bc

File 73

book_age16+
8
FOLLOW
1K
READ
tragedy
serious
mystery
genius
detective
office/work place
small town
crime
victim
serial-killer
like
intro-logo
Blurb

Misteri, tragedi, pembunuhan, human experiment, kisah lengkap File 73.

Rain, seorang anggota militer Nusantara di masa dwi fungsi. Terjebak ke dalam wilayah yang dianggap kota mati, akibat sebuah eksperimen di masa lalu. Tugas beratnya sebagai seorang anggota militer benar-benar diuji, saat ia ditunjuk menjadi pimpinan reserse.

chap-preview
Free preview
File 1 : Kriing!
Kriing! Telepon terus berdering sampai membuat satu ruangan merasa tidak nyaman. Akan tetapi pemuda itu terlalu sibuk mengurus berkas. “Angkat, tuh!” Seseorang menepuk bahunya, menunjuk gagang telepon yang terus meronta. Rain buru-buru mengangkatnya, kaget mendengar suara dering telepon. “Unit reserse Distrik 17, ada yang bisa kami bantu?” sapanya. Orang-orang cemberut menatapnya. Tapi dengan tenang dia senyum, sampai mereka semua bubar dengan sendirinya. Rain mendesah. Telepon masih saja senyap. Licin gagang telepon yang semula tidak dia hiraukan, pun, semakin mengusik benak. Gara-gara gorengan yang dibawa atasannya, tangan semua orang jadi berminyak. Dari situlah semua ketidaknyamanan ini berasal. Harusnya, aku tidak ikut makan, gerutunya dalam hati. Sekeliling kembali sepi. Suara mesin ketik yang terdengar sepanjang hari pun, tidak terdengar lagi. Entah sejak kapan, tinggal dia anggota reserse yang tersisa. Rupanya hari sudah gelap. Rain semakin gelisah, ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dan segera pulang. Sayangnya telepon masih saja senyap. Tak disengaja, gagang telepon tergelincir. Beruntung dia sempat menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Kalau tidak, benda itu pasti sudah menjadi rongsokan. “Halo, pak?” Rain kesal, menaikkan nada bicara. Sambil tengak-tengok, dia mengusap kening. Ia sadar, apa yang barusan dia katakan itu tidak sopan. Tapi nomor yang menghubungi terlihat asing. “Apakah berarti, ini bukan dari atasan?” pikirnya, bingung. “...” Akhirnya mulai terdengar suara, walaupun itu hanya dengung tidak jelas. Rain mendekatkan lagi gagang telepon, menyimak dengan seksama. Dia sangat fokus mendengarkan. Sampai-sampai kepalanya menunduk. “To-long... sa-ya!” Dingin seketika menjalar ke sekujur tubuh. Tengkuk leher serasa kesemutan. Adrenalin terpompa dahsyat, hingga nyaris membuatnya melompat. Suara setengah berbisik itu membuatnya kaget. “Apa itu?” Tanpa sengaja, dia menutup telepon. Rain mengusap wajah. Pikirannya menjadi kacau. Dia khawatir, itu adalah situasi darurat. “Tapi kenapa? Bagaimana mungkin panggilan semacam itu menyasar ke sana?” Sambil mengamati pesawat telepon, Rain berpikir keras. Berulang kali dia memastikan. Tapi itu memang pesawat telepon divisi reserse. Dia merasa sangat bingung sampai-sampai hendak menelepon menggunakan pesawat telepon lain. Anehnya telepon kembali berdering, tepat saat dia berdiri. Tangannya berkeringat. Rasa takut tiba-tiba muncul. Ia merasa semua itu bukanlah kebetulan. Terpikir untuk mengabaikan panggilan itu. Tapi dia tak bisa mengabaikan kemungkinan terburuk. Walaupun, panggilan semacam itu harusnya terhubung ke bagian informasi. Pelan-pelan, ia genggam gagang telepon. Ia angkat benda itu ke telinga dan menunggu suara panggilan. Telepon terus mendengung. Itu menandakan panggilan sudah terhubung. Tapi sialnya, Si Penelepon hanya diam. Pemuda itu semakin merasa tertekan. “Rain?” Seketika ia mendesah. Tubuhnya langsung lemas, begitu memeriksa nomor. Rupanya, itu adalah Kolonel Wahyu, pimpinan Distrik 17. “Syukurlah, saya kira yang tadi,” ucap Rain, lega. Sambil merebahkan tubuh, tak henti-hentinya dia mengusap d**a. Memangnya ada apa?” Kolonel Wayhu. “Itu, pak telepon iseng. Tidak terlalu penting, kok, izin!” “Kok bisa? Jarang sekali kita mendapatkan hal seperti itu!” Rain mendeham, tidak menyangka hal itu jarang terjadi di Distrik 17. “Kenapa lagi Rain?” tegur Kolonel Wahyu, penasaran tiba-tiba obrolan terhenti. “M-Maaf melamun, Komandan, izin!” jawab Rain. “Jangan sering melamun, apalagi baru saja naik pangkat!” Kolonel Wahyu. “Memang apa hubungannya, izin?” “Kamu ini dikasih tahu orang tua malah...” “Langsung saja ada perlu apa, pak, Izin!” putus Rain, “sebelumnya, maaf tidak sopan. Izin, jujur saja saya sedang sibuk mengurus berkas,” lanjutnya. “Dasar tidak sabaran!” omel Kolonel Wahyu, “itu, maaf merepotkan, Letnan!” lanjutnya. Rain mengusap kening. Dari kalimat pembukaannya saja sudah kelihatan. Dia pasti tidak akan bisa pulang cepat hari ini. “Katakan saja, izin!” serunya. “Kasus kemarin sekalian, ya!” pinta Kolonel Wahyu. “Ini sudah malam, pak! Kerjaan saya saja belum beres, izin!” keluh Rain. “Tolong diusahakan, saya butuh itu pagi ini!” eyel Kolonel Wahyu. “Jari tangan saya sudah pegal, mengetik semalaman dengan mesin tua ini, izin!” Rain mendecak. Raut mukanya kelihatan kusam. “Besok saya traktir bakso, deh!” bujuk Kolonel Wahyu. “Anda sedang mencoba menyogok?” Rain tiba-tiba melupakan formalitas. “Bukan begitu...” “Jus alpukat!” putusnya. “J-Jus?” Kolonel Wahyu. “Warung ujung perempatan, dekat gang!” “Kamu tahu tempat mahal itu darimana?” “Kalau tidak mau ya su-“ “Baiklah, baiklah, kerjakan saja laporannya!” putus Kolonel Wahyu. “Sepakat!” jawab Rain. “Tu-“ Rain terlanjur menutup telepon. Tanpa rasa bersalah, dia mulai lagi menyusun berkas. “Kalau penting, pasti dia menelepon lagi,” ujarnya. Ini adalah lembur pertamanya. Begitu naik jabatan, dia langsung dimutasi keluar ibu kota. Meninggalkan hingar bingar kehidupan metropolitan, menuju tempat antah berantah yang terkenal akan citra buruknya. Tidak ada kata mengeluh bagi seorang anggota militer. Yang harus dia utamakan hanya satu, mengabdi pada negara. Negara terus diserbu isu Laten Komunis dan pergolakan ekonomi yang hebat. Buntutnya dugaan korupsi menguat, hingga memicu aksi kudeta. Kekecewaan juga semakin diperparah oleh isu separatisme yang gagal diselesaikan. Tak pelak, kredibilitas penegak hukum semakin dipertanyakan. Meskipun dianggap sebagai fraksi paling kuat dalam pemerintahan, menjadi anggota militer di masa itu merupakan suatu tantangan yang sangat berat. Kriing! Lagi-lagi telepon berdering. Rain yang dongkol mengangkatnya dengan kasar. “Baru juga diomongin!” gerutunya, “siap, apa lagi, Komandan?” lanjutnya, menjawab telepon. “To-long... sa-ya!” Rain mendesah. Rupanya, teror itu masih berlanjut. Tangannya mulai gemetaran. Tapi rasanya tidak semenakutkan kali pertama. “Tenang, bu tarik napas! Katakan situasi dan masalah yang anda alami dengan santai!” “Bu? Ibu? Tolong terus bicara, ibu!” Diam-diam Rain melapor unit intel, sembari mengulur waktu. Meskipun panggilan terputus, lokasi Si Penelepon sudah berhasil ditemukan. “Kena kamu!” gumam Rain. Dipenuhi senyum kemenangan, ia mencatat alamat yang disebutkan anggota Intel.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Devil Billionaire

read
94.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook