****
"Yang cowok barisnya di kanan, pliiis! Yang cewek di kiri, yeaaa. Terus, yang pendek baris paling depan, biar kelihatan anu-nya," kata salah seorang senior cowok bertubuh jangkung melalui toa kepada adik-adik kelasnya dengan cengkok gaul yang kental, khas remaja masa kini.
"Eaaa, eaaa, itu yang cowok pada ngapain, sih? Susah banget diatur dari tadi. Lama-lama bau jigong juga nih mulut, bilanginnya!" Dia melipir sebentar ke barisan anak laki-laki, lalu menghampiri barisan anak perempuan karena melihat ada sesuatu yang mencurigakan di sana.
"Heh, kamu! Iyaaa, kamu yang bulu kakinya banyak! Cewek apa cowok, sih?" serunya, tanpa melalui toa pada orang berkulit gelap di sebelah Alodia.
"Cewek, Bang. Nggak lihat nih, pake rok?" sahutnya, agak tersinggung.
"Kok, kayak cowok?"
"Emang banyak yang bilang Adek kayak cowok, Bang. Sakit hati Adek, Bang! Sakit!"
"Mukanya tolong ya, biasa aja, jangan diserem-seremin."
"Mangap, Bang, emang udah serem."
"Terserah lu dah." Si senior bertubuh kurus itu lalu angkat kaki.
"Hihihi." Alodia berusaha mati-matian menahan tawanya karena mendengar percakapan dua orang itu. Tetapi, saat cewek itu menengoknya dengan muka tersinggung, Alodia cepat-cepat tutup mulut dan segera mencari kesibukan, salah satunya mengamati wajah-wajah baru di depannya.
Karena postur tubuhnya yang agak-kurang-tinggi, dia diminta untuk berdiri di barisan paling depan, sedangkan teman-temannya berbaris di bagian belakang.
Ngomong-ngomong, nggak ada cogan-nya, nih?
Tahu-tahu, pandangan matanya tertancap pada satu sosok yang berada tak jauh dari tempatnya. Alodia bisa lihat dengan jelas, kalau orang itu, senior yang tadi membantunya masuk. Siapa ya, namanya? Kok, Alodia jadi pengin tahu, ya?
"Abang yang itu, leh uga," kata cewek berbulu di samping Alodia tadi.
"Yang mana?" tanya Alodia, lantas mengalihkan pandangan.
"Ituuu, yang lagi berdiri di dekat abang jaket merah. Ih, lucu banget," jawab cewek tadi sambil menggigit-gigit ujung rambutnya.
Alodia lalu menengok cowok yang dimaksud. "Yang hitam itu?"
Cewek itu mengangguk malu-malu. "Iya, yang ada manis-manisnya ituuuu, hikikiki."
"Iya, yang mirip boneka setan itu, kan?"
"Iya, hikikiki."
Alodia tertawa garing dan segera mengakhiri pembicaraan. "Iya, lumayan."
MOS dimulai lima menit kemudian, dan berlangsung beberapa jam. Lalu, pada pukul dua belas, mereka rehat sebentar untuk makan siang. Cukup melelahkan memang, terlebih lagi tadi mereka harus rela panas-panasan di bawah terik matahari. Tapi, seru, sih! Dan, jadi punya kecengan baru juga, nih.
Yang paling penting, sih, tidak ada p********n di sini. Karena, selain dilarang keras, setiap kegiatan MOS juga diawasi oleh beberapa orang guru, supaya MOS berjalan sesuai peraturan sekolah.
Di bawah salah satu pohon rindang yang tak jauh dari ruang perpustakaan, Alodia dan teman-temannya nongkrong di sana, ngobrol-ngobrol sambil ngemil keripik kentang, sembari menunggu waktu istirahat habis. Kalau ada cogan yang lewat, langsung mereka jadikan bahan rumpi. Maklum, jomblo haus pacar.
"Oh, iya, gue kok belum lihat Kak Danola, ya? Dia bukannya sekolah di sini?" tanya Atika, entah pada siapa. Diliriknya Alodia yang langsung pasang muka kesel. "Santai kali, Nyuk, mau sampai kapan lo lari dari kenyataan ini?"
"Anjir, dalam," komentar Nina.
"Cape deh, lari-lari, bikin aus," sahut Alodia asal.
Atika tiba-tiba mengubah alur pembicaraan. "Eh, eh, psst! Abang yang itu ganteng, ya?" katanya, menunjuk seorang cowok berjaket kulit warna cokelat yang sedang berjalan diikuti segerombolan cowok. Sejak tadi, memang mata Atika yang rajin jelalatan mencari-cari cowok keren. Huh, dasar! Kalau udah urusan cogan aja, nggak mau ketinggalan.
"Dilihat dari gaya-gayanya, nih, ya, kayaknya dia murid bandel," seru Nina, sebelum memasukkan sehelai keripik ke dalam mulutnya.
"Jangan menilai orang dari luarnya aja. Apalagi kalo baru lihat. Kebiasaan lo tu, Not," sanggah Atika.
"O," balas Nina, ngeselin.
Sekumpulan cowok itu melewati mereka, sehingga wajah orang yang dimaksud Atika terlihat jelas. Alodia dan Kara berpandangan begitu melihatnya. Kara juga sempat berbisik padanya, bilang, "Itu, cowok yang tadi, kan?"
"He-eh. Cakep, yak?" kata Alodia sambil nyengir, sementara Kara hanya mengangguk, menyetujui.
Tak lama kemudian, terdengar seruan dari depan sana, mengintruksi agar semua orang kembali berbaris di lapangan. Alodia segera bangkit, diikuti teman-temannya. Setelah membuang sampah-sampah cemilan tadi pada tempatnya, mereka lalu jalan beriringan menuju lapangan.
"Ketemu lagi, hehehe," ucap cewek berbulu yang berbaris di samping Alodia tadi pagi, setibanya Alodia di sana.
"Iya, hehehe," balas Alodia sekenanya.
Tahu-tahu, cewek di sebelah kanannya berbisik, "Namanya Hayati. Nggak usah takut, dia nggak gigit, kok."
Alodia tertawa kecil. "Iya, dia lucu banget."
Cewek itu langsung memasang muka datar ala kartun. Seolah-olah muka itu mengatakan, "Sumpe lo? Cius? Lo mabok?"
"Haiiii?"
Suara itu refleks membuat Alodia melihat ke depan sana, pada seorang senior cowok bertubuh gendut dengan rambut keriting cokelat yang aneh. Kulitnya gelap dan ketika berjalan, maka perutnya yang bergelambir tampak bergoyang-goyang, lucu.
"Namanya Tiko, banyak yang bilang dia mirip Fico stand up comedy." Cewek di sebelah Alodia berseru lagi.
"Oooh," respon Alodia tak begitu minat. Lagian mana dia peduli siapa cowok itu.
Tapi, memang rada mirip sih. Bukan hanya fisik yang hampir mirip, pembawaannya pun nyaris sama, loh.
"Assalamualaikum...?" sapanya, dengan senyum yang dimanis-maniskan.
"Hahahaha."
"Eh, eh, kok pada ketawa? Kenapa? Ada yang lucu, ya?" tanyanya begitu sadar semua orang menertawainya. Sambil memegang toa, dia maju sebanyak lima langkah.
"Sumpah, aku nggak bisa diginiin!" serunya, lalu berbalik dengan gerakan tiba-tiba secara dramatis, membuat adik kelas dan teman-temannya tertawa lagi.
"Itu, kan! Itu cowok imut yang gue bilang tadiii!" Hayati menjerit tertahan sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Hehe, bercandaaa!" Senior bernama Tiko itu kembali menghadap ke depan, lalu berseru dengan semangat, "Panas-panas gini, ada yang haus nggak?"
"Adaaaa!" jawab semua adik kelasnya, secara bersamaan.
"Ciyeeee, ada yang haus kasih sayaaaaang, hahahkakhahkak!" katanya, heboh sendiri.
"Huuuuu!" Sorak-sorai adik kelasnya, tidak terima.
"s****n," cibir Atika, mendadak baper.
"Ciyeeee, ada yang bapeerrr! HAHAHA!" Tiko teriak sambil menunjuk tampang-tampang jones di depannya. Jari telunjuknya tiba-tiba berhenti pada sosok Hayati yang sedang melompat kegirangan.
"Eh, Adek yang itu kenapa? Kena epilepsi, ya?"
Hampir seluruh mata ingin menengok Hayati, namun apalah daya, kaki tak sampai.
"Kenapa, hayooo?" tanya Hayati, malu-malu dugong.
"Apaan, sih?" Tiko memasang muka geli. "Tolong pulangkan dia ke rumah orangtuanya, bisa nggak? Kayaknya dia sakit..."
"Apaan sih gitu amat!" kata Hayati, ngambek.
Tiko mendengus malas, kemudian memilih mengalihkan pandangan ke arah lain. "Jadi... gimana? Udah ada yang jatuh cinta belum hari ini? Ciyeeeeeee!"
****