4. Kopi Teman Terbaik

1423 Words
Kopi, Teman Terbaik Langit semakin gelap, bintang-bintang bertaburan menebar cahaya, dan sempurnanya bentuk bulan di antaranya. Tyo duduk di ambang pintu rumah kontrakannya yang sangat kecil. Seperti ingin menghitung bintang namun tak jua menemukan hasil. Mustahil. Sempurnanya bentuk bulan berubah menjadi wajah yang sangat memikat hatinya hari ini. Tapi tak tahu siapa namanya. Bisa saja ia bertanya siapa namanya atau bertanya apa pun sebagai bentuk perkenalan. Namun ia tak menggunakan cara itu. Tyo mengangkat gelas berisi kopi, teman terbaiknya saat perasaan seperti apa pun adalah kopi. Terutama di saat gundah seperti ini. "Hei, cantik, siapa nama kamu? Berapa nomor ponsel kamu? Di mana alamatmu?" katanya pada gelas mungil itu, "hah norak, basik!" "Kalau basi jangan diminum atuh Akang!" tiba-tiba ada yang menjawab seruan Tyo. Seorang gadis bertubuh mungil dengan logat Sunda, usianya sekitar 19 tahun. "Eh, Siti, baru pulang ya?" "Iya Akang, ada lemburan sedikit." "Oh, bagus, lumayan upahnya." "He-eh. Ngopi Kang? Mau ditemenin ngobrol?" "Ini temennya," menunjukkan gelas kopi. "Makasih Ti, lagi enak ngelamun sendiri lebih asik," jawabnya lalu menarik sudut bibir memamerkan lesung pipinya. "Oh--mari Akang!" "Iya, silakan." Tyo tak mencegah. Gadis itu berjalan lambat, berharap Tyo mencegah. "Sudah malam Siti, cepatlah pulang!" Tyo mengingatkan. Siti pergi meninggalkan senyum kecewa. Tyo tahu bahwa Siti menaruh hati padanya, itu sebabnya ia berhati-hati agar Siti tak berharap lebih. Ingatan Tyo kembali pada Key. Ia menghabiskan sisa kopi, meletakkan gelas di lantai, kemudian kedua tangan bertengger di lutut. "Kita akan sering bertemu... cantik," katanya. Tatapannya ke langit, "karena aku yakin, kita berjodoh. Kaulah yang akan melengkapi tulang rusukku yang patah. Aku yakin!" Tyo seperti membuat janji sendiri disaksikan bintang, bulan dan langit malam. "Kau harus jadi milik aku--nggak peduli dengan apa yang nggak aku miliki dan apa yang kamu miliki. Aku punya 1000 cara untuk membahagiakan wanita yang aku cinta." Mulai merasa dinginnya malam, ia masuk, mengunci pintu yang terdengar nyaring di bagian engsel. *** Key berbaring cukup lama di tempat tidurnya yang nyaman. Seperti biasa, seharusnya ia sudah terlelap. Tapi tidak untuk saat ini. Ingatannya terus berputar pada kejadian tadi. Membolak-balikkan tubuhnya karena merasa gelisah. Key tak bisa membuang bayangan wajah Tyo di kepalanya. Entah ke mana rasa kantuk yang biasanya sudah menyerangnya? Menatap wajahnya di cermin dan menyunggingkan senyum sinis. "Keysha Amora..., seumur hidup nggak pernah begitu tertarik pada pria, tapi kali ini--kamu bahkan nggak tau siapa dia!" menenggelamkan wajah di bantal. "Ada apa dengan kamu Key...?" Key menyapu wajahnya, merasa asing dengan sikapnya sendiri. Key berdiri menghadap cermin. Memperhatikan lekuk tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak ada masalah dengan tubuhnya yang memang ideal. Tapi ia merasa sepertinya Tyo tidak lebih dewasa dari dirinya. "Mungkin usianya baru 26 tahun? Sedangkan aku 29 lebih." Key memicing, "apa mungkin, dia tertarik dengan wanita dewasa? Ya Tuhan..., kenapa aku berharap? Key... kendalikan dirimu!" kembali menatap wajahnya di cermin, "kamu nggak bisa menutupi wajahmu dari kedewasaanmu, Key! Jadi berhenti berharap. Oke! Kamu memang cantik Keysha, tapi dia nggak mungkin menyukai perempuan yang lebih dewasa." Menghela napas frustrasi lalu mengacak rambutnya. "Hentikan khayalanmu Key, dia hanya orang asing!" kemudian mengambil lapisan kimononya, memakai sambil berjalan menuju balkon. Key duduk di beanbag dengan kaki memanjang. Merasa tak mengantuk, memilih bersantai di balkon memandangi langit gelap. Tiba-tiba seperti ada cahaya di tengah langit gelap itu. Cahaya wajah Tyo yang menawan. "Andai saja aku nggak bertemu dia--aku pasti masih menangisi si b******k itu!" melipat tangannya dengan sikap kesal. "Heh, dia bahkan berhasil mengusir kesedihanku dengan sekejap." Sebelah tangannya terangkat kemudian memegang dagu, "siapa sih, dia? Kamu keren banget, membuat orang begitu cepat terpikat. Aku suka dengan cara kamu bicara, caramu memandang, penampilanmu yang maskulin, dan... caramu berjalan..." tersenyum sendiri mengingat ia telah memperhatikan cara pria itu berjalan. Seumur hidup itu hal yang pertama kali ia lakukan. "Jins itu di pasaran hanya sekitar lima sampai delapan ratus ribu, tapi seperti berharga jutaan di tubuhnya. Andai saja ia kujadikan model untuk iklan produk aku, pasti akan laku keras di pasaran. Tepat seperti keinginan aku saat menciptakan produk itu, membuat barang dengan tipe standar menjadi terlihat mewah--produk lokal sekelas Internasional." Malam mulai membawa angin tak enak, Key masuk kembali ke kamarnya. Dengan cepat menenggelamkan tubuhnya lagi dengan selimut. Tiba-tiba selimut dibuka kembali. Ia menyadari sesuatu, sejak awal pria itu memang memperhatikannya saat di kafe. Sebaliknya ia samasekali tak memperhatikan pria itu. Menebak-nebak apa kira-kira yang membuat pria itu begitu memperhatikannya. Apakah ia memang bisa melihat situasi yang dialami orang lain? Keadaan Key saat itu memang sedang tertekan dengan situasi hatinya sendiri. Dan ia menangisi kebodohannya karena mau saja menerima Beno yang jelas-jelas memang menarik ulur perasaannya sesuka hati. Benar sekali apa yang dikatakan pria asing itu, Key hanya dijadikan layang-layang. Entahlah--sepertinya Beno memang menginginkan sesuatu dariku, tapi bukan cinta. Hatinya ada pada Kris, tapi dia mengincar sesuatu dariku. Yeah, tentu saja ... sama seperti yang lainnya--apa yang aku punya ... lebih berharga dariku sendiri. Semua lebih memandang Amora daripada Key, hanya Keysha pribadi. Batinnya. Key tertidur setelah bermain dengan pikirannya sendiri. Sebagai orang yang kesepian, dan di harinya hanya ada soal pekerjaan ia sangat mengerti apa yang diinginkan dirinya dalam hal mencari pasangan. Dan selama ini--itu hal tersulit dalam hidupnya. Memiliki pacar ataupun tidak, ia tak pernah merasa 'terisi'. Ia sempat berharap, dan berkali-kali berharap jika apa yang ia inginkan bisa ia dapatkan dari Beno. Ternyata--tidak! Benolah yang justru membuatnya semakin merasa tak punya arti. Dicampakkan begitu saja di depan umum. Alarm di ponselnya menjerit, pertanda ia sudah harus bangun. Tapi rasanya ia baru saja tertidur beberapa menit yang lalu, dan itu membuatnya mengerang kesal. Memaksakan untuk bangun. Meskipun direktur ia tak mau sampai datang terlambat. Menaiki taksi Pak Parjo, langganan- nya yang tak pernah terlambat menjemput. Key selalu melewati rute yang sama baik pergi maupun pulang bekerja. Tapi tak pernah benar-benar memperhatikan seperti apa rute yang ia lewati. Berbeda dengan hari ini, ia memperhatikan sisi jalanan yang kemarin dipakai seseorang untuk berlari. Key sampai tersenyum sendiri. Tiba-tiba saja ia terlonjak, melihat pria itu berlari lagi. Key terus saja memperhatikan sampai memutar kepalanya ingin rasanya memanggil tapi taksi melaju cukup kencang. Setelah tak terlihat lagi Key mengempaskan punggungnya ke belakang. Apa dia selalu berlari setiap pergi dan pulang bekerja? batinnya. *** Sesampainya di kantor, Hilda sekretaris sekaligus sahabat Key, langsung menemuinya. Key memperlakukan seluruh karyawannya seperti teman, terutama Hilda yang merupakan teman sekelasnya sewaktu SMA. "Hei, ceria amat?" "Ah, masak?" Key tak percaya. "Iya. Seperti orang yang sedang jatuh cinta...!" sindirnya sambil membukakan pintu ruangan Key. Kemudian segera memberikan jadwal hari ini. "Beneran?" "Apa?" "Jatuh cinta...?" menaik turunkan alisnya sambil menopang dagu di hadapan Key. "Ah, nggak, apa-an sih!" elaknya. "Oh, iya gue lupa, elo sudah punya pacar. Mana mungkin jatuh cinta? Ya abisnya gue kadang nggak nyadar kalo orang model gitu pacar elo!" sindirnya. "Iya, dan dia sudah ninggalin gue kemarin," jawabnya santai. "Apa? Terus?" Hilda sampai duduk di kursi. "Iya terus..., gue bebas, deh! See I'm happy." Melempar kedua tangan. "Ha?" membelalak, "begini wajah orang habis patah hati?" "Siapa bilang gue patah hati, gue justru baru aja lolos dari musang berbulu kerbau!" "Key..., Beno ninggalin elo, dan elo..." "Yeah!" Key memeriksa kertas-kertas yang menumpuk di hadapannya. "Terus, apa yang bikin elo bahagia? Sumpah, gua nggak pernah liat elo seceria ini, Keysha Amora!" "Banyak," Key menyeringai, menghentikan gerak penanya, "kebebasan, kesendirian, dan... peluang untuk dapat brondong, mungkin," jawabnya setengah bercanda lalu tertawa. "Brondong?" Hilda ikut tertawa. Kemudian merapikan kertas-kertas yang telah ditandatangani Key, dan setelah itu ia beranjak. Di tengah ruangan ia berbalik badan, "oh ya, makan siang di Well's Cafe." "What? Rekomendasi siapa?" Key terkejut, bukan karena tempatnya, tapi karena seseorang yang ada di sana. "Rey. Kayanya tempatnya asyik." Key meninggikan sebelah alisnya, "Aku tau--sangat asyik," katanya sendiri saat Hilda pergi. Key memutar kursi, menggigit pena. Memikirkan kira-kira apa reaksi si dia melihat dirinya dalam 'keadaan' yang berbeda dari kemarin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD