3 - Beberapa Mimpi

1687 Words
Pelupuk mata Zeke terlonjak. "Apa?" "Kamu akan membujuk mereka untuk berhenti. Mereka tahu aku merasa nggak nyaman dengan bantuan itu dan mereka akan menyetujui proposal tanpa nama orang tuaku dalam daftar target proyek amal kalian. Tapi kemudian kalian akan bersama-sama mencari cara untuk kembali memberi dana bantuan itu tanpa sepengetahuanku." "Nggak." "Nggak salah lagi." Mulutnya terkatup begitu rapat dan gesturnya yang kaku membuatku seketika paham. Dia telah mengonfirmasi kecurigaanku. Perutku mual, seperti berkendara dalam truk yang melaju di atas jalanan berbatu. Inilah siklusnya. Rutinitas penuh kepura-puraan yang paling kubenci dalam kehidupanku yang nyaman. Aku memintanya berhenti. Zeke mengiyakan, tapi akan mengulanginya. Kemudian aku memohon agar dia berhenti. Zeke mengiyakan, tapi tetap saja mengulanginya. Dan aku meledak. Namun, Zeke pun terus mengulanginya. "Aku ingin kamu berhenti." Akhirnya aku mengatakannya lagi. "Sungguh." "Bisakah kamu beri tahu aku alasanmu?" Aku memandangi Zeke yang sigap melirik kaca spion tengah dan samping, memeriksa posisi sedannya dari kendaraan lain. Tidak biasanya dia menanyakanku tentang alasan. Peran Zeke dalam hubungan kami adalah berpura-pura mengerti, bukan sebaliknya. "Kamu ingin dengar? Sungguh?" Zeke terdiam sejenak, seolah sedang mengalami pergolakan batin dengan dirinya sendiri. Cukup lama sebelum dia mengangguk tanpa menolehku. "Ya." Kesempatan baik, pikirku. Mungkin saja selama ini Zeke memang sudah tahu apa yang kerap kupikirkan mengenai kekayaan keluarganya. Mengenai sikap semena-mena orang tuanya dalam memperlakukan orang tuaku seolah orang tuaku yang sudah renta sebenarnya lebih renta daripada yang seharusnya. Mereka masih bisa berjalan (meski sesekali harus dituntun), tapi Om Erik bersikeras ingin membelikan kursi roda elektrik untuk mereka. Mereka masih bisa mengunyah daging yang disuwir sampai halus, tapi Om Erik bersikeras meminta Zeke membungkus bubur berkaldu sapi yang mahal untuk mereka. Kini aku harus menjelaskannya dengan alasan masuk akal sehingga Zeke bisa menerimanya. Setelan Zeke seringkali berbau seperti kapulaga, berbeda dengan wangi alami tubuhnya yang seolah menguarkan aroma kulit jeruk. Kabin sedan berbau lavender, tapi kalah oleh aroma kapulaga dan kulit jeruk yang tajam. Aku menghirupnya dalam-dalam. Kenyataan bahwa berada di dekat Zeke dapat membuatku nyaman begitu mengganggu. Aku mencintainya, tapi benar-benar takut terjerat semakin erat pada keluarganya. Aku tidak mungkin sampai hati memisahkan seorang anak bungsu dari keluarganya. Keluarga yang mahasuperkayaraya. "Rosalind?" Dia mengingatkan karena tidak juga mendengarku menjawab. "Aku nggak ingin bergantung pada siapa pun, Zeke." "Termasuk pada calon suamimu?" Dahinya bergerak turun. "Terutama pada calon suamiku." Zeke menoleh sekilas. Kami membelok ke kiri, memasuki sebuah g**g seukuran dua mobil yang diawali oleh pohon rimbun berbatang besar. "Mengapa? Kita akan menjadi keluarga. Rosalind, kita bahkan akan tinggal serumah dan mengelola beberapa kepentingan bersama-sama." "Seandainya…" kataku, menghela diri untuk menghadap Zeke sampai lenganku menabrak pinggiran kursi. Aku menatapnya dengan tegas. "Seandainya calon suamiku berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang sama dengan keluargaku." Rahangnya seketika berkedut. Bibirnya mengerucut sehingga tampak seperti laras senapan yang siap menembakkan peluru. "Mengapa harus begitu?" "Keluarganya nggak akan memiliki kendali terhadap keluargaku." Sesaat, mata itu berkilat oleh sesuatu yang mengejutkannya. Bibir yang tadi terkatup rapat kini terbuka sempit. Kemudian Zeke berkedip-kedip. Aku tetap mengamati setiap detail. Termasuk bagaimana jakun di leher besar dan panjangnya bergerak-gerak seperti lift yang rusak di pertengahan jalan. Aku menyeringai, merasa menang telak. "Aku memang seorang pramuniaga berpenghasilan minimum, tapi aku nggak ingin berutang budi pada siapa pun. Nggak pada keluargamu juga. Keluargaku akan tetap menjadi keluargaku sampai kapan pun, bahkan setelah bersatu dengan keluargamu. Untuk itu, aku ingin memastikan mereka juga nggak memiliki utang budi pada siapa pun." Tiba-tiba, Zeke memejamkan matanya dengan raut kecewa. Sejenak dia hanya sibuk berdebat dengan dirinya sendiri sebelum akhirnya menelan ludah dan dengan suara bergetar berkata, "Kamu nggak memiliki mimpi yang spesifik." Aku terdiam. Titik-titik hitam menghujani pandanganku. Masing-masingnya memburam, membesar, dan bersatu sampai kepalaku rasanya pening. Tangga spiral. Aku terjatuh dan berusaha mendarat pada pusatnya yang begitu jauh. Tapi aku selalu melayang dengan cepat tanpa pernah mendarat. Diafragmaku rasanya terangkat terlalu tinggi dalam dadaku, membuatku kesulitan mengatur ritme napas. Enam tahun lalu saat umurku masih delapan belas tahun, Zeke nyaris menjadi kakak tingkatku di Universitas Swasta Agam Medalion. Zeke adalah mahasiswa semester lima yang ditugaskan sebagai koordinator dalam sesi pendaftaran ulang calon mahasiswa baru Agam Medalion. Pertama kali bertemu denganku, dia sedang berkoordinasi dengan salah satu anggota divisinya di meja administrasi sementara aku memandangi matanya yang tampak melotot permanen dari kursi calon mahasiswa baru. Perangai yang dimunculkannya dari tubuh tinggi dan wajah jantannya adalah tegas, ketus, dan kuat. Lalu dia melirikku, yang memeluk sisa map berisi dokumen-dokumen yang kubawa tapi tidak diminta oleh panitia pendaftaran ulang. Gadis berwajah lebar yang menangani dokumen-dokumenku mendongak dari laptopnya dan menatapku dengan heran. "Sudahkah kamu memeriksa hasil akhir pengajuan beasiswamu?" Aku mengernyit waktu itu, merasa tertohok dan malu. Hasilnya sudah keluar. Benar. Dan kenapa aku dengan cerobohnya tidak memeriksanya? Zeke dan gadis itu memandangiku selagi aku celingukan memeriksa situasi di sekelilingku. Teman-teman lainnya bergerak maju dalam antrean, tidak diam terlalu lama di kursi administrasi sepertiku. "Aku memerlukan kopian surat rekomendasi dari SMAmu dan juga kopian hasil resmi dari program beasiswa yang kamu daftarkan. Kamu membawa keduanya?" Aku membawa salah satunya. Hasil resmi itu… aku sama sekali tidak tahu. Jadi, aku menggeleng pada panitia gadis yang mengerutkan wajahnya. Sepulangnya dari Agam Medalion, aku memeriksa laman pengumuman penerima beasiswa dan namaku tidak tercantum di dalamnya. Aku tertawa, merasa d***u. Bagaimana bisa memutuskan untuk menerobos proses pendaftaran di kampus, sementara hasil beasiswanya saja belum keluar waktu lalu? Dan ketika hasilnya sudah keluar, aku tidak memeriksanya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendaftaran. Dasar ceroboh. Uang pendaftaranku pun lenyap dengan sia-sia. Semudah itu aku gagal berkuliah di jurusan DKV di universitas swasta setelah ditolak di jurusan Arsitektur dan Teknik Informatika di perguruan tinggi negeri. Zeke tahu DKV bukanlah mimpiku yang spesifik karena aku memang tidak memiliki apa yang disebutnya sebagai mimpi yang spesifik. Sebuah mimpi di dalam bidang tertentu seperti dirinya yang selalu menikmati segala jenis pasar saham dan industri perhiasan. Aku tidak. DKV merupakan masukan dari Mentari, sahabat sekolahku, yang menyarankanku untuk mengambil jurusan yang berhubungan dengan desain atau komputer. Setelah gagal dengan beasiswa untuk jurusan DKV di Agam Medalion, aku langsung melupakan gagasan tentang berkuliah. Lagi pula, sejak Mentari bertolak ke Korea Selatan untuk berkuliah di jurusan Broadcasting, aku benar-benar merasa kehilangan dorongan utamaku. Aku pun melamar sebagai pelayan di sebuah bistro. Terlibat cinta lokasi selama empat tahun dengan admin bistro sebelum dia memutuskanku demi melanjutkan kuliahnya di Inggris. Dan s****n. Semua orang memiliki cara yang elit untuk meninggalkanku ke luar negeri. Padahal, mendaftar beasiswa di dalam negeri saja aku gagal. Apalagi dengan beasiswa ke luar negeri? Dan, oke. Seandainya aku memperoleh kesempatan tersebut, apa yang akan kuambil? Bidang apa yang akan kupelajari secara serius? Aku merasa bisa melakukan apa pun sekaligus tidak bisa melakukan apa pun. Di satu sisi aku begitu kosong, masih baru, siap diajari materi apa pun. Tapi di sisi lain aku merasa sudah dewasa oleh pengalaman sehingga bisa mengerjakan apa pun. Omong kosong. Yang terjadi sebenarnya adalah aku tidak memiliki mimpi apa pun. Dan sesuatu tentang mimpi jika dihubungkan dengan Zeke dan keluarga Hitana membuatku merasa sangat muak. Sedan berhenti tepat di sebelah pohon kersen yang ditanam oleh Ayah sewaktu terjadi pemboikotan pasar di Depok yang masih berada dalam wilayah Bogor pada tahun 1945. Pohon itu berbunga dan berdaun lebat pada bulan Februari. Tapi dedaunan kersen memang rapuh dan setiap sore sepulang kerja, aku selalu mendapati timbunan daun rontok, tak peduli warnanya masih hijau sehat. Belum lagi buah kersen benyek yang jatuh dan terlindas oleh kendaraan yang beraktivitas di sepanjang g**g. Jalan masuk berlapis semen di depan gerbang cokelat tua rumahku jarang berada dalam keadaan bersih sempurna. Kaca jendela diturunkan, mesin mobil dimatikan. Bau tanah bercampur dengan daging buah kersen yang manis langsung menyerbu kabin mobil. "Aku belum memilikinya," jawabku setelah lama hanya berdiam diri. "Pikirkan masa kecilmu." "Apa?" Aku mengerutkan kening di bawah poni tipisku yang sepanjang alis. Mimpi, setahuku, berhubungan dengan masa depan manusia, bukan masa lalunya. "Sewaktu kecil, apa cita-citamu?" "Apa?" Aku memejamkan mata dan menggeleng. "Entahlah. Dokter?" "Dokter?" Zeke tersenyum dengan geli. "Aku cuma main-main. Membebat leher bonekaku dengan selendang Ibu tanpa tahu selendang itu mencekiknya. Belakangan ini kurasa, itu lebih mirip usaha pembunuhan daripada penyelamatan." Zeke masih tertawa saat aku menambahkan—aku tahu akan terdengar t***l, tapi tetap saja mengatakannya. "Aku juga menyukai gagasan memasak sepatu panggang." "Sepatu… panggang?" Matanya terbeliak. Aku tersenyum dengan perasaan geli. Zeke seketika tertawa terbahak-bahak. "Aku mengoleksi boneka Barbie. Tapi aku lebih tertarik pada apa yang dikenakannya, seperti pakaian dan sepatu. Aku menyukai warna-warninya. Ungu mirip anggur dan terung. Merah seperti tomat atau buah bit. Dan jingga seperti jeruk dan wortel." "Dokter dan koki. Dan apa lagi?" Dia sudah pulih dari histerianya atas ketololan masa kecilku. "Ilmuwan, tentu saja. Aku berharap bisa mencari cara yang cukup cerdas untuk memarut bulan agar salju turun di Indonesia." "Kamu menganggap bulan bisa diparut dan menjadi salju?" "Imajinasi bocah." Aku mengangkat bahu dengan tak acuh. Zeke kembali tertawa. Kedua ujung telinganya berdenyut. Dia tak pernah tahu betapa aku menyukai waktu berduaan dengannya seperti ini. Menyaksikannya tertawa dengan tulus karena leluconku, mengurangi tampang seriusnya ketika sedang berpikir keras. Karena Zeke takkan pernah jauh-jauh dari materi rapat ini dan itu dan pergi ke luar negeri dan pulang membawa cendera mata untuk orang tuaku. Dan aku pun akan mulai jengkel lagi padanya. Aku akan berterima kasih jika hadiahnya benar-benar bermakna. Tapi kalau hadiah itu kelewat mahal, aku tak segan mengembalikannya pada Zeke. Atau Om Erik dan Tante Belinda. Aku menambahkan, "Aku juga suka mencari tahu tentang tulang belulang dinosaurus sehingga terpikir olehku saat besar nanti aku harus menjadi seorang arkeolog. Tapi dalam pelajaran seni, aku merasa gambaranku adalah yang terbaik di seluruh Depok. Dan kuputuskan sudah waktunya berganti cita-cita lagi, kali ini menjadi seniman." "Apa yang kamu gambar?" "Anak harimau memeluk wortel." "Aku menghormati kemultitalentaanmu, Nona Rosalind. Tapi sejujurnya, aku benar-benar belum melihatmu termotivasi oleh salah satunya." Karena memang tidak ada satu pun dari semua profesi yang telah kusebutkan berhasil memotivasiku. Sepertinya, aku satu-satunya di dunia yang tidak memiliki cita-cita dalam bidang spesifik. Dan sebelumnya, aku tidak merasa panik karenanya. Tapi setelah Zeke menyinggungnya barulah aku merasakannya. "Jadi aku benar?" Aku tidak menjawab, hanya membalas tatapannya saja. "Kalau begitu, Rosalind, maafkan aku. Hitana nggak akan pernah berhenti memberi bantuan dana pada Ayah Sugi dan Ibu Hamida."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD