2 - Target Proyek Amal

1641 Words
Om Erik tertawa, yang membuatku kesal. Beliau memang rendah hati, tapi tertawa setelah aku mengatakan hal t***l hanya berarti beliau mengonfirmasi ketololanku. Ketika tertawa, matanya tertutup dan kumis putih yang menutupi sebagian besar bibir atasnya bergoyang-goyang seperti cambuk. Jabat tangan kami terlepas. Tante Belinda segera melangkah maju untuk merengkuhku. Aku hanya bisa melongo sepersekian detik sebelum terpengaruh oleh wangi mawar dan vanila dari tubuh kurusnya. Tanganku naik begitu saja untuk balas memeluknya. Pakaian Om Erik tampak sangat kasual. Kemeja putih yang mengikuti kecembungan perutnya dan celana bermuda berwarna selembut kilau pasir pantai. Aku beralih pada Tante Belinda yang menarikku untuk kembali duduk di sofa panjang. Dia mengenakan kemeja putih terusan yang longgar dan bercorak garis tipis hitam vertikal. Hitana menjual segala jenis perhiasan dalam berbagai material yang mumpuni, tapi di sini kutemui Nyonya Besar Hitana hanya mengenakan satu perhiasan mahal di tubuhnya—sirkam kawat hitam di sanggulnya itu kuhitung sebagai perhiasan murah—yaitu cincin kawin emas di jari manisnya. Seberapa murah hatinya pun mereka, aku tetap merasa seperti tenggelam dalam perasaan tidak nyaman. Karena aku sungguh sadar betapa berbeda latar belakang kami. Aku kembali menilai diriku. Sweter abu, gelang besi, celana chino sewarna kulit padi dan sabuk kecil bergesper satu jarum, sandal velkro. Tidak berlebihan. Tidak kelewat sederhana. Aku meyakinkan diriku sendiri. Sudah pas. Sudah pantas. Sudah layak. Sudah sesuai. Kemudian, aku tertegun. Di luar diriku, percakapan terdengar samar-samar seperti kepakan sayap nyamuk. Sial. s**l, s**l, s**l. Aku tidak pernah ingin merasa atau berpikir begini. Minder, tidak nyaman, kerdil, dan sebagainya. Aku benci memastikan berkali-kali apakah yang kukenakan sudah layak atau belum di hadapan siapa saja karena aku tidak mungkin keluar dari rumahku dalam penampilan tidak terhormat. Aku benci merasa seolah aku bukanlah diriku sendiri yang selalu nyaman dengan penampilanku setiap kali berada di lingkungan Zeke. Sejak awal, yang mencegahku segera menerima permohonan untuk menjadi kekasihnya adalah ini. Nama belakangnya. Nama keluarganya. "… target proyek amal." Tatapanku beralih dari permukaan kaca meja kepada Om Erik dan Zeke yang berdiri di sebelah sofa tunggal ayahnya seperti seorang ajudan. Ada yang salah dengan ketiga kata itu karena aku memergoki Zeke tersentak. Berbagai nama yang asing bagiku mulai disebutkan Om Erik. Zeke tampak gugup. Kemudian, di antara daftar nama itu, Om Erik menolehku. "Lalu orang tua Rosalind." Aku berkedip. "Orang tua saya?" "Benar, Nak. Aku tidak lupa mencatat nama kedua orang tuamu dalam daftar target proyek amal bulan Februari. Dananya pantas dan bahan pokoknya pas." Pantas. Pas. Aku tertawa dalam hati. Dari situlah aku mendapatkan gagasan seperti itu. Dari Om Erik. Aku menoleh Zeke yang masih berdiri termenung, belum pulih dari keterkejutannya sendiri. Mataku terpejam diliputi perasaan dongkol. Telah terjadi sesuatu. Dan Zeke awalnya berniat menyembunyikannya dariku. "Om Erik." Setelah merasa lebih tenang, aku membuka mata dan tersenyum padanya, mengabaikan tatapan takut-takut Zeke padaku. "Kedua orang tua saya baru saja menerima bantuan dana bulan lalu." Dalam jumlah yang terlalu besar untuk ukuran keluargaku. "Kamu benar, Nak. Aku telah mempertimbangkannya." Ada yang tidak kusukai dalam nada suara pertimbangan itu. Aku melirik Zeke yang kini menunduk untuk menghindari tatapanku. "Kenapa harus tiga bulan sekali? Kenapa tidak setiap bulan saja seperti yang lainnya? Kenapa aku membeda-bedakan calon besanku sendiri?" Dia tertawa seperti seandainya Santa Claus akan tertawa. Jantungku berdentam dengan ritme yang aneh. Aku membayangkan tangga spiral dan bagaimana aku merasa seperti akan jatuh setiap saatnya ke pusat spiral itu. Gigiku bergemeletuk sebelum aku menjawab Om Erik. "Bukankah memang begitu kesepakatannya, Tuan Hitana?" Tante Belinda menegakkan punggung. Begitu pula dengan Zeke. Mereka tahu. Setiap kali aku menyebut Om Erik dengan Tuan dan Tante Belinda dengan Nyonya, mereka tahu apa yang kurasakan. Bukankah tadi Zeke sempat membahas tentang bagaimana sekilas Alan menjabarkan wanita yang sedang merasa defensif? Kalau mereka mau melihatnya, sekaranglah waktunya. Di sini. Akulah wanita defensif itu. "Anakku Rosalind, tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Hanya rekan bisnislah yang melakukan kesepakatan." Tapi kita belum resmi menjadi keluarga, aku menekankan dalam hati. Penekanan yang membuat kepalaku pening. Keluarga tidak berusaha mendominasi. Keluarga saling menyayangi tanpa merasa terus-terusan waspada dan minder. "Anda bisa menganugerahkan jatah bantuan tersebut kepada orang lain yang lebih membutuhkan." Aku masih bersikeras menolak dengan halus. Dan masih terus memaki dalam hati. "Aku bisa menambah jatahnya, Nak. Tapi aku tidak akan mengurangi jatah, yang adalah hak orang tuamu." Hak katanya? Kenapa? Apakah hanya karena orang tuaku sudah renta? Dan aku adalah seorang anak bungsu yang berpenghasilan rendah? Dan kami bertiga sebenarnya lebih mengandalkan kiriman dana dari kakakku di Bali? Aku memejamkan mata, mencari ruang untuk kembali memperoleh kendali diriku dari kemarahan. Seandainya Celine bersedia merawat Ayah dan Ibu, aku akan mencari cara untuk bekerja di luar negeri. Australia, Kanada, Hongkong, Inggris. Terserah di negara mana. Sayangnya, Celine sibuk oleh fungsi dualitasnya sebagai seorang ibu dua anak dan pengelola sebuah toko kecil aksesori busana. Celine harus merawat Lilac dan Ben sementara suaminya merantau untuk mengembangkan sebuah restoran kecil-kecilan di Pulau Gili Air. Lilac yang akan lulus SMA bulan Mei nanti bukan masalah besar. Tapi Ben yang baru saja berumur dua tahun tentu saja merupakan masalah besar yang cadel dan manis. "Segera rampungkan proposalnya, Zeke." Nama Zeke jadi terdengar seperti Zeik jika diucapkan oleh Om Erik. Bukan Zéké, sebagaimana aku mengucapkannya. Dan seketika Zeik terasa begitu asing. Di hadapan orang tuanya, Zeke memang terasa asing bagiku. Sama sekali baru. Dia bahkan tidak mengatakan sesuatu untuk membelaku. Oh, tentu saja. Untuk apa membelaku apabila dia setuju dengan pendapat ayahnya? "Aku tidak ingin kalian terburu-buru, Sayang." Tante Belinda membuatku berpaling dari Om Erik padanya. Mata belonya yang sewarna wiski di antara kulit keriput yang berkerut-kerut prihatin malah membuatku merasa semakin awas. "Tapi aku tahu saat itu akan segera datang. Dan aku ingin, baik dirimu ataupun Zeke, telah siap." "Siap?" ulangku. Tante Belinda mengangguk. "Tentu. Dalam segi materi,"—aku berjengit—"psikologis, fungsi dan tujuan, dan tentu saja perasaan kalian, yang sepertinya satu-satunya hal yang tak perlu diragukan lagi." Kini aku meragukannya. Aku melejitkan tatapanku pada Zeke yang masih termenung menatapi lantai. Rahangnya berkedut-kedut. Dan di sini aku tahu kalau dia tahu. Badai akan datang menyusul. Tepat setelah percakapan ini berakhir. Tepat setelah kami menjauhi bangunan megah yang disebutnya sebagai rumah. Tepat setelah aku memakinya. Kami akan berdebat lagi. Melayangkan argumen yang sama sekali bertentangan. Aku akan menusuknya dengan kata-kata sementara Zeke bertahan dengan pembelaan berdasarkan teori kasih sayang dan kedermawanannya. Kami selalu berdebat walau sebenarnya aku tahu Zeke tak pernah luput memperhatikan atau memahami sesuatu tentang diriku. Karena aku segamblang cuaca yang dirasakan kulit manusia. s****n. Aku bahkan berharap agar dia sekali saja mengalah padaku terkait aspek materi ini. Zeke tahu. Sekalipun aku bekerja sebagai karyawati bergaji rendah, mengandalkan tambahan dari penghasilan Celine untuk mencukupi kebutuhan hidup orang tuaku, tidak memiliki mimpi dalam bidang yang spesifik untuk diraih, Zeke tahu aku adalah seorang wanita mandiri yang independen. Zeke selalu tahu. Tapi dia selalu berpura-pura tidak tahu. *** Aku menahannya. Mobilnya melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Begitu stabil di antara arus kendaraan yang lumayan deras. Aku memandangi dashboard hitam yang licin, berandai-andai lagu berputar secara acak dari radio mobil alih-alih lengang begini, atau pendingin kabin tiba-tiba mati, sehingga aku memiliki bahan pembicaraan yang bisa mengalihkan kejengkelanku pada Zeke. Sungguh. Aku begitu ingin melalui setiap perang argumen dengan kepala dingin. Tapi selalu saja gagal. Aku luar biasa temperamental sementara Zeke luar biasa penyayang dan sabar. Seharusnya sifatnya itu cukup untuk menghentikanku, tapi setiap kali, aku malah semakin marah menghadapi ketenangannya. Lengan sweterku tergulung di bawah siku sehingga bagian tanganku yang tersingkap merasakan embusan pendingin yang menyengat kulit. Aku mengepalkan jemariku kuat-kuat sambil bercengkerama dengan diriku sendiri. Dingin sekali, tahu? Tapi jemarimu kan sudah kamu remas, seharusnya nggak terlalu dingin lagi, benar? Benar, tapi tetap saja. Berapa suhunya? Entahlah, aku tidak tahu. Tanpa pikir panjang aku meraih kenop pendingin dan menyentuh sesuatu yang beku dan bertekstur seperti kulit manusia, yang ternyata memang jemari Zeke. Kami saling menoleh. Zeke langsung berdeham sementara aku menghela napas. Dia menarik tangannya kembali ke kemudi sementara aku memutar kenop pendingin kabin ke kiri untuk menaikkan suhu. Sedannya terjebak di belakang lampu merah. Kami mengantre di barisan terdepan. Inilah waktunya, aku memberi tahu diriku sendiri. Dan tiba-tiba saja aku meledak. "Kamu nggak bisa selalu kayak ini! Aku tahu ide itu datangnya darimu!" "Ide apa?" tanyanya. Kelelahan mewarnai suaranya yang jernih dan nyaring. "Jangan berpura-pura, Zeke Damanik. Aku tahu. Aku tahu sifat dan sikap dermawanmu itu!" Aku berkeinginan kuat menggebuki dashboard mengilapnya yang selalu dilap. Tapi entah mengapa aku malah menghantami pahaku sendiri dan seketika menggigit gigiku. s****n. Beginilah kekuatanku saat sedang marah. Luar biasa. Besok aku akan menemukan memar di situ, tepat di tempat aku memukul diriku sendiri. "Itu ide Ayah, Rosalind." "Katakan lebih banyak." Kami saling menatap. Garis di sekitar mulut Zeke kelihatan seperti memeluk bibirnya yang penuh dan agak hitam. Belakangan ini kulit di pipinya tampak seperti bentangan kulit industri daripada kulit manusia, memperlihatkan rahang kotaknya yang terbentuk secara tajam. Matanya berwarna seperti peralihan antara batang pohon sehat dan abu. Antara kehidupan dan akhir kehidupan. "Beliau membahasnya semalam, padahal aku belum memberi tahunya bahwa kamu akan berkunjung. Terjadi begitu saja. Beliau bilang sebaiknya orang tuamu disertakan ke dalam daftar." "Dan kamu belum tahu seberapa bencinya aku mengetahui nama orang tuaku selalu dimasukkan ke dalam daftar target proyek amal orang tuamu?" Zeke menoleh ke depan saat kendaraan lain membunyikan klakson dan saling berebut jalur. Lampu lalu lintas telah memendarkan warna hijau. Aku memejamkan mata dengan perasaan kacau lalu bersandar ke kursi. Jemariku kembali mengepal dengan kuat. Untungnya aku selalu memotong kuku bahkan sebelum kuku itu tumbuh melewati puncak jemariku sehingga telapak tanganku tidak terluka karena kukuku sendiri. Mobilnya melaju dengan kecepatan standar seperti sebelumnya. Sampai sekitar dua menit berikutnya, Zeke tetap diam. "Bukankah aku sudah memintamu membujuk orang tuamu untuk menyudahi bantuan dana yang mereka tujukan pada orang tuaku?" "Aku sudah bilang akan melakukannya perlahan-lahan." "Menurutku…" Aku membuka mata, melirik tangannya yang masih menggenggam tuas transmisi. "Ini mulai tidak berguna, Zeke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD