File 2 : Nomor 23

1424 Words
Entah apa yang ada dipikirannya. Tugas masih segunung, tapi ia tetap saja mencuri waktu. Sambil menggenggam sepucuk kertas lecek yang dicatat dari unit intel, pemuda itu menyusuri jalan. Melewati lorong demi lorong, memeriksa rumah demi rumah. "Nomor 23!" gumamnya, mencocokkan alamat. Gg Tikus Lama. Tetap lucu berapa kali pun, ia baca. Jalanan padat dipenuhi rumah-rumah kumuh tak tertata, ia tapaki. Komplek ramai itu berakhir pada jalanan tidak bersahabat, yang segera menyapa perjalanannya dengan kasar. Rumput tinggi menjulang, sampai menutupi sepatu dinasnya. Jalanan berlubang-lubang. Tak jarang, kakinya sampai terperosok. Bibir yang sudah kering kerontang semakin menekuk, melihat sekeliling yang kian sepi. Pemuda itu merasa kecewa dan hampir menyerah. Tapi ia menemukan sebuah tempat kecil berbentuk persegi. Sebuah tempat tua terbengkalai bercat biru itu, terletak di pinggir jalan. “Sepertinya masih ada sambungan kabel di situ.” Rain mengendap-endap, memeriksa penuh curiga. Sisi demi sisi, sudut demi sudut, hingga seutas kabel hitam ia temukan. Dibalik kaca buram berstiker merah darah, tertulis kata “Wartel." Temuan itu membuatnya semakin yakin; itu hanyalah sekedar telepon iseng belaka. “Jangan-jangan dari sini?” tebaknya. Rain menggeleng. Tak puas rasanya bila bangunan bernomor 23 yang ada dalam catatan, belum ditemukan. Akan tetapi, apa yang ada di depan sana sebenarnya? Semakin jauh merengkuh langkah, jalanan justru semakin sepi dan lebih sunyi. Rumah-rumah yang semula padat, kian jarang terlihat. Tersisa bangunan-bangunan aneh tidak terawat, yang membuat tempat itu kelihatan seperti kota mati. “Buang-buang waktu saja!” Tepat di ujung perempatan jalan, Rain berhenti. Di tempat itu, sampah bertebaran. Tanah tempatnya menapakkan kaki adalah sebuah kubangan. Ujung kirinya, bahkan digenangi air kotor. Semen pembatas trotoar sudah rontok tidak karuan. Cat merah dan hitam di sisi luar pembatas pun, hampir tidak tersisa. Hebatnya, itu bukanlah yang terburuk. Saat hendak berbalik, rumput liar menyandung kakinya, sehingga membuatnya jatuh terpelanting. Rain merasa sangat kesal. “Sial, mereka membodohiku!” umpatnya. Rasa penasaran yang semula menggelora lenyap seketika. Yang ada tinggal kekecewaan dan amarah. Kekesalan tumpah saat berusaha bangkit, tapi matanya menangkap gambaran jelas sebuah bangunan tua, tepat di ujung perempatan. “Tempat apa itu?” pikirnya. Tidak ingin pulang dengan tangan kosong, dan pulang dengan tangan kosong, Rain mendekati bangunan itu. Tembok menjulang tinggi, mengitari bangunan itu. Sayangnya, gerbang besi karatan besar menahan langkahnya, karena terkunci rapat. Halaman luas dipenuhi pepohonan rindang terlihat jelas. Cat putihnya pudar dan terkelupas. Tempat itu kelihatan sangat mengerikan. Anehnya, justru di sanalah nomor bangunan yang dia cari-cari ditemukan. "23!" Rain memandang dari luar. Tangan berkeringatnya, perlahan meraba penanda angka di samping gerbang. Warnanya abu-abu gelap, timbul, kurang rapi, serta bedebu. Bahkan, seekor laba-laba dengan nyaman membuat sarang di tempat itu. Rain menggeleng, tak habis pikir. Dia sangat ingin masuk dan menjelajah. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin seseorang melakukan panggilan dari sana? Semakin diamati, ia justru merasa semakin bingung. Tidak puas hanya memandangi, dia pun, memutari tempat itu. Tembok dipenuhi lumut. Cat dasarnya, bahkan sudah tidak mungkin di reka-reka. Seperti kebanyakan bangunan terbengkalai, coretan-coretan tidak bermanfaat mengotorinya. Bahkan, mereka membuat gambar dan tulisan tidak pantas di sepanjang tembok. Tapi hebatnya konstruksi bangunan masih sangat kokoh. Rain berulang kali menendang-nendang tembok, menguji ketahanan bangunan. Tapi tetap saja hanya bergeming. "Apakah ini peninggalan kolonial?" pikirnya. Proyek pemunggaran bangunan lama acap kali membuktikan kokohnya bangunan bekas kolonialisme. Tak jarang konstruksi baru akan segera hancur, sementara bangunan lama masih bertahan ketika penghancuran dilakukan. Penggarapan yang serius. Ilmu konstruksi yang diterapkan dengan baik, serta diawasi sangat ketat. Membuat bangunan peninggalan kolonial tetap berdiri tegak setelah ratusan tahun. "Tidak salah lagi!" Rain berkeliling, tertarik dengan beberapa titik yang memiliki model, yang cukup unik. Motif bunga yang terbuat dari besi. Dulunya pasti indah, tapi sekarang sudah karatan dan tidak sedap dipandang. Kini, tempat itu jadi terlihat menyerupai kediaman Drakula. "Bau apa ini?” Lagi-lagi, Rain tertahan di pintu gerbang. Sambil menutupi hidung, dia memeriksa selokan di pinggir jalan. Warna airnya sudah seperti bekas cucian kotor. Hijau kehitaman, dan sangat menjijikkan. Yang paling mengerikan, tempat itu dipenuhi jentik-jentik nyamuk. Mereka semua berenang dan menggeliat dengan bebas. Hingga membuatnya tak kuasa memalingkan muka. Makhluk-makhluk merah itu berenang dengan gembira. Seperti orang-orang kaya yang sedang pesta, di dalam kolam renang pribadinya, di awal musim panas. Rain menyingkir, memandang halaman dari kejauhan. Di sudut-sudut halaman, aneka pohon tumbuh lebat. Tapi anehnya, tidak banyak daun dan ranting di sekitar halaman. “Apa masih ada yang tinggal disini?” Rain menerka, memeriksa lagi sekelilingnya. Tanpa dia sadari, alam bawah sadarnya menyangkal praduga itu. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh menjulang, beberapa kaca jendela juga sudah pecah. Ia menggelengkan kepala. Tanpa adanya lakban hitam yang merekatkannya, bisa dipastikan kaca-kaca itu bakalan jatuh berserakan. Ini bukanlah kediaman yang layak ditinggali manusia, pikirnya, mencermati dua buah stiker bulat diantara retakan kaca. Warnanya coklat kayu, tetapi agak samar. Kadang redup, mengecil, lalu hilang dengan sendirinya. “Mungkin stiker hologram?” Rain menganggukkan kepala, membandingkannya sebuah rumah yang ada di seberang jalan. Terdapat banyak stiker-stiker partai di pintu masuk. Itu tidaklah aneh sama sekali. Apalagi, mereka juga pernah membagikan stiker semacam itu kepada warga sekitar. Sebagai bagian dari upaya untuk mendekatkan diri pada masyarakat. Hanya saja, rumah itu ditempeli tulisan, "Dijual.” Dibuat menggunakan spidol hitam besar, tidak rapi, serta dipenuhi debu. Entah sudah berapa lama mereka mencoba menjualnya. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini, dan tempat apa ini sebenarnya?" Rain mulai merasa bingung. Ditatapnya kabel-kabel yang terhubung menuju tower. Hanya ada satu kabel komunikasi, tapi tidak menuju ke rumah itu. Dan memang, pemasangan kabel semacam itu, masih sangat jarang dilakukan. Apalagi oleh masyarakat umum. Sambungan kabel komunikasi itu juga putus di tengah jalan. Jangan-jangan... Rain fokus memperhatikan untaian kabel di dekat bangunan tua bernomor ganjil tadi. "Menyeramkan ya?" Sedang fokusnya berpikir, tiba-tiba saja seorang nenek menegurnya. "Bajing.., ya ampun nenek?!" Rain tersentak, kaget bukan kepalang. Ia hanya bisa melongo, memperhatikan wanita renta itu berjalan menggunakan alat bantu tongkat. Suaranya berdetuk begitu lantang, dan caranya berjalan pun, tidak biasa. Tampaknya, dia cukup kesulitan berjalan. "Hah?! Bagaimana mungkin aku tidak mendengarnya?" pikirnya, bingung. “Anu, apa ada orang yang tinggal di dalam?" tanyanya buru-buru, melihat Si Nenek pergi begitu saja. "Siapa kamu?" sahut Si Nenek. Rain tertunduk, ketakutan melihat wajahnya yang penuh keriput. Noda-noda kecoklatan memenuhi mukanya. Hidungnya juga besar dan terlihat kembang kempis. Perutnya yang bongsor membuat dia terlihat seperti nenek sihir. Apalagi, dia membawa sebilah tongkat kayu. "S-Saya anggota." Rain menjawabnya dengan nada risih. "Lagi ya? Mau sampai kapan kalian terus datang?" Si Nenek. "Lagi?" "Kamu juga begitu kan?” ujar Si Nenek, “tempat menyeramkan ini seharusnya dihancurkan saja,” imbuhnya, berlalu begitu saja. Sambil memperhatikan perginya Si Nenek, dia berpikir keras. Dahi mengernyit, bingung setengah mati. Dia bilang lagi, itu artinya bukan cuman sekali mereka datang, dan apa maksudnya, kamu juga begitu? Kenapa mereka kesini? Apa yang sebenarnya terjadi? Asyik berpikir, tiba-tiba saja radio komunikasi mendengung, pertanda panggilan masuk. Rain tersentak, buru-buru mengambil alat komunikasi di pinggang yang tidak pernah lupa ia bawa. “Panggilan untuk unit 341, kami ulangi panggilan untuk unit 341!” seru si pemanggil. “Diterima, ganti!?" jawab Rain. "Kemana saja kamu? Cepat kembali ke markas!" Atasannya mengambil alih panggilan, dan membentaknya. Bising suaranya membuat Rain buru-buru menjauhkan radio komunikasi, hingga tinggi antena nyaris mengenai wajah. "S-Siap, komandan!" jawabnya. Sambil berbalik, dan sesekali melirik bangunan itu. Anehnya, dia kembali melihat stiker berwarna coklat kayu tadi. Bulatan-bulatan aneh itu terlihat begitu jelas, sebelum kembali lenyap. Diikuti sebuah garis hitam yang terkelebat dengan cepat. Benda melengkung berwarna merah yang ikut bergabung dalam situasi itu, memaksanya tanggap berpikir. “Garis hitam itu seperti rambut,” pikirnya. “Tunggu sebentar!” Kedua kakinya membatu. Dia ingat betul, melihat benda berwarna merah dalam satu momentum tadi. “Mungkinkah benda merah itu adalah bando? Atau jangan-jangan pita?” Rain mencoba mengingat-ingat, tapi tetap saja tak bisa menemukan jawaban pasti. “Memangnya apa bedanya?” serunya. Rain berbalik, menatap ke arah bangunan tadi. Tapi sayangnya pemandangan itu sudah lenyap. Kesalahan fatal itu terlanjur terlambat dia sadari. Jika sekelebat hitam itu benar-benar rambut, dan merah sebelumnya adalah pita, maka yang dia lihat sudah pasti bukan stiker hologram. Melainkan dua buah bola mata. Dan bukan hanya itu saja, sepasang bagian tubuh itu sudah menatapnya sedari tadi. Rain berlari kalang kabut, menuju bangunan tua itu. Dia menggedor-gedor gerbang besi tua yang menghadangnya masuk, berharap seseorang akan keluar. Akan tetapi, gembok hanya bergemerincing. Tidak ada yang mau keluar, dan alat komunikasinya mendengung lagi. “Tunggu apa lagi!? Cepat kesini!” Rain merasa dilema. Atasannya terus memintanya kembali bertugas, tapi hatinya sangat ingin meneruskan penelusuran. Pada akhirnya tanggung jawab sebagai prajurit terasa lebih berat, ketimbang rasa haus penasarannya yang tidak seberapa. Sambil berjalan pergi, pemuda itu mendesah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD