2. Melihat Bidadari

2410 Words
Dia pergi. Bidadari itu telah pergi. Kapan aku bisa melihatnya lagi, Tuhan? Aku yakin kita akan bertemu lagi, bidadari!" Tyo berdecak sambil menggeleng, "hhhmm..., gini rasanya liat bidadari...." Lima menit telah berlalu sejak wanita itu meninggalkan kafe. Tapi bayangannya masih saja menari-nari di pikiran Tyo. Ia teringat sesuatu kemudian menatap jam tangan mahal untuk ukuran karyawan kafe. Menuju ruang ganti. Tak lama kemudian ia sudah terlihat sangat keren dengan jaket kulit, "Lim, gue harus pergi." "Sekarang? Gila!" "Ini penting, Lim." "Yo, kalau bos tanya, kita yang kena!" protes Joko. "Ah, kalian ini payah! Bos nggak akan marah kalau untuk urusan yang satu ini. Biasa... urusan motor! Tenang, kalian dapet jatah, kok." "Nah..., kalau begitu gue setuju!" Joko menjentikkan jari. "Elo emang pengertian Yo," kata Salim. Tyo meninggalkan kafe dengan wajah senang. Ia seorang yang pandai memodifikasi kendaraan, itu sebabnya ia sering diminta pemilik bengkel kenalannya untuk memodifikasi kendaraan bekas yang akan dijual lagi. Langkah tegap penuh harap. Jins hitam, t-shirt warna putih dipadu jaket kulit hitam, sepatu kulit, dan jam tangan keren, membuat banyak mata ingin memandang. Terlebih para wanita pekerja toko atau pun restauran yang ia lewati selalu menunggunya lewat. Tak jarang orang menilainya tak pantas untuk berjalan kaki. Seharusnya ia duduk di dalam sebuah mobil mewah, bukan berjalan kaki di bawah terik matahari begini. Sebenarnya Tyo bisa saja membeli motor tipe kesukaannya, tapi ia berpikir satu-satunya kesempatan untuk berolah raga adalah berjalan kaki. Bahkan jika ia mendapat shift pagi ia selalu gunakan kesempatan untuk berlari pagi menuju kafe di daerah Senayan. Begitu juga saat pulang, ia akan berlari menuju rumah. Wajar saja tubuhnya sangat atletis, seperti brand ambassador produk s**u pembentuk tubuh pria. Tyo pernah berminat untuk ikut audisi brand ambassador s**u itu, tapi urung karena hanya lulusan SMA. Sedangkan yang mendaftar biasanya lulusan Perguruan Tinggi. Tyo selalu membalas lambaian tangan cewek-cewek yang sudah hafal dengan wajahnya karena setiap hari ia melewati jalan yang sama. Tak jarang mereka meminta Tyo untuk mampir ke tokonya. Kali ini ia sudah melewati pertokoan dan sedang melewati pohon-pohon besar di tepi jalan. Saat teringat wanita cantik di kafe tadi ia memejam, mendongakkan kepala, dan kedua tangan di dalam saku jaket. Tuhan..., andai kau ijinkan aku melihatnya lagi, maka aku berharap dia akan menjadi jodohku, dan jika tidak ... jangan pernah perlihatkan dia lagi padaku, agar aku dapat menghapus keindahan wajahnya di mataku..., teriak batinnya. Lalu mengembus napas sambil melempar pandang ke seberang jalan taman kota. Seperti mengenali seseorang yang sedang duduk di kursi taman. Sendirian. Akhirnya melupakan tujuan, memilih untuk memastikan apa yang ia lihat. Tyo melangkah santai saja, wanita itu sama sekali tak menghiraukan, tatapannya tampak kosong, bola matanya berkilat-kilat akibat genangan air di matanya. Ia duduk dengan kaki terlipat anggun, satu tangan di pangkuan, sedang tangan lainnya menopang dagu. Andai ada fotografer lewat, ia takkan menyiakan kesempatan emas ini. Sulit menemukan gambar alami dan memesona seperti ini. Kalau jodoh tak 'kan ke mana! Batinnya. Duduk dengan hati-hati, dan wanita itu masih tak menghiraukan. Akhirnya Tyo mencoba untuk menyapa, "Hai!" ia pun menoleh sesaat dan Tyo berhasil melihat wajahnya dari dekat. Wajah terindah yang pernah ia lihat. Wanita itu cepat-cepat menghapus genangan air di matanya. "Hai," balasnya lembut. Lalu menyandarkan punggung di kursi. "Bolehkah aku tau mengapa ada hujan di hari secerah ini?" Key lalu memejamkan mata, tak langsung menjawab. "Maaf, jangan merusak kesan pertama kita!" jawabnya. "O, oke, maaf beribu maaf atas kelancangan aku." Sesaat kemudian tak ada yang bicara. Tyo meluruskan posisi duduknya. Menimbang apa yang ingin ia katakan lagi. "Aku hanya ingin mengurangi bebanmu. Mungkin dengan bicara kepada aku, bisa sedikit lega." "Dengan menceritakan masalah pribadi kamu kepada orang asing?" sindirnya. "Yaa..., may be?" Tyo meninggikan pundaknya, mereka bicara tanpa saling lihat. "Mungkin--menurut orang yang belum pernah merasa kecewa... itu benar. Tapi menurut aku tidak." "Why?" "Bicara dengan orang yang sudah dikenal baik saja belum tentu menyelesaikan masalah. Apalagi bicara dengan orang asing!" "Ehm, bagaimana kalau... pemikiran itu dibalik?" wanita itu mengerutkan alis, Tyo pun tak meninggalkan ke-sempatan untuk memandangnya. Tyo terpaku sesaat. "... Maksudku orang asing belum tentu mengecewakan dan..., orang yang sudah dikenal baik belum tentu membantu. Benarkan?" Tyo meninggikan alisnya. "Contohnya aku. Kamu bisa mengandalkan aku. Aku janji!" memasang wajah meyakinkan. Setiap orang yang berlalu lalang dijalan mengira mereka berdua adalah sepasang kekasih yang sedang bersantai. Tyo sama sekali tak tahu bicara dengan siapa. Tapi sebagian orang yang lewat dengan mobil mewahnya tahu siapa wanita itu. Dia adalah Keysha Amora, pemilik perusahaan besar, PT Amora Jeans. Merek jins terbaik di Indonesia. Tentu saja Tyo tak menduga itu, karena untuk ukuran pemilik perusahaan besar ia jauh sangat sederhana. Tyo mengira ia hanya seorang karyawati biasa. Seorang pengamen waria melewati mereka, "Mm..., cucok boo...!" katanya sambil mengedipkan matanya genit pada Tyo. Tyo terlonjak, kemudian melirik Key yang sedang menahan tawa. "Maksud eke, kalian berdua cucok... banget! Ugh..., ganteng banget sih...!" godanya, jakunnya naik turun, mengedipkan lagi matanya sebelum berlalu sambil mengibaskan rambut palsunya. "Oh Tuhan...!" ucap Tyo. Sedangkan Key masih terus berusaha menahan tawa. Pandangan Tyo tertancap pada wajah memerah karena menahan tawa, ... ayo tertawalah... gantikan tangismu tadi dengan tawa, batinnya. Mereka memang terlihat sangat serasi. Tyo yang maco dan sangat metropolis dan Key yang anggun dan tegas. "E, ehm!" Key tersadar, mengibaskan rambutnya ke samping, "sorry...." "It's oke, tertawalah sesuka hatimu, jangan ditahan-tahan. Wajah seindah ini--tak pantas dibuat menangis. Percayalah, jika Tuhan menghendaki ini bukan pertemuan terakhir kita, aku akan selalu membuatmu tertawa. Paling tidak tersenyum." Tyo melipat tangan di d**a dan memasang senyum percaya diri. "Yeah..., pria tampan dan keren seperti diriku ini ... selalu dikagumi para wanita maupun-waria!" Tyo menemaninya tertawa. "Ayo tertawalah! Aku janji, akan selalu membuat kamu ... tertawa." Meninggikan alisnya, "ini do'aku pada Tuhan, agar kita selalu bertemu." "Thanks, paling tidak..., Tuhan sudah mencatat sebagai niat baik." Key mendongak sambil memejam, "mm... baiklah, sebagai imbalan--aku akan bicara pada...," menoleh lagi, "orang asing." Meneleng. Wow, ternyata dia pemilik aset wajah terindah yang pernah kutemui! Hidung, mata, alis, bulu mata, bibir, tulang pipi, dan ... Oh My God...! Batinnya. "Hei..., kau dengar aku orang asing?" melambaikan tangan di depan wajah Tyo. "Eh, ya, aku dengar," berusaha tenang. "Ceritakanlah--apapun yang membuat mata indahmu menangis," katanya sambil terperangah. Sekarang Key yang terpaku pada wajah di hadapannya. Ia baru sadar Tyo sangat tampan. Benar kata waria tadi, mereka serasi. Tyo memiliki rahang yang tegas, wajahnya bersih dihiasi cambang tipis yang memberi kesan maco. Terlihat warna keabu-abuan di sekitar bibir dan dagunya, alis tebal dan hitam, bulu mata yang lebat menghias mata elangnya. Menambah daya tarik tersendiri, jarang ada pria yang memiliki bulu mata lebat. Bibirnya manis, pasti bukan perokok, dan hidungnya... Cukup Key! Jangan menilai lagi! "Helow...!" menjentikkan jari di depan wajah Key. "Ingin membalas 'diamku' tadi?" tuduhnya. "Eh, sorry, aku sedang berpikir harus mulai dari mana." "Oh..., oke," Tyo membuka jaketnya, memiringkan tubuh menghadap Key, "... Mulailah sesukamu, Nona!" Bukan memulai bercerita Key justru terpaku lagi karena aroma parfum tenang, dan lotion yang lembut namun tegas, memberikan kesan tenang, romantis, dan menarik secara dramatis. Kulit lengannya bersih, aku yakin dia memakai segala produk ketampanan, batin Key. "Hei cantik, baru sadar kalau sedang duduk dengan orang tampan? Baiklah, bagaimana kalau aku yang memulai dengan pertanyaan?" "Boleh, deh!" jawab Key, lalu mengatup rapat bibirnya sambil melipat tangan di d**a. "Maaf sebelumnya, menurut ahli bahasa tubuh tidak baik melipat tangan di depan lawan jenis." Tanpa sadar ia semakin menghadapkan tubuh pada Key hingga lututnya nyaris menyentuh Key. "Aku tau, tapi aku sedang ingin melakukannya." "Oke. Lupakan. Aku akan mulai bertanya. Siapa si jelek ... maksudku pria di kafe tadi?" Key memicing, "... Maaf terlalu pribadi!" "Dia membuatmu patah hati?" "Kau yang membuatku patah hati!" lipatan tangannya mengencang. "Aku?" meletakkan tangan di d**a. "Ya, dengan 'bertanya' seperti itu!" "Maaf." "Ya sudah. Mm, begini, aku nggak patah hati, aku hanya kesal pada pria. Entah bagaimana mereka menilai cinta? Mereka-semua-sama!" ungkapnya geram. "Sama?" Tyo tak terima. "Nyaris! Yang keren, ganteng, atau... yang nggak punya tampang sama sekali--sama anehnya. Aku selalu ber-usaha menerima segala kekurangan--tapi tetap ... pengkhianatan yang aku dapatkan. Mereka hanya ... menginginkan sesuatu--bukan cinta." "Oke baiklah. Aku akan diam mendengarkan keluhanmu agar aku nggak membuat kamu kesal. Dan kau akan tau bahwa aku-tidak-sama." "Oke baiklah, orang asing," Key me-nengadah satu tangan. "Giliran kamu." Tyo melempar pandangan pada jalan raya, kemudian mulai bicara tanpa melihat Key. "Menurut aku pria itu memang tak pantas untuk kamu. Sama sekali tidak. Dia tidak realistis, plin-plan. Dia..., ingin terus bersamamu, tapi tangannya menggenggam wanita lain. Saat wanita itu melepas genggamannya, dia menarikmu. Tapi ketika wanita itu datang, dia mengulurmu. Kamu hanya dijadikan layangan." Ucapannya terdengar jelas dan tegas. Key memutar kembali tubuhnya. Dengan penuh minat ia mendengar ucapan Tyo. Tatapannya terfokus, wajahnya sangat serius. Dalam hati Key merasa sangat penasaran, ... seperti malaikat, tiba-tiba datang, batinnya. Dirinya sangat mendambakan seorang pria yang cerdas, dan berwawasan luas, sehingga waktu serasa berhenti ketika bicara dengannya. Berargumentasi. Merasa nyaman ketika bicara apa saja. Tyo tersenyum sinis kemudian melanjutkan ucapan, "Menarik ulur sesukanya kemudian--putus," Tyo melesatkan satu tangan ke udara, "... jika layangan putus, bukan hanya dia yang akan mengejar. Layangan itu terbang bebas di udara, menarik semua mata, lalu jatuh--hanya kaki yang cepat dan tangan yang tangguh yang akan mendapatkan." Selesai bicara Tyo bersandar penuh pada kursi, kemudian berpaling pada Key yang sedang menatapnya, "... itulah filosofi layangan jika dihubungkan dengan cinta." Bola mata Tyo ber-gerak-gerak, ini kesempatan emas bisa memandang mata indah itu dari jarak dekat, "kamu..., jangan pernah mau dijadikan--layangan," katanya lirih. Key terperangah dibuatnya, tak sanggup berucap. Ia hampir tak bisa mengingat kapan terakhir memimpikan bertemu dengan pria yang bisa beradu pemikiran dengannya karena mimpi itu selalu mengikuti. Kali ini sepertinya mimpi itu mendesaknya untuk segera mengetahui... Apakah pria ini yang aku impikan? Bahkan dia menarik secara fisik, dan kecerdasannya menambah daya tarik. Ah, mungkin dia masih punya 1000 daya pikat yang masih tersembunyi? Batin Key. Belum ingin berakhir. "Maaf--aku hanya asal bicara saja, jangan dipikirkan..." "Aku suka..." "Padaku?" pertanyaan Tyo terdengar heran. "Yeah. Eh, maksud aku ucapan kamu. Tentang semuanya tadi. Kau berhasil menjebak aku!" "Syukurlah. Aku tidak sia-sia." Key tersenyum manis, "tentu saja tidak." Aku baru sadar selama ini hanya--jadi layang-layang, batinnya. Tyo mengembus napas lega, "aku pikir kamu akan menampar keras pipi aku!" "Hahaha..., apa aku sejahat itu?" Tyo meninggikan pundak. Merasa melayang saat key duduk lebih dekat dan memegang tangannya. "Kamu... senang?" ada rasa puas yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sepanjang hidupnya mengenal seorang gadis. "Aku senang, dengan keputusan aku nggak pergi meninggalkan kamu tadi. Dan aku--nggak menyesal mendengarkan kamu bicara," Key menatap serius, "...kamu pandai. Meski menggunakan layang-layang sebagai perumpamaan, tapi aku sangat mengerti maksud kamu. Kamu benar--dia memang menjadikan aku seperti layang-layang." "Lagi pula dia terlalu jelek. Dan kamu--teramat indah untuk dijadikan layang-layang." Tyo terpaku, waktu terasa berhenti, "ehm..., seperti si cantik dan si buruk rupa!" katanya menepis rasa keterpesonaannya. Key tertawa, "... Kadang-kadang selera aku ini memang payah!" ungkapnya di tengah tawa. Tiba-tiba, "kamu siapa? Bukan malaikat yang selalu ada untuk tau semua, kan?" kedua matanya memicing. "Ya, aku bukan malaikat. Tapi aku ada saat adegan dramatis di kafe tadi terjadi." "Owh, ternyata suka mencampuri urusan orang?" bergidik. "Ehm, bukan seperti itu. Tapi, aku nggak suka melihat wanita disakiti dengan cara apa pun. Dan khusus menyangkut masalahmu, bukan hanya itu yang menarik minatku untuk ingin tau. Satu hal yang sejak awal menarik pandanganku yaitu..., tokoh protagonis dalam cerita dramatis tadi," katanya lirih. Key seperti tercekat mendengarnya. "Bicara apa kamu ini, seperti sutradara saja!" "Yeah, sayangnya aku bukan sutradara. Sebab jika aku sutradara--hanya cerita bahagia yang aku buat untuk kamu. Bukan yang seperti tadi." "Sayangnya..., kebanyakan wanita cantik dan baik hanya dibutuhkan untuk disakiti dan dikuras air matanya, itu terjadi di hampir disemua film dan drama. Ah, bahkan novel!" imbuhnya. "Tapi tak jarang air mata itu dikuras agar nantinya yang tersisa hanya kebahagiaan, berakhir dengan... happy ending," membentang kedua tangan. "Well, kenapa kamu tertarik untuk mengetahui masalahku?" "Karena aku merasakannya sejak melihatmu turun dari mobil si jelek itu. Biasanya firasatku benar." Key merasa tenggorokannya kering, "... Why?" "Pertemuan-pertemuan berikutnya akan menjawab pertanyaanmu. Yang jelas, memoriku merekam hampir semua kejadian tentangmu di kafe tadi--bukan tanpa alasan." "Ehm!" Key mengingatkan dirinya untuk tak terlalu cepat terbuai dengan kata-kata dan sikap manis seorang pria. Melirik jam tangan, menunjukkan jam 2 siang, "aku harus pulang," pamit Key sambil berdiri kemudian membungkukkan punggungnya untuk mengambil tas mungilnya. "Aku hanya bisa berdo'a semoga ini bukan pertemuan terakhir." Key sampai menahan napas saat Tyo berdiri. Tubuhnya sangat ideal, atletis, kaus tipis yang ia kenakan menunjukkan ototnya. Sengaja melipat sedikit lengan kausnya, dan itu membuatnya seksi dengan otot yang menyembul. Tyo melipat tangan di d**a dan memiringkan wajah seolah bertanya. "Ehm, kamu bilang nggak baik melipat tangan di hadapan lawan jenis?" Key mengingatkan. "Oh, maaf, aku lupa." Tyo menjatuhkan satu tangannya, sedangkan tangan kanan memegang jaket. Mereka berjalan berdampingan. Mata Tyo melirik tangan ramping Key, ingin rasanya menggandeng tangan gadis malang itu, namun ini belum saatnya. Akhirnya Tyo hanya dapat menenggelamkan tangan ke dalam saku jins sambil sesekali kedua matanya melirik memperhatikan cara bidadari di sampingnya itu berjalan dengan kedua kaki jenjang dan indahnya. _____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD