****
Alodia anak ketiga dari empat bersaudara. Lahir di Pekanbaru, 17 Januari 2001 sebelum matahari terbit. Ibunya bernama Bella Annisa. Ayahnya seorang Polisi, Ardian Adipati namanya. Ketika Alodia berumur lima tahun, mereka sekeluarga pindah ke Jakarta dan menetap di sana sampai saat ini.
Radika Putra, adalah kakak laki-lakinya. Anak Hukum, sekarang lagi sibuk-sibuknya nyusun skripsi, nih. Orangnya kalem, supel, tipe-tipe cowok manis, gitu.
Ada juga Nikita Wulan Sari, tiga tahun lebih tua dari Alodia. Anaknya nggak neko-neko, rada ceriwis, dan lebay. Baru jadi Mahasiswi, ambil jurusan Kesenian, biar jadi istri yang solehah, katanya. Iya, Niki memang suka nggak nyambung.
Ada lagi, nih. Namanya Edgar Ganteng, anak paling bungsu, raja dari segala yang aneh-aneh. Eh, serius loh, namanya memang Edgar Ganteng. itu tertulis di Kartu Keluarga mereka. Ah, sudahlah... jangan tanyakan mengapa....
Edgar sekarang kelas 4 SD. Kabar gembira untuk kita semua, Edgar mau disunat tahun ini. Itu juga kalau burungnya siap.
Malam ini, satu keluarga itu sedang berkumpul di ruang duduk. Mereka nonton sambil bercakap-cakap. Ruangan itu cukup besar, tidak ada kursinya, hanya karpet bulu berwarna merah yang menjadi alas. Ada lima toples berisi makanan ringan sebagai cemilan di tengah-tengah mereka, juga sepiring goreng pisang hangat yang pas disantap saat hujan-hujan gini. Iya, di luar sedang hujan deras.
"Bunda, masa ya, si Edgar bedakin si Mumun. Dikasih lipstik, lagi! Hahaha." Alodia tiba-tiba mengingat kejadian semalam.
"Iya, Gar? Kok, Bunda baru tahu?" sahut Bunda seraya memandang Edgar yang tampak woles aja.
"Iya, karena baru dikasih tahu, haha," sahutnya enteng.
"Gar, Gar... mau jadi apa lo entar kalo udah besar!" seru Niki.
"Ya jadi oranglah, masa Dugong!"
Niki malah ngakak sambil gigitin toples. "Ya Salam, adek gue kenapa jadi begini, ya? Sekarang mainannya jadi dua, kalo nggak k****g, ya monyet, hakhakhak!"
Tawa yang lain meledak, kecuali Edgar, tentunya.
Beneran, Edgar memang suka mainin k****g. Niki dan Alodia sering jadi korbannya. Kalau ada k****g mereka yang hilang, Edgar-lah yang dituduh. Bukan sekali dua kali benda itu diselundupkan Edgar di kolong tempat tidurnya. Berkali-kali!
Bunda saja sampai heran kenapa anaknya bisa begitu. Sampai-sampai Edgar pernah mau dibawa ke psikiater, loh. Soalnya, Bunda takut besok-besok Edgar malah minta ganti kelamin.
Setiap ditanya k****g-k****g itu untuk apa, dia nggak pernah mau jawab. Sampai detik ini, hal itu masih menjadi misteri. Biarlah dia, Tuhan, dan k****g-k****g itu yang tahu.
"Bunda sih, waktu hamil Edgar ngidamnya apaan, masa yang lahir kayak gini, sih." Dika ikut-ikutan nimbrung, sengaja mau buat Edgar kesal.
"Apa, ya? Nggak ada yang aneh, kok. Cuma... waktu hamilnya dia, Bunda suka nyium bau jigong."
Toples di tangan Niki jatuh, bersamaan dengan keheningan yang memberangus mereka.
"Hahaha!"
Bahkan ayah mereka pun sampai tidak bisa berkata-kata.
"Ih, Bunda jorok banget, sih?!" Edgar bersuara di saat semuanya tidak tahu harus bagaimana.
"Haha, itu juga gara-gara kamu. Oh iya, ngomong-ngomong, bedak sama lipstik siapa yang kamu kasih ke Mumun?"
"Iya, ya! Punya siapa, Gar?" Niki mulai curiga. "Jangan-jangan punya gue!"
"Nggaklah! Punya Bunda, hehehe."
Bunda langsung memelotot. "Ya Allah Edgaaar, jadi sekarang ini Bunda pakai lipstik bekasnya si Mumun?"
"Hahaha! Bunda jadi mirip Mumun!"
Teplok! Ayah langsung meringis setelah kepalanya ditimpuk bantal oleh istrinya.
"Enak aja Bunda dibilang mirip Mumun. Ayah tuh, mirip Dugong!"
"Hahaha!" Alodia, Niki dan Dika malah tertawa terbahak-bahak melihat orangtuanya berantem, sementara Edgar sudah kabur sejak tadi ke kamarnya sebelum diamuk Bunda.
"Adek lo tuh, hahaha!" kata Niki pada Alodia.
"Hahaha, Edgar... Edgar...."
Tiba-tiba, terdengar dering nada ponsel milik Alodia yang ada di meja TV. Alodia berdiri, berjalan ke sana lalu mengambil benda petak itu dan membaca pesan yang baru masuk.
Gue minta maaf. Kita baikan, ya, Sweetie?
Alodia langsung menggertakkan giginya, gemas yang menjurus ke marah. Dari Danola, SMS itu isinya masih sama seperti yang kemarin-kemarin. Basi tahu, nggak!
"Dari Danola, ya? Bunda, Bunda, si Adek putus sama pacarnya, hahaha!" ujar Niki.
Bunda sudah tahu sejak seminggu yang lalu, Alodia sendiri yang cerita. Makanya dia cuma tersenyum mendengar Niki ngomong begitu.
"Kan Bunda sudah bilang, jangan pacaran dulu, kalian kan masih sekolah."
Alodia memberengut, "Iya, Bunda."
"Bagus kalo putus. Ayah nggak suka sama anak itu. Manja," celetuk Ayah.
"Manja gimana sih, Yah? Kayaknya biasa aja, deh. Anaknya asyik, kok! Nggak pelit, sopan lagi," Niki yang membalas.
Ayah menggeleng, "Itu kan menurut kamu."
"Mau ke mana, Dek?" panggil Dika sewaktu Alodia beranjak menuju kamarnya.
"Ngantuk, mau tidur," sahutnya.
Setibanya di kamar, Alodia langsung membalas pesan Danola tadi.
Alodia : Jangan ganggu gue lagi bisa, kan?
Danola : Gue nyesal, sumpah!
Alodia : Selamat menyesali!
Danola :
Alodia : Bunda bilang, gue udah nggak boleh pacaran lagi.
Danola : Plis....
Alodia : Jangan pernah ganggu gue lagi.
Danola : Nggak janji :'(
Alodia mengembuskan napas panjang. Kalau memang yang dirasakannya sekarang adalah cinta monyet, lantas mengapa rasanya sesakit ini, sih?
°°°••••°°°
Keesokan paginya, Alodia kembali mendapat SMS dari Danola. Isinya sih, nggak jauh-jauh dari yang kemarin. Tuh cowok maunya apa, sih? Katakanlah Alodia memang masih sayang, tapi bukan berarti hatinya bisa luluh gitu aja, ya. Alodia sudah terlanjur sakit hati soalnya.
Danola : Gue sakit.
Alodia sengaja tidak membalasnya. Nggak penting. Namun, beberapa menit kemudian ada panggilan masuk. Alodia membaca nama yang muncul di layar. Tadinya dia pikir nama Danola yang akan muncul di sana, rupanya Tante Salwa, mamanya Danola.
"Aduh! Bakalan ribet, nih!" katanya.
Meski tahu apa yang akan dibicarakan mamanya Danola nanti, Alodia akhirnya menjawab telepon itu. Bagaimanapun juga tidak baik mengabaikan orang tua, terlebih lagi tante Salwa, beliau sudah dia anggap sebagai ibunya juga.
"Halo... Assalamualaikum, Mama?" ucapnya, ramah seperti biasanya.
"Waalaikumsalam, Odi. Eh, Odi lagi ngapain, nih? Mama nggak ganggu, kaaan?"
Alodia naik ke kasur dan duduk bersila di sana. "Lagi nelepon Mama, tapi... hehehe. Nggak kok, nggak ganggu, hehehe."
"Kebetulan banget. Ada yang mau Mama tanyain sama kamu."
Ini dia.
"Apa, Ma?" tanya Alodia pura-pura tidak tahu.
"Kamu sama Danola kenapa? Katanya kamu mutusin dia, ya?"
Bener, kan? Danola memang nggak berubah. Kalau mereka ada masalah, mamanya pasti dibawa-bawa. Alodia nggak suka, deh.
"Iya. Danola kok yang salah, bukan Odi."
"Aduh! Gimana bilangnya ya, Odi. Danola nyesal katanya, dia mau balikan lagi sama kamu. Dia nggak mau putus."
Alodia diam sebentar. Hatinya benar-benar kacau sekarang. Kalau ini Danola yang ngomong, pasti sudah dimarah-marahinya sejak tadi. Enak aja bilang mau balikan!
"Odi nggak bisa terima Danola lagi, Ma."
Lalu terdengar desahan panjang, seperti orang yang sedang kecewa.
"Kasihan Danola, masa sejak putus sama kamu dianya jadi suka bengong. Ini sekarang dia lagi sakit gara-gara nggak mau makan."
Siapa suruh!
"Maaf, Ma. Odi nggak bisa balikan lagi sama Danola...."
"Kenapa? Emangnya kamu nggak suka lagi sama dia? Danola kan sudah minta maaf, Sayangku."
Alodia diam lagi.
"Bukannya Mama mau nyuruh kalian pacar-pacaran, tapi Mama perhatikan, sejak kenal kamu, Danola itu jadi anak baik loh, Odi...."
"Bunda bilang, Odi nggak boleh pacaran lagi, Ma. Soalnya, masih sekolah."
Kapan pembicaraan ini selesai? Alodia benar-benar nggak tahan! Mana tiba-tiba jadi pengin nangis lagi.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi, kalian masih bisa jadi teman, kan?"
"Bisa," kata Alodia, berbohong.
Panggilan berakhir. Alodia langsung bernapas lega. Ini bukan pertama kalinya mama Danola ada di antara mereka setiap kali mereka ada masalah. Kalau Danola nggak bisa lagi menanganinya, pasti dia akan minta bantuan mamanya. Dulu sih masalahnya sepele, sekarang tidak.
Beberapa waktu kemudian, Alodia beranjak dari kasurnya untuk mengambil minum di dapur. Ketika melewati ruang tamu, tidak sengaja dia mendengar bundanya berbicara di telepon sambil menyebut-nyebut namanya.
Ah, perasaannya mulai tidak enak.
Alodia ke dapur sebentar, diambilnya sebotol air dingin dari dalam kulkas dan membawanya ke ruang tamu.
"Iya, tapi... gimana ya, Mbak, Odi juga mau UN bulan depan, gara-gara ini nanti belajarnya malah nggak fokus," kata Bundanya.
Sewaktu melihat kedatangan Alodia, Bunda langsung memanggilnya dengan gerakan tangan. Alodia mendekat lalu duduk di sebelah bundanya.
Bunda menekan tombol loudspeaker di layar ponsel, seketika suara si penelpon terdengar.
"Iya, sih. Ini anakku katanya mau ngomong sama Mbak."
Alodia mengernyit. Mamanya Danola nelepon bundanya juga?
"Bunda...,"
Itu suara Danola. Alodia menatap Bunda yang mengedikkan bahu acuh tak acuh padanya. "Nggak tahu mau ngomong apa", begitu kira-kira maksud si Bunda.
"Iya, Dan. Kamu kenapa? Katanya lagi sakit, ya?"
"Bunda... tolongin Danola, Bunda. Danola nggak mau putus sama Odi."
Alodia mendengarnya dengan sangat jelas, namun dia lebih memilih diam.
"Gimana, ya... lebih baik kalian jadi teman aja dulu, ya."
"Danola sayang sama Odi, Bunda."
"Sayang tapi kamunya begitu...."
"Iya, memang Danola yang salah. Danola janji nggak akan kayak gitu lagi."
Lalu, Bunda menoleh pada Alodia yang segera menggeleng.
"Odi nggak bisa terima kamu lagi katanya."
Samar-samar, terdengar suara Danola mengeluh pada mamanya, "Ma, gimana nih, Ma. Odi nggak bisa...."
"Danola... bukannya Bunda nggak suka kalian dekat. Tapi, lebih baik sekarang kalian temenan aja, ya?"
"...."
"Kalian kan masih sekolah, nanti saja pacar-pacarannya."
"Kan Danola nggak pernah macam-macam sama Odi, Bunda."
"Iya, Bunda percaya sama kamu. Tapi, Bunda sudah larang Alodia pacaran. Nanti sajalah kalau sudah tamat sekolahnya. Kamu kan mau naik ke kelas 3, fokus dulu sama belajarnya, ya."
"...."
Telepon terputus sepihak. Bunda menoleh menatap Alodia yang menunduk di depannya.
"Bunda juga pernah muda. Bunda nggak larang kamu dekat sama cowok, tapi... untuk sekarang, sekolah dulu yang dipikirin. Ya?"
Alodia mengangguk, "Iya, Bunda."
"Nanti aja kalau udah SMA baru pacaran lagi, hehehe." Niki tahu-tahu nongol lalu duduk selonjoran di kursi depan Alodia dan Bunda.
"Jangan didengerin kakakmu itu. Bukannya nyuruh adeknya sekolah dulu...."
"Hehehe, Bunda kayak nggak pernah muda aja deh."
"Kan tadi di atas Bunda udah bilang pernah muda. Gimana, sih...."
"Haha, gitu aja sewot si Bunda."
Alodia meneguk air yang lupa diminumnya gara-gara telepon tadi. Setelahnya dia kembali ke kamar. Di ruangan yang cukup besar itu, dia merenung.
Bunda benar, dia masih 15 tahun, terlalu dini untuk cinta-cintaan. Alodia pun tersenyum, siap meninggalkan masa lalu.
***