MC - 2

1081 Words
            Satu bulan berlalu sejak kematian Jo, perlahan aku mulai beraktifitas seperti biasa meski bayang-bayang Jo hampir setiap hari menggangguku dan masih sering menghantui. Sejak aku sering mimpi didatanginya, sampai sekarang aku masih merasakan Jo berada di sampingku, tapi aku sama sekali tak bisa melihatnya. Sampai detik ini, masih tercetak jelas bagaimana wajah pucat Jo ketika aku melihatnya untuk terakhir kali sebelum dikebumikan, dan itu sangat menggangguku. Jo yang malang, harus mengalami pembunuhan tragis di kampus sendiri, dimana dia sering bilang kampus adalah salah satu tempat favoritnya, karena selain tempat untuk menimba ilmu, bisa juga untuk mencari hiburan dengan berkumpul bersama banyak teman. Jo itu orangnya sangat supel. Dia sangat baik hampir ke semua temannya, begitupun sebaliknya. Jadi, kupikir dia sama sekali tidak memiliki musuh. Makanya, sampai saat ini aku belum memiliki praduga siapa si pelaku. “Kuliah sampai jam berapa, Al?” Aku yang baru saja gabung di meja makan, langsung menoleh ke arah Ayah yang saat ini sedang minum teh hangat lengkap dengan tablet di tangan.   “Sampai sore, Yah. Gimana?” “Nggak papa, nanya aja. Langsung pulang, jangan sering main sampai malam. Kesehatanmu itu perlu dijaga.” “Iya, yah. Nanti aku langsung pulang.” Aku melirik Bunda di dapur, dan beliau hanya menatapku sambil tersenyum. Di rumah ini, yang paling tahu aku itu Bunda. Beliau tahu kapan aku tidak ingin diajak bicara, kapan aku butuh sandaran, juga kapan aku sama sekali tak bisa diganggu.             Aku tidak keberatan jika ada yang mengataiku anak mama, meski aku sangat jauh dari konotasi ‘anak mama’ yang biasanya orang-orang artikan. Aku tidak manja, aku bisa survive sendiri, hanya saja sampai kapan pun aku tidak malu dengan julukan itu karena aku bangga sekali memiliki sosok ‘mama’ seperti Bunda. “Bun, aku berangkat dulu...” pamitku begitu ke dapur menghampiri Bunda yang masih membereskan alat-alat memasak. “Iya, hati-hati. Ingat, jangan pulang malam.” Aku mengangguk, lalu menyalami tangan beliau.             Bukan apa-apa, aku tahu sekali kenapa ayah maupun bunda melarangku pulang malam. Beliau berdua pasti sudah tahu kalau kemampuanku yang sempat hilang, perlahan kembali.             Ya, aku memiliki kepekaan khusus pada mereka yang tak kasat mata. Aku tidak melihat mereka, tapi aku dapat merasakan keberadaan mereka. Sejujurnya, kedua orang tuaku tidak ada yang memiliki kemampuan khusus sepertiku, tapi kata Bunda, eyang kakungku dari pihak beliau, dulu pernah memiliki kepekaan terhadap makhluk tak kasat mata sepertiku.             Jadi ya sudah, aku menyimpulkan kalau aku seperti ini mendapat warisan dari eyangku. ***             “Tugasnya bisa kirim via email ya, saya tunggu satu minggu sejak hari ini,” ucap Prof Yahya setelah menyudahi kelas Analisis Fungsional sore itu. “Iya, prof.”             Setelah semuanya keluar, aku masih tinggal sendiri di kelas untuk menyelesaikan tugas untuk besok pagi. Aku tidak begitu suka mengerjakan tugas di rumah, jadi sebisa mungkin aku menyelesaikan semuanya ketika di kampus.             Namun, baru saja aku mulai membuka lembar folio tugas, aku merasakan seseorang duduk di sebelahku. “Aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi, Jo. Keluargamu sudah menutup kasusnya. Aku nggak berhak, kecuali keluargamu membuka kasus itu lagi.” Aku mulai bermonolog.  Klutak!             Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba bulpoin yang tergeletak di ujung meja terjatuh. Selalu seperti ini, Jo akan mulai menerorku dengan hal-hal seperti ini. Aku tidak takut, aku hanya kaget. “Oke, nanti aku tanya lagi ayah sama ibumu.”             Setelah berkemas, aku bergegas keluar dari ruang kelas. Baru saja aku hendak menuruni tangga menuju lantai satu, tiba-tiba ponselku bergetar. Mataku langsung menyipit ketika ada panggilan dari nomor Tante Umi, ibu Jo yang kekeuh ingin menutup kasus. “Hallo tante?” sapaku begitu panggilan terhubung.             Aku terdiam cukup lama, ketika Tante Umi di seberang sana menjelaskan maksud beliau menelfonku. “Siap, tante. Aku ke sana sekarang.” ***             “Masuk, Al...”             Tante Umi memersilahkan aku masuk ke kamar Jo di rumahnya. Aku tertegun cukup lama ketika melihat kamar Jo yang ternyata jauh dari bayanganku. Kamarnya yang serba warna pink benar-benar sangat jauh dari penampilannya yang cenderung tomboy. Tanpa sadar aku tersenyum. Setomboy-tomboynya Jo, ternyata dia memiliki sisi yang begitu feminin, yakni dekorasi kamarnya. Dualitinya benar-benar unik.             Ketika aku berjalan menuju meja besar yang berisi banyak sekali bingkai foto, tiba-tiba Tante Umi menghampiriku dan menyerahkan sebuah buku catatan kecil berwarna coklat, sekaligus ponsel milik Jo. “Ini Al, coba lihat.” Keningku langsung berkerut samar karena belum paham dengan maksud Tante Umi memberiku dua benda itu.   “Apa ini ada hubungannya? Tante awalnya nggak ingin keluarga terus berlarut dengan kematian Jo, tapi setelah melihat ini, tante jadi berpikir sepertinya yang membunuh Jo adalah salah satu orang terdekat.”             Aku segera membuka buku catatan berwarna coklat itu, lalu membandingkan dengan foto yang dikirim dari nomor tak dikenal. Foto itu berisi gambar yang persis sama di buku catatan Jo. Bedanya, di foto itu bukunya masih bersih, sementara buku aslinya saat ini sudah ada percikan darah dan tulisan ‘You Must Die” yang ditulis dengan tinta merah. “Kita lapor polisi, Tan.” “Jangan. Kalau lapor polisi, pasti akan sedikit menimbulkan kegaduhan. Gimana kalau kita selidiki sendiri dulu, baru nanti kalau sudah ada titik temu, kita lapor mereka.”  “Oke, Tante.”               Ketika tante umi pamit keluar sebentar untuk membuatkanku minum, aku kembali mengamati foto dan buku itu. Mataku memicing ketika tiba-tiba melihat ada tiga deretan angka di sebelah tulisan ‘You Must Die’ yang ada di buku.             Satu, dua, tiga, lima, delapan, X.             Tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, X.             Dua, tiga, lima, tujuh, sebelas, X. “X?” tanpa sadar aku menggumam.             Saat itu juga aku langsung mengambil bulpoin dan kertas dari dalam tas, lalu menulis ulang angka-angka itu. Hanya butuh waktu lima detik untukku menemukan jawaban dari huruf X. “X sama dengan Tiga belas?” aku kembali menggumam.             Apa kalian tahu alasan kenapa semua X adalah angka tiga belas?             Jadi begini. Deret pertama, itu jelas deret bilangan fibbonacci. Aku akan coba jelaskan dengan bahasa yang sederhana, yakni bilangan pertama jika dijumlahkan dengan bilangan kedua akan membentuk bilangan ketiga. Bilangan kedua jika dijumlahkan dengan bilangan ketiga akan membentuk bilangan ke empat, dan seterusnya. Jadi jelas kan, X itu pasti tiga belas?             Deret kedua, itu jelas deret yang sangat mudah diketahui, yakini deret bilangan ganjil. Jadi jelas kan, bilangan ganjil setelah angka sebelas itu tiga belas?             Deret ketiga, itu deret bilangan prima, yakni bilangan yang dimulai dari angka dua, dan hanya bisa dibagi satu dan bilangan itu sendiri. Jelas juga kan, X adalah angka tiga belas? Jadi, ada apa dengan angka tiga belas? Kenapa semua X menunjuk angka itu?  ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD