupun sedikit tak rela. Cowok dengan nama lengkap Andi Pramana itu benar-benar ada di titik termuak dengan kelakuan orang tuanya yang suka mengumpankan ia untuk dikenalkan dengan gadis-gadis putri teman mereka. Selain karena Andi masih kelas 11 SMA, ia bahkan tak memiliki minat mengurusi kisah asmaranya yang hambar ini. Kenapa orang tuanya tidak bisa bangga dengan Andi yang hobi belajar dan membaca buku dari pada keluyuran di malam hari dan bergonta-ganti pasangan? Andi sangat heran. Sifatnya dengan sifat kedua orang tuanya sangatlah berbeda. Atau jangan-jangan Andi hanya anak pungut? Dava di hadapannya berdecak jengkel mendengar hanya merk itu yang keluar dari bibir sang teman. Ia tahu mobil kenamaan tersebut harganya memang sudah luar biasa. Dan mendapatkan mobil hanya karena membantu menyamar tentu adalah sebuah bayaran yang sangat menggiurkan. Tapi Andi tak mau kesempatan yang terpikirkan di kepalanya terbuang begitu saja. Ia menyugar rambutnya sembari berujar, “Kalau ada Ferrari 812 punya lo kenapa gue cuman dikasih Mercedes?” “Dav, lo cuman gue suruh nemuin cewek yang mau dikenalin sama geu, abis itu pulang dan urusan selesai. Kenapa begitu doang lo nagihnya mobil yang 5 milyar?” Yang ditanya cuman nyengir. bahunya kemudian mengedik. “Terserah lo, sih, mau apa kagak. Gue, mah, cuman bantuin doang. Tapi ya gitu, kalau mau dibantuin, Ferrari lo gue bawa balik.” Dava bukannya tak tahu bahwa mobil sport Andi dengan harga milyaran itu baru dibelinya dua bulan yang lalu dan hanya dipakai satu kali. Tapi mau bagaimana lagi. Dava mengincar mobil tersebut bahkan ketika hari pertama ia masuk garasi rumah mewah Andi kala itu. Warna elegan dan bodi mobil yang tak main-main benar-benar membuat Dava tergiuruntuk memilikinya. Bahkan mendengar penawaran Andi ditambah pengajuan Dava, Agas dan Dvaa terkejut bukan main. Melongo sesaat, tak percaya dengan dua benda milyaran yang kini dibicarakan dua teman mereka seakan-akan Andi dan Dava hanya membicarakan uang sejuta. “Ya udah ambil."  Dan dengan jawaban singkat nan cuek dari bibir Andi Pramana, Deril langsung berseru heboh tak percaya, “Anjing, Dap! Mimpi apa lo semalem?!” “Tau gini gue juga mau!” tambah Agas sambil menendang knalpot Dava.  Dava tertawa puas. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Sore di pukul lima, ketika Jakarta sedang macet-macetnya karena banyak pekerja yang akan pulang ke rumah, Dava jelas terjebak di jalan raya. Ia mengumpat sejadi-jadinya pada Gisel— nama perempuan yang kabarnya akan ia temui satu jam lagi— karena gadis itu meminta bertemu di jam seperti ini. Dava menekan bel mobilnya kencang, emosi pada sepeda motor matic yang menyalip dari arah kiri ketika ia hendak membelokkan mobil. “Awas aja kalau gue udah sampe segininya cuman buat bantuin Andi ternyata ceweknya zonk.” gumam Dava kesal. Ia menginjak gasnya lagi, kali ini menaikkan kecepatan dua kali lipat saat jalanan yang ia pilih ternyata tak terlalu ramai. Berbagai tikungan dan lampu merah sudah ia lewati sampai akhirnya cowok tersebut memasuki gerbang besar hotel mewah Jakarta. Tak perlu butuh waktu lama hingga ia memarkirkan mobil dengan rapi. Usai mematikan mesin mobil, Dava menghembuskan nafas perlahan. Tangannya menarik satu lembar tisu untuk menyeka keringat di dahi sebelum kemudian ia mengambil parfumnya, menyemprot dua kali di leher dan pergelangan tangan lalu bergegas turun. Berbagai daftar pesan yang diberi tahu Andi tadi kembali ternguiang di kepalanya. Andi sudah mewanti Dava untuk tidak terlambat datang, harus berpakaian rapi, harus ini, harus itu. Oh, dan satu lagi. Andi juga bilang bahwa Dava tidak boleh membeberkan rahasia yang sebenarnya, bahwa Dava hanyalah suruhan Andi. Identitas mereka tidak boleh terbongkar. Dava harus menyamar. Sebeanrnya kalu yang ini Dva ajuga sudah hafal di luar kepala. Siapa pula yang mau berurusan dengan Utomo Pramana alias bapak dari temannya? Tidak ada. Dengan melangkah santai memasuki restoran yang sudah disewa hanya untuk ia dan Gisel, Dava menghela nafas. Bukan gugup. Mana pernah Dava gugup. Ia hanya sebal karena Andi membuat terlalu banyak permintaan dan wejangan hingga Dava kini malah lupa apa saja pesan dari sohibnya tadi. Helaan nafas kasar datang dua kali dari hidungnya ketika Dava tidak menemukan siapapun di restoran bernuansa warna merah mawar itu. Artinya Gisel belum datang dan Dava harus menunggu. Ia duduk usai mengusir pelayan yang menawarinya bir. Suasana hatinya jelas akan anjlok jika saja ia tak ingat pulang dari sini, ia mendapatkan mobil yang ia idam-idamkan selama ini. Baru kali ini Dava mau disuruh-suruh. Ia diam dengan bosan sampai beberapa saat kemudian, matanya menemukan beberapa pelayan restorn dengan seragam ketat yang terkesan menonjolkan bagian-bagian tertentu. Dava mengangkat satu alisnya ketika tatapannya beradu dengan salah satu pelayan yang menggigit bibirnya sengaja. Oh, tentu ini buka hal yang mengejutkan mengingat Dav asudah biasa berurusan dengan perempuan penggoda. Namun getar ponsel dari celananya membuat perhatian Dava akan salah satu pelayan seksi tersebut jadi teralih. Ia menunduk, membuka ponselnya, dan menemukan pesan masuk dari Andi. Andi Pramana : udah sampe lo? Andi Pramana : jangan sampe telat Dava mendengus. Isi pesan Andi seperti gadis yang menanyakan keadaan kekasihnya. Ia bergedik geli sembari mengetikkan balasan cepat untuk Andi, sang majikannya hari ini. Detik dimana ia masih fokus membuka pesan masuk dari gadis-gadis yang sedang ia kencani saat ini di salah satu aplikasinya, terdengar suara sepatu ber-high heels tinggi yang memasuki ruangan. Jelas saja bisa sampai terdengar di telinganya mengingat restoran sudah disewa dan suasana sekarang sangat hening mengalahkan tempat pemakaman. Dava otomatis mengangkat kepala, ia menoleh. Matanya sedikit melebar takjub ketika gadis secantik Dewi Aprodit mendekat ke arahnya. Dengan gaun berwarna merah yang menjuntai panjang hingga mata kaki namun terbuka di samping betis dan atasan hanya mampu menutupi d**a namun tidak dengan bahunya, gadis itu terlihat sangat antik. Dan menggiurkan karena lipstik merah yang seiras terpoles di bibirnya.  Dava mengerjapkan mata sekali lagi, netranya mengikuti setiap langkah anggun dan elegan dari gadis itu sampai Gisel mendekat. Dava berdiri cepat dan menarik kursi disana untuk Gisel, mempersilahkan gadis itu untuk. duduk manis di hadapannya. Gisel memasang senyumnya. Dava tebak gadis itu sadar diri bahwa dirinya memang selalu mampu memikat seorang laki-laki. Terlihat dari aura percaya diri yang memancar dari sorotnya. “Andi, ya?” ujar Gisel membuka suara. “Sorry gue dateng telat. Tadi kejebak macet di Jalan Matraman.” Dava berdeham kaku. Mengingat gadis di hadapannya bertingkah laku se-elegan ini, artinya Dava juga harus berakting sedemikian rupa untuk menyeimbangi. Belum lagi saat ini ia adalah Andi Pramana bukan Dava Garda Erlangga. Dava mengangguk. “Santai. Gue juga baru dateng lima belas menit yang lalu.” “Oh, okay. Lo putra tunggalnya Pramana?” Dava mengangguk lagi. “Dan lo anak pertama keturunan Wicaksana? Bener, gak?” Kini gantian Giselle yang menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah dua kali. Tangannya terangkat dan terulur di depan Dava, mengajaknya berkenalan secara resmi. “Giselle Afreea." “Wicaksananya gak ada?” tanya Dava bergurau.  “Ketinggalan.” balas Giselle sembari tertawa kecil. Dava menyambut uluran tangan Gisel, menyentuh tangan halus gadis itu. Benar-benar halus, pertanda bahwa Gisel memang tidak pernah menyentuh pekerjaan di rumah. Benar-benar cocok menjadi keturunan Wicaksana yang dikenal sebagai sultan di Indonesia.  “Andi. Gue Andi Pramana.” ujarnya membalas. Mereka melepas tangan masing-masing walaupun Dava harus mendesah kecewa karena kehilangan. Ia ingin menggengam tangan Gisel lebih lama, merasakan halusnya jemari gadis itu, menciumi telapak tangan harumnya.  “SMA Delite, ya?” Dava mengangguk. “Right. Dan lo cewek Pertiwi?” “Correct. Udah dikasih tahu sama bokap soal asal-usul gue, ya? Kok tahu gue sekolah di Pertiwi?” Dava menyandarkan punggungnya di kursi. Kali ini memasang gestur tak terlalu kaku seperti sebelumnya karen demi Spongbob dan celana kotaknya, menjadi Andi yang kakau dan pendiam membuat ia lelah sendiri dalam berakting. Kedua tangannya bersedekap di depan d**a. Posisi ini adalah posisi yang jauh lebih baik. Dava bisa memandangi kesempurnaan seorang Giselle Afreea dari jauh dan seutuhnya. Ia memotret gadis cantik itu dengan cepat dalam memori, tak membiarkan ia hilang ingatan akan pahatan wajah sempurna milik Gisel. Dava menggeleng. “Enggak. Bukan info dari bokap.” “Terus? Jangan bilang asal nebak, ya. Basi.” Dvaa terkekeh. “Cewek Pertiwi cantiknya bisa terdeteksi dalam sekali lihat, kali.” Gisel jadi tersenyum meremehkan. “Oh, i see. kayaknya elo pernah pacaran sama salah satu cewek Pertiwi?” “Pacaran? enggak. Gue lebih suka nyebutnya kencan satu hari. Me and them weren’t into serious relation ship.” “Hm, buaya detected.” Dava mengangkat satu alisnya tinggi. Kepalanya menggeleng. “No, girl. I am a king cobra.” Gisel langsung tertawa lepas. Kepalanya sedikit menengadah dan tangannya menutup mulut. Bukan jenis pergerakan perempuan yang menjaga image, ini hanya gerakan refleks. Tapi dari detik inilah Dava bisa menyimpulkan bahwa gadis ini benar-benar indah. Tawanya, matanya, wajahnya, rambutnya, cara bicaranya, sikapnya, semuanya. Gisel sempurna dengan caranya dan Dava jatuh. Jatuh ke dasar laut dalam netra gadis itu. Pada pertemuan pertama. Ini gila. Dava tak pernah menebak bahwa gadis yang ditemuinya sore ini akan semenarik dan semenggiurkan seorang Giselle Afreea. Siapapun boleh tak percaya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama tapi tidak dengan Dava. Ia bertaruh nyawa bahwa detik ini, ia benar-benar sanggup bersujud di kaki Giselle agar gadis itu mau menjadi kekasihnya. Suasana hening sesaat usai tawa Gisel mereda. Banyak hal yang ingin diutarakan Dava detik ini, salah satunya adalah mengaku bahwa ia bukan Andi dan menjadikan Gisel sebagai kekasihnya. Tapi gila saja, yang ada ketika pulang ke rumah Andi, mungkin pipinya akan babak belur. Bukan bogem mentah dari Andi, tapi dari Om Tomo atau body guards sohibnya. “Permisi.” Dua pelayan datang menginterupsi percakapan keduanya. Dava dan Gisel menoleh kepada sumber suara sebelum saling mempersilahkan para pelayan untuk menaruh bawaan di atas meja. Hidangan demi hidangan berdatangan di akhiri dengan dua gelas wine merah dan satu botol birnya. Usai mengucapkan terimakasih, baik Dava maupun Gisel malah nampak tak tertarik dengan berbagai macam makanan di atas meja. Gisel hanya menusuk daging salmon dengan garpunya tanpa berniat memasukkan ke dalam mulut. Sedangkan Dava malah mendekatkan gelas alkoholnya, menuang botol bir hingga penuh ke dalam sana. Sebelum ia mengangkat gelas, ia menatap Gisel. Alisnya terangkat lagi. “Wanna cheers, girlie?” Gisel melepas garpu. Ia mengangkat gelasnya mendekat pada gelas Dava. “Sure.” “Cheers.” Dentingan gelas keduanya beradu. Tetes alkohol masuk ke dalam tenggorokan lelaki itu, dan seketika tenggorokannya merasa hangat. “So, tell me,”  ujar Dava usai menaruh gelas. “Elo dateng kesini, duduk di hadapan gue sekarang, karena dipaksa atau emang ikhlas?” Gisel tertawa. “Kayaknya alasam gue dateng sama kayak alesan lo.” “Emang apa alesan gue?” “Dipaksa?" “Hah? Di muka gue keliatan emangnya?” Gisel menggeleng. “Enggak, sih. Cuman jaman sekarang siapa, sih, yang mau dijadiin robot disuruh dinner sama orang asing. Kayak gak laku aja.” “Hahaha. Iya, setuju sih. Orang tua jaman sekarang, tuh, mikir apa coba sampai ngorbanin anak sendiri buat dimasukin kandang perpolitikan yang padahal kitanya aja gak paham apa-apa?” “Gue aja tadi sebelum berangkat sempet ribu dulu sama nyokap.” Dava tertawa. “Serius?” “Hm, iya. Lagian ini bukan pertama kalinya.” “Hah, emang iya?” tanya Dava tak percaya. “Gila, An—“ Andi juga gitu. Ampun, dah. Hampir aja gue keceplosan nyeplosin nama Andi. Dava menggerutu dalam hati. “An?” “Hah?” “Tadi lo mau ngomong apa? Ngegantung.” “Oh, itu. Eung, anu, tadi mau cursing tapi gak jadi. Gak enak aja sama lo,” Dava meringis, memilih berbohong. Gisel tertawa. Tangannya mengibas. “Santai elah. Kayak sama siapa aja. Gue juga sering cursing, kali.” “Hehe.”  Tangan Gisel memanjang, meraih botol bir di tengah meja sebelum menuangkannya kembali di sloki miliknya sendiri. Ia menatap Dava sesaat usai gelasnya penuh, meminta pendapat apakah lelaki tiu bersedia slokinya diisi juga. Dava mengangguk singkat mempersilahkan. Kali ini tanpa mendentingkan kedua gelas, mereka sama-sama meneguk kembali cairan haram itu. Dava kembali merasakan panas di tenggorokannya.  Dava belum mabuk, tentu saja. Dua sloki wine yang sudah ia teguk tersebut tidak akan mempengaruhinya sejauh itu. Tapi kesadarannya seperti direnggut paksa ketika matanya bertubrukan dengan mata Gisel seiring tangannya menaruh gelas. Dava benar-benar suka menatap netra itu. Tiba-tiba pikirannya melayang lancang. Dava ingin melihat wajah cantik Gisel di setiap paginya. Dava mau ada nama Gisel yang akan muncul di layar ponsel ketika ia tak kunjung pulang. Bukan, bukan ikat pernikahan yang ia pikirkan saat ini. Tapi yang pasti suatu ikatan lebih dari apa yang mereka jalani sekarang. Dava tidak mau hanya jadi sosok asing untuk Gisel seperti ini. Baru mulutnya terbuka hendak mengucap sesuatu, Gisel lebih dulu mengeluarkan suara. “Gue tau lo bukan Andi.” Hah? Dava langsung duduk tegak. Apa ini? Mengapa tiba-tiba sekali? Gisel berdeham, kedua tangannya berada di atas meja sekaan menghakimi laki-laki di hadapannya. “Lo bukan Andi Pramana. Lo bukan cowok yang disuruh nyokap gue buat ketemuan. Am i right?” Gadis itu tak mengeluarkan nada emosi di setiap kalimatnya. Malah cenderung tenang menghadapi masalah. Oh, Dava memang pandai membaca karakter seseorang. Tangan Gisel kini berubah menjadi bersedekap di depan d**a, meniru gestur tubuhnya sedari tadi. Ia tahu ia terlalu telat untuk mengelak Gisel. Tatapan datar gadis itu seperti berbicara bahwa Gisel sudah tahu semuanya. Sudah tahu kebusukannya dan rencana tersembunyi yang ia lakukan diam-diam dengan Andi Pramana yang asli. Dengan sok tenang padahal jantungnya berdegup kencang seperti balap liar,  Dava menjawab. “Gimana lo bisa tahu?” Kini Gisel menumpukan sikunya di atas meja, sedangkan dagunya berada di telapak tangan. Ah, gadis ini memang cantik. Setiap pergerakannya mampu menghipnotis Dava. “Well, am i look like stupid girl for you?” “Of course you are not,” jawab Dava tenang. “Karena gue tahu elo tipe smart woman, gue jadi penasaran. Gimana bisa elo tahu kalau gue bukan Andi?” “Andi is a nice guy. Sekalipun gue belum liat muka dia yang asli dan belum tahu fotonya sama sekali, tapi berdasarkan pengalaman gue dikenalin sama anak temen nyokap, gak pernah sekalipun nyokap ngerekomendasiin gue cowok yang...” Gisel melirik kecil ke arah Dava. “Kind of bad boy.” Dava masih diam. Tak berniat mengelak dan mendebat. Ia ingin tahu jawaban apa lagi yang akan diberikan Gisel. “Andi gak minum bir.” Oh, iya, g****k. Batin Dava merutuki diri sendiri karena tadi ia malah meneguk cairan pada gelasnya hingga tandas. “Andi gak punya tato. Sekecil apapun.” Double s**t. Umpat Dava dalam hati. Gadis di hadapannya benar-benar tidak bisa diragukan. Gisel bahkan sedetail itu melihat tato kecil bertuliskan “find it!” di lehernya, di bawah telinga. Benar-benar kecil dan hampir tak terlihat. Ah, sepertinya burung elang akan kalah tajam penglihatannya jika disandingkan dengan seorang Giselle Afreea Wicaksana. Dava terkekeh kecil ketika Gisel menuntaskan kalimatnya. Cowok itu ikut maju, menaruh tangan di atas meja. Ia mengerling kecil. “You are that smart.” “I know and thank you." “And you know what?” “Hm?” “Smart is the new sexy.” Gisel menyeringai. Ia memajukan badannya lagi. Tak peduli dengan tatapan penasaran di meja ujung para pelayan yang pura-pura lewat entah untuk apa. “So?” tantangnya. Sial, gadis ini benar-benar menggoda. “Gue Dava. Dava Garda Erlangga. I like you a lot, so... i want you to be my girl.” Dava sudah hampir meninggalkan jantungnya di perut ketika Gisel tak menjawab apapun. Malah menatapnya dengan pandangan tak terbaca berdetik-detik kemudian. Sial, apakah hari ini akan jadi hari bersejarah di hidup Dava karena ditolak oleh seorang perempuan untuk yang pertama kali? Yang benar saja. Ia bahkan baru kali ini menyukai perempuan. Don't you see me I I think I am falling, I am falling for you Gisel menggigit bibir bawahnya tiba-tiba. Sengaja. “Beg for it.” Satu kesimpulan lagi yang bisa Dava berikan untuk hari ini. Ia bisa membayangkan bahwa gadis di hadapannya akan suka bermain dominan di atas ranjang dari caranya berbicara pada lawan jenis. Bagaimana Dava makin tak tertantang kalau begini caranya? Dava menyeringai. “I beg you. Please, be my girlfriend.” Dengan kalimat itu, Gisel langsung merekahkan senyum di bibir merahnya. Senyum yang Dava yakini sebagai jawaban iya dari seorang Giselle Afreea. Dan Dava tak butuh apa-apa lagi saat ini selain ia yang bergerak maju dan menyatukan bibir mereka, melumat lembut bibir yang sedari tadi menggodanya dan membuat Dava hilang fokus.  And don't you need me I I think I am falling, I am falling for you Dava bersumpah bahwa ia akan menjadi pecandu Gisel. Perempuan yang jadi kekasih resminya saat ini. Siapa sangka belasan tahun ia hidup dunia, ia akhirnya melepas status single hanya karena dipertemukan singkat dengan seorang perempuan. On this night, and in this light I think I am falling (I think I am falling), I am falling for you Di tengah ciumannya, Dava bisa merasakan detak jantungnya makin cepat. Sekalipun batinnya terus mengumpat karena wajah garang Utomo Pramana muncul di kepalanya. Persetan, Om. Gue gak peduli sama Ferrari punya anak lo karena gue terlanjur jatuh cinta sama mantan calon menantu lo.  Kini lirik demi lirik milik band kesukaan Dava sangat relate dengan yang terjadi saat ini. Dava tersenyum di lagi di tengah kegiatannya. What time you coming out? We started losing light I'll never make it right If you don't wander off I'm so excited for the night All we need's my bike and your enormous house You said some day we might When I'm closer to your height, Till then we'll knock around and see If you're all I need   Dan Dava harap, Gisel mau membalas penggalan lagunya dari judul yang sama. According to your heart My place is not deliberate Feeling of your arms I don't want to be your friend, I want to kiss your neck. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Aira

read
93.1K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
80.1K
bc

Istri Simpanan CEO

read
214.5K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Bukan Calon Kakak Ipar

read
146.6K
bc

Stuck With You

read
75.8K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook