Pisah Kamar

1108 Words
“Garen!” Pintu terbuka lebar, Ibi Aminah berkacak pinggang di depan kamar sang kemenakan. Bukan menjawab, Garen malah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Sudah dipastikan Naya kembali berulah, bermanja melaporkan kejadian semalam meski yang sampai ke telinga Ibi tentulah bukan cerita asli. Sangat memalukan kalau Naya blak-blakan berkata dia menyukai permainan tangan Garen di pusat tubuhnya, merasa kecewa saat nafsu sudah sampai ke ubun-ubun. Namun, Garen malah meninggalkannya bagai seonggok sampah. Sangat tidak tahu diri kalau cerita itu sampai ke telinga Aminah. “Win! Bangun kau. Tak perlu berpura tidak mendengar teriakan ibimu!” Aminah menyibak tirai dengan kasar. Sinar matahari menyusup masuk ke dalam kamar Garen yang tadinya masih remang-remang padahal sudah menjelang tengah hari. Merasa tidak digubris, Garen masih bersembunyi dalam selimutnya. Aminah tidak ragu menarik selimut sang kemenakan. Silau matahari yang tertangkap netra Garen membuat matanya menyipit, dia membalik badan untuk menyembunyikan wajahnya yang masih dirundung kantuk. “Hei, Win! Ini sudah mau zuhur. Bedug sebentar lagi ditabuh kamu masih saja tidur,” omel Aminah menari punggung Garen, membuatnya terlentang dan mendesah kesal. Seandainya bukan Aminah yang ada di sana, sudah dipastikan dia akan menembak mati saja tepat di ulu jantung orang yang berani mengganggu istirahatnya. “Win! Bangun kau!” Aminah menarik lengan Garen yang masih tampak malas membuka matanya. “Ibi, aku masih ngantuk. Semalam aku tak tidur. Ini hari libur, anak bersantai sikit tak masalahlah. Lagian aku ini bosnya, mau bangun jam berapa pun tidak masalah.” “Oh, jadi kau merasa jumawa. Sudah jadi bos tak mau dengar ibimu ini lagi. Baiklah, Win. Terserah kamu nak buat apa, Ibi tidak akan lagi datang ke rumahmu ini lagi.” Baru saja Aminah hendak berdiri, tangan kekar Garen sudah melingkar di pinggang rampingnya. Mengunci tubuh Aminah yang ringkih dengan kedua lengan kekar yang kepalanya masih tergeletak di kasur dengan mata yang terpejam. “Janganlah marah, ibi satu-satunya yang aku sayang. Jangan merajuk macam itu, baiklah.” Garen bangun, memaksa matanya terbuka, menguceknya sebentar sebelum memamerkan senyum dengan mata panda di depan sang bibi. “Di luar ada tamu, dia cari kau. Katanya Lucky menyuruh dia ke rumah ini bertemu kau langsung.” “Lucky mana?” “Dia libur, Win. Kau pikir si Lucky robot yang harus terus ada di dekat kamu. Mengurus bayi besar menyebalkan macam kamu itu butuh libur biar dia tidak stress, tidak gila.” Garen memijat kepalanya, setiap kalimat Aminah sangat susah untuk dia tepis. Satu-satunya orang yang berani memarahinya hanya Aminah. Kil Agus sang suami saja merasa enggan turut campur pada urusan Garen. “Baiklah, suruh dia tunggu. Aku mandi, bersiap dulu.” “Jangan lama-lama, kasihan dia sudah datang dari jam tujuh pagi.” “Apa? Sepagi itu?” Garen mendongak, sekarang jam setengah dua belas. Sudah berjam-jam si tamu menunggunya. “Ibi tahu siapa dia?” “Katanya sopir yang mau kau pekerjakan. Sudah banyak sopir di rumah ini, kamu masih cari sopir lagi? Buat apa sebenarnya?” “Buat anak ibi yang manja itu,” ujar Garen. Ucapannya barusan membuat Aminah kini sadar kalau ternyata di kamar kemenakannya ini tidak ada Naya. “Kau tidur sendiri? Di mana Naya?” Sibuk mata Aminah memindai isi kamar. Dia berdiri, berjalan menuju bilik walk in closet. Lemari yang berjajar dibuka satu persatu. Tidak ada sama sekali barang-barang Naya di sana, tidak ada juga foto pernikahan atau apa pun yang lazimnya dipasang di kamar utama. Ini adalah kali pertama Aminah masuk ke kamar kemenakannya setelah dia resmi pindah ke rumah kayu di perkebunan kopi. “Jangan bilang kau tidur pisah kamar dengan Naya? Tidak ada satu pun baju Naya di sini? Apa kau masih tak perlakukan dia dengan baik.” “Tidak ibi.” Suara dari ambang pintu membuat kemarahan Aminah sirna sudah. Senyumnya melebar melihat Naya berdiri dengan nampan yang dia bawah. Aroma wangi kopi gayo menyeruak. Naya masuk ke dalam kamar, meletakan nampan di samping nakas ranjang Garen. “Selamat pagi, Abang.” “Selamat pagi sayang, untung kau menyelamatkan aku. Kalau tidak pagi ini kau menjanda karena suamimu diterkam ibinya.” Garen melirik Aminah yang masih memasang wajah garang. “Mandilah, tamu sudah menunggu sejak tadi.” “Oke.” Satu kecupan dibubuhkan Garen di kening Naya. Hanya sebatas sandiwara, tapi terasa membekas dalam hati Naya. Sungguh, seandainya dia boleh jujur. Rasanya Naya ingin setiap hari ada Aminah di antara mereka. Siapa tahu berawal dari sandiwara, nantinya akan jadi sebuah kebiasaan dan berujung dengan kembalinya cinta Garen padanya. Sebuah harap yang hanya dirasakan Naya, karena tanpa ada Aminah, Garen adalah sosok dingin, monster menyeramkan yang membuat Naya enggan mendekatinya. “Naya.” “Iya, Ibi. Ibi mau kita bicara di sini atau di diluar,” tawar Naya. “Kenapa kalian tidur terpisah?” “Bukan terpisah ibi, Abang hanya ingin kamarnya tetap di sini. Tadi malam pun dia ke kamarku sepulang kerja. Entah jam berapa abang pindah ke sini. dia butuh istirahat dari penatnya kerjaan. Kalau terus sama aku, istirahatnya bisa terganggu.” Naya memasang wajah malu-malu, sengaja disibaknya bagian kerah leher yang ada bercak merah kecupan bibir Garen semalam. Malam yang memalukan, tapi jejaknya bisa menyelamatkan sandiwara mereka hari ini. “Syukurlah, ibi tidak ingin kau terus diperlakukan dia dengan tidak baik. Bahagialah kalian. Sungguh itu yang ibi inginkan.” “Amin. Terima kasih, doa ibi selalu membuatku tenang.” Naya menuntun Aminah keluar dari kamar Garen. Keduanya memilih duduk di teras halaman belakang, menghabiskan waktu siang berdua. Sementara sang tamu masih setia duduk berjam-jam menunggu bos besar yang menjanjikan dia pekerjaan dengan gaji yang fantastis. Seandainya tidak butuh uang, sudah sejak tadi dia tinggalkan rumah megah ini. “Selama siang.” Suara berat disertai derap langkah mendekati sofa tempat duduknya. Seketika badannya menegak, gugup menyerang saat Garen sudah duduk di dekatnya, menyambar amplop cokelat berisi surat lamaran beserta kawan-kawannya. “Lajang?” “Iya, Tuan.” “Bagus, kamu diterima kerja.” “Terima kasih, Tuan.” “Siapa namamu?” “Banyu Biru, Tuan cukup panggil Biru.” “Oke Biru, satu tahun masa uji coba kerjamu. Kamu dilarang menikah karena selain jadi sopir, kamu juga harus menggantikan aku memuaskan istriku.” “Apa?” Biru terbelalak, dia bukan gigolo, bukan juga penikmat seks bebas. Tergolong dari keluarga taat beraga, tapi kenapa malah ini pekerjaan yang dia dapatkan. “Kamu bersedia?” Biru tertegun, melihat ke arah map di atas meja yang barusan dibuka Garen. “Bacalah.” Biru mengambil map dan membaca isi kertas yang ada di dalamnya. Ya Tuhan, kontrak kerja macam apa yang disiapkan bosnya ini. Rasanya Biru ingin lari secepatnya dari rumah ini, masih banyak pekerjaan lain yang lebih terhormat dari pada apa yang ditawarkan Garen.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD