MC - 1

1008 Words
                        Tok tok tok !             Aku reflek balik badan memunggungi pintu begitu mendengar pintu kamarku diketuk dari luar. Tanpa menoleh pun aku tahu, itu pasti Bunda yang lagi-lagi membawakanku makan. “Al, Bunda masuk, ya?” Aku tak menjawab, dan tetap diam ketika pintu dibuka dari luar.   Krek!             Aku mendengar pintu dibuka, lalu ditutup kembali. Detik berikutnya, lampu kamarku yang tadinya temaram diganti dengan lampu utama yang lebih terang. Aku merasakan sebelah ranjangku bergerak, tanda kalau Bunda mulai duduk di sisi ranjang. “Itu Bunda bawain makan. Ada nasi lauk, ada roti, ada buah pisang. Terserah mau makan yang mana, tapi harus makan.” Lagi-lagi, aku tak menyahut. Jangankan makan, untuk sekedar bangun dari tempat tidur saja, aku enggan. Aku hanya pergi dari tempat tidur ketika terpaksa harus ke kamar mandi dan menjalankan kewajibanku sebagai umat beragama.             Aku merasakan Bunda menepuk pelan lenganku, “Jangan terus begini, kasian Vita. Di sana dia pasti ikutan sedih kalau tahu kamu jadi begini. Kamu jarang mau makan, nggak keluar kamar sampai nggak kuliah. Kamu kira, Vita bakal suka lihat kamu kaya gini, Al?”             Mendengar penuturan Bunda, akhirnya aku menurunkan selimutku, kemudian bangun dan besandar di kepala ranjang. “Bunda tahu kamu sangat terpukul, tapi Bunda minta tolong banget, jangan siksa badan kamu dengan nggak makan. Kalau kamu sakit, yang sedih bukan hanya Bunda, tapi Ayah juga kakakmu.”             Bunda benar, memang sama sekali tidak ada gunanya aku sedih berlarut-larut dan menyiksa diri. Tapi serius, bayangan Jo terkapar tak bernyawa plus bersimbah darah membuatku terus mengingatnya. Kenapa dari sekian banyak orang di dunia ini, harus Jo yang mengalami pembunuhan biadap seperti ini? Kenapa? “Oh iya, kamu tahu? Kasusnya ditutup hari ini—“ “Hah?” “Bukan mau polisi, tapi keluarga Vita yang minta. Mereka tidak ingin terus berduka lebih lanjut jika penyelidikan kasus ini diteruskan. Apalagi ibunya, dia bolak-balik jatuh pingsan kalau ingat anaknya dibunuh. Jadi, ayah Vita memutuskan untuk menutup kasus ini dan menganggap Vita pergi dengan baik-baik saja.” Bunda menatapku sendu, lalu meraih tanganku seperti ingin memberi kekuatan.  “Harusnya nggak bisa gitu, Bun! Pelaku harus ditangkap—“ “Itu mau kamu. Maksud Bunda, mereka juga ingin pelaku di tangkap, tapi itu semua prosesnya akan panjang. Dan itu sama sekali tidak baik untuk kesehatan Ibu Vita karena terus-menerus pingsan. Ibu mana yang tak sakit, Al, mengetahui anaknya dibunuh dengan begitu kejam? Meninggal dengan baik-baik saja, butuh waktu lama agar benar-benar ikhlas, apalagi ini?”             Aku kembali terdiam. Benar, aku sangat tahu kalau orang yang paling terpukul di sini adalah Tante Umi,  alias ibu kandung Jo. Ayah kandung Jo meninggal ketika Jo masih SMA, dan ibunya menikah lagi ketika Jo masuk kuliah.             Masih tercetak jelas di ingatanku bagaimana Tante Umi menangis meraung ketika Jo masuk kamar mayat setelah diautopsi. Beliau terlihat lebih sedih dan sakit dari pada ketika suaminya yang dulu meninggal. Aku tahu, Jo adalah satu-satunya keluarga kandung yang Tante Umi miliki. Tante Umi dibesarkan di panti asuhan, jadi beliau bahkan tidak tahu di mana kedua orang tuanya. Meski keluarga suami barunya menerima beliau dengan baik, tapi tetap saja, beliau pasti merasa Jo adalah satu-satunya yang beliau punya di dunia ini.             Dan kini, Jo telah pergi. Meninggalkan kami semua dengan penuh misteri dan banyak sekali tanda tanya. “Bunda tahu kamu terpukul, Bunda tahu kamu sedih, tapi jangan terus seperti ini. Vita nggak akan pernah kembali, jadi cukup kenang dia sebagai salah satu sahabat terbaikmu. Doakan dia, ya?”             Aku mengangguk, dan tanpa sadar air mataku kembali menggenang, namun segera kuusap agar jangan sampai menetes di depan Bunda.  “Kamu makan, ya?” Aku mengangguk lagi, dan itu sukses membuat Bunda tersenyum lebar. Bunda menungguku sampai aku makan beberapa suap, baru beliau pamit keluar dan meninggalkanku sendirian. Setelah Bunda keluar dan menutup pintu, aku kembali meletakkan makanan di nakas. Aku masih belum berselera makan, jadi aku makan hanya agar bunda berhenti mengkhawatirkanku.  “Jo...” tanpa sadar aku menggumam, lalu memejamkan mata sejenak.             Belum sempat aku benar-benar kehilangan kesadaran, tiba-tiba aku merasakan tirai jendela kamarku bergerak cukup kuat. Aku kembali membuka mata dan menatap ke arah jendela. “Jo, kamu di situ?” ***             “Jo... Jo? Jo!”             Aku terbangun dengan napas ngos-ngosan, d**a naik turun, juga keringat dingin yang bercucuran di sekitar pelipis kiri dan kanan.             Mimpi itu lagi. Untuk kesekian kalinya aku bermimpi dengan mimpi yang hampir sama. Lagi dan lagi, Jo datang di mimpiku dan dia tampak meminta tolong padaku berkali-kali. “Jo.. kamu di sini kan? Aku tahu!” Aku bermonolog sambil mengedarkan pandangan di seluruh penjuru kamar.             Sejak satu minggu yang lalu, aku merasakan ada kehadiran seseorang di sampingku, persis sama seperti yang aku rasakan dulu ketika masih kecil. Dulu, aku memiliki kepekaan khusus terhadap mereka yang tak kasat mata, dan aku mulai tak merasakannya ketika aku menginjak kelas dua SMP.             Namun, sejak satu minggu yang lalu, perasaan di mana aku merasa seperti ‘ditemani’ kembali muncul. Aku yakin seratus persen kalau itu, Jo.             Klutak!             Tiba-tiba saja, figura yang ada di nakas jatuh tengkurap. Figura itu adalah fotoku dan Jo ketika kami pergi ke pantai bersama beberapa teman jurusan. “Kamu kan, Jo? Kamu di sini. Iya, kan?” Aku terus bermonolog seperti orang gila. Aku memang tidak bisa melihat Jo, tapi aku sangat bisa merasakan kehadirannya. “Aku janji bakal bantu nemuin pelakunya—“             Klutak!             Kali ini bulpoin di meja belajarku jatuh ke lantai. Aku menoleh, dan tersenyum menatap bulpoin yang menggelinding ke arah pintu masuk kamar.  “Sore itu kita nggak jadi pulang bareng. Kamu yang ingkar janji, aku udah nunggu sampai ditegur Pak Satpam.” Tanpa sadar air mataku menetes, namun buru-buru kuusap dan tersenyum.             Hening. Tidak ada benda jatuh atau suara apapun. Yang kudengar hanyalah embusan angin yang meniup tirai kamar.             Aku melirik jam dinding, ternyata saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga kurang lima menit. Menit yang sama lagi. Lagi dan lagi di jam dan menit yang sama aku terbangun karena mimpi yang kurang lebih sama. “Tenang di sana, Jo...” lirihku pelan, sebelum akhirnya kembali berbaring dan mencoba tidur.  ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD