Bab 2: Kepedulian Adik Tingkat

1777 Words
“Mba Salma?” tanya Prof Zach yang membuat Salma kembali sadar. Salma menyadari bahwa dia telah tertidur. Lebih parahnya, dia tertidur di bahu adik tingkatnya. “Eh, maaf Prof,” jawab Salma cepat. Prof Zach hanya melukiskan senyuman tipis. “Ah, ganggu tidur di pangkuan kekasih ya?” goda Prof Zach yang membuat Salma memerah malu. Prof Zach suka mengisengi mahasiswa kalau melihat mereka tertidur. Ada sebuah pepatah di jurusan ini: ‘Lebih baik digebuk tugas dibanding tertangkap tidur oleh Prof Zach’. “Tidak Prof. Mba Salma hanya kelelahan dan sepertinya tidak sadar tertidur,” jawab Hikayat membela Salma. Prof Zach hanya tersenyum. “Cuma tahan banget ya bahu sampean, Mas Hikayat,” komentar Prof Zach dengan senyuman. Hikayat tampak tidak terpengaruh oleh godaan professornya itu. “Saya bisa mencoba kontrol permainan saya dengan satu tangan berkat Mba Salma,” jawab Hikayat santai. Salma menyadari Hikayat memainkan game di ponselnya hanya dengan tangan kirinya. Hikayat menambahkan, “dobel dengan tangan kiri bukan tangan kuat saya.” “Selalu menangkap kesempatan untuk meneliti ya, Hikayat,” komentar Prof Zach yang tersenyum bangga. Hikayat menganggukkan kepalanya. Salma harus akui Hikayat kreatif menyusun responsnya hingga membuat Prof Zach tidak menggoda lebih lanjut. “Yang lain mana?” tanya Prof Zach lagi kepada Salma dan Hikayat. “Masih di jalan. Sebagian kelas Pak Zahari, Prof,” komentar Hikayat. Salma terkesiap mendengar nama Zahari. Kalau dia tidak beruntung, dia tadi bisa bertemu dengan Zahari yang dihindarinya. “Kalian dulu kalau begitu,” balas Prof Zach. Salma mencoba berdiri, tetapi rasanya sakit. Tubuhnya masih tidak kuat. “Sepertinya Mba Salma tidak bisa ke ruangan, Prof Zach,” komentar Hikayat. Salma merasa malu karena adik tingkatnya sekarang menjadi mulutnya. Prof Zach menganggukkan kepalanya. “Mungkin Mas Hikayat bisa bantu angkat beliau ke ruangan saya. Saya perlu monitor ruangan saya untuk menilai skripsi kalian,” komentar Prof Zach santai. Hanya saja, komentar itu jelas ada unsur mengerjai keduanya meskipun alasan itu valid. Hikayat menganggukkan kepalanya. “Kalau Mba Salma tidak keberatan,” balas Hikayat. Salma hanya bisa mengangguk pelan. Wanita itu benar-benar kesulitan bergerak untuk saat ini. Dia malu dengan Hikayat yang dengan santai mengangkat tubuh mungilnya. *** Hikayat memposisikan tubuh mungil Salma di salah satu kursi di ruangan Prof Zach. Hikayat sendiri duduk di kursi yang lain sementara Prof Zach duduk di kursi khusus milik beliau. “Siapa yang mau presentasi duluan?” tanya Prof Zach kepada mereka. Hikayat mengajukan diri untuk presentasi terlebih dahulu seraya menyerahkan lembaran bimbingannya. Salma hanya mendengarkan bagaimana Hikayat yang sebenarnya baru di tahap pra-skripsi sudah mencapai lebih dari 70% di penelitiannya. Selain itu, Prof Zach dan Hikayat sempat beradu argumen terkait data yang dihimpun oleh Hikayat yang berakhir dengan tugas penambahan data. Mereka juga berdebat tentang teori yang digunakan terkait penelitian Hikayat. Yang jelas bagi Salma, penelitian Hikayat melibatkan terlalu banyak elemen yang menyulitkan pria itu sendiri. Saat para mahasiswa membatasi data mereka di angka puluhan, Hikayat mengejar ratusan responden dengan perhitungan Slovin, yang langsung ditegur oleh Prof Zach karena formula itu tidak diakui secara luas. Prof Zach meminta dia menggunakan metode lain. Satu yang ditawarkan oleh beliau adalah metode Krejcie-Morgan yang menambah jumlah sampel Hikayat. Salma benar-benar kesulitan mengikuti diskusi mereka terkait penelitian Hikayat karena dia tidak menggeluti bidang penelitian pria itu. “Itu untuk revisi pertemuan berikutnya, Mas Azhar Hikayat,” ucap Prof Zach dengan intonasi serius seraya menyerahkan lembaran bimbingan kepada Hikayat. Hikayat hanya menganggukkan kepalanya seraya menerima lembaran itu. “Kalau begitu, Mba Salma berikutnya,” komentar Prof Zach. Salma mencoba menyiapkan perlengkapan untuk presentasinya. Hikayat membantu wanita itu karena gerakan Salma masih sangat terbatas. Salma mulai mempresentasikan penelitiannya kepada professornya. Berbeda dengan Hikayat yang banyak membuat argumen, Salma hanya menjawab pertanyaan Prof Zach, dan apabila Prof Zach meminta revisi langsung menyetujuinya tanpa banyak berargumen. “Saya rasa masih banyak yang harus dikejar, Mba Salma. Hanya saja, kalau sampean ingin lulus semester ini, saya sarankan kita kurangi scope dari penelitian sampean,” saran Prof Zach di akhir konsultasi. Salma menganggukkan kepalanya. “Boleh Prof. Saya harus lulus semester ini,” ucap Salma akhirnya. Prof Zach menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu sebagian revisi ini saya coret ya, tetapi diganti memperbaiki bab 1 ya,” jawab Prof Zach. Salma memberikan anggukan kepalanya. Prof Zach menyelesaikan lembaran bimbingan Salma dan menyerahkannya ke wanita itu. Ketukan pintu terdengar di pintu ruangan Prof Zach. “Permisi Prof,” suara mahasiswa terdengar dari balik pintu. “Yang siap bisa masuk. Dua orang dulu,” jawab Prof Zach, “Kalian bisa keluar,” lanjut beliau lebih pelan kepada Hikayat dan Salma. *** Saat Salma dibawa oleh Hikayat keluar ruangan, tampak teman-teman Hikayat kaget dengan Salma yang berpangku ke tubuh Hikayat yang membawanya. “Waduh, Hikayat sudah punya pacar bos.” “Senior lagi.” “Hush! Gak sopan. Itu Prof nungguin loh!” “Ayo masuk dua orang! Jangan lama! Kalau dalam semenit gak ada saya tinggal makan ya!” teriak Prof Zach dari dalam membuat para mahasiswa itu berhenti sejenak menggoda Hikayat dan Salma. Dua orang mahasiswa masuk ke ruang Prof Zach untuk bimbingan. Sisanya terus menggoda Hikayat dan Salma. “Tiba-tiba punya pacar si Hikayat, seram ya.” “Kesemsem kapan Mba?” Salma merasa malu dan akhirnya hanya bisa menutup wajahnya ke pangkuan d**a bidang Hikayat. Di sisi lain, Hikayat hanya menatap datar teman-temannya. “Aku tidak peduli opini kalian. Saat ini, aku sedang membantu orang sakit,” jawab Hikayat datar sebelum membawa Salma keluar dari sekretariat bersamanya. Salma menilai adik tingkatnya itu tidak peduli dengan opini orang-orang sekitarnya. Selama adik tingkatnya menilai bahwa dirinya melakukan hal yang benar, bahkan Prof Zach pun akan didebatnya habis-habisan dengan logika dan nalar. *** Di perjalanan keluar dari sekretariat, mereka bertemu dengan Zahari. Hanya saja, Salma yang menyembunyikan wajahnya ke arah d**a bidang Hikayat membuat Zahari tidak menyadari bahwa Hikayat membawa Salma. “Wah, kamu bawa siapa itu, Dik Hika?” tanya Zahari kepada Hikayat. Salma yang mendengar suara Zahari langsung merasa dingin. Dia tidak ingin menghadapi dosen yang dia goda dan serahkan kehormatannya itu. Salma secara refleks memukul d**a Hikayat. Hikayat yang akan mengatakan nama Salma langsung menangkap sesuatu yang janggal. Reaksi Salma jelas mengisyaratkan ada sesuatu antara seniornya itu dengan dosen di depannya. Hikayat tidak tertarik untuk mengetahui, tetapi jelas Salma tidak ingin diketahui Zahari. “Teman saya, Pak. Kebetulan dia lewat jurusan saya dan gak enak badan, jadi saya bantu bawa dia,” ucap Hikayat. Pria itu tidak berbohong. “Masa teman?” goda Zahari. Hikayat menganggukkan kepalanya. “Benar Pak. Teman saya ini tadi habis di-bully sama rekan angkatan saya, boleh saya bawa keluar dulu dan tenangkan dia?” tanya Hikayat lagi. Zahari sebenarnya ingin mengerjai Hikayat, tetapi mendengar kata bully membuat dia mengurungkan niatnya itu. “Baiklah,” ucap Zahari. Hikayat dan Salma pun berlalu tanpa Zahari menyadari bahwa Hikayat sedang membawa Salma yang dia obrak-abrik tadi malam. *** Hikayat pun membawa Salma keluar dari sekretariat sampai pria itu memastikan bahwa mereka cukup jauh dari Zahari. “Apakah Mba masih belum bisa berjalan?” tanya Hikayat lagi. Salma jujur tidak tahu apakah dia mampu. “Aku tidak tahu,” jawab Salma pelan. Hikayat mencoba menurunkan Salma. Salma mencoba berjalan tetapi dia sadar bahwa dia harus dibantu untuk saat ini. “Lumayan sakit,” keluh Salma. Hikayat menganggukkan kepalanya. “Mba perlu pesan taksi?” tanya Hikayat. Salma tampak memikirkan opsi itu. “Aku gak bisa naik ke apartemen kalau pakai taksi,” jawab Salma jujur. Dia tidak menduga bahwa dia benar-benar hancur oleh dosennya. Ajaib dia berhasil pulang dari hotal, sampai apartemen, dan berangkat ke kampus sebelum benar-benar tak berdaya. “Mba keberatan kalau memakai motor?” tanya Hikayat lagi. Salma menggelengkan kepalanya. “Aku biasa jalan kaki sebenarnya, jadi gak apa,” jawab Salma. Hikayat memapah tubuh Salma dan mereka pun ke parkiran motor jurusan. *** “Ngeri tenan arek iki,” komentar seorang pria yang berjaga di parkiran. Hikayat memutar bola matanya dengan malas. “Nggak sekarang, Mas Salim,” balas Hikayat, “Ini soalnya dia lagi gak bisa jalan,” lanjutnya. Pria bernama Salim itu langsung menggoda Hikayat mendengar respons tersebut. “Kamu apain anak orang sampai gak bisa jalan?” tanya pria itu dengan nada menggoda. Hikayat tidak menjawab dan langsung berjalan ke parkiran. “Emang iki arek siji ora asik,” komentar Salim sedikit kecewa karena Hikayat tidak merespons keisengannya. Salim tampak penasaran karena dia tahu Hikayat tidak pernah membahas wanita sekalipun, tetapi sekarang membawa wanita mungil di tangannya. *** Hikayat membantu Salma memposisikan tubuhnya di motor pria itu. Hikayat kemudian naik ke motor dan menyalakannya dengan starter otomatis. “Mba tinggal dimana?” tanya Hikayat. Salma menyebutkan nama apartemen dan tower mana dia tinggal. Hikayat yang mengetahui lokasi apartemen itu menganggukkan kepalanya. “Kebetulan saya tinggal di sana. Beda tower,” komentar Hikayat. Sebelum Hikayat berangkat menuju apartemen, dia menyadari bahwa Salma belum makan dan menyempatkan diri mampir ke salah satu warung untuk memberikan makanan. Hikayat juga menyadari bahwa seniornya banyak melamun sepanjang perjalanan, hingga dia tidak ingin mengganggu dan membelikan beberapa makanan untuk seniornya itu. *** “Kita sampai, Mba Salma. Untungnya tidak lewat pos polisi. Mba nggak ada helm soalnya,” komentar Hikayat saat mereka tiba. Salma yang sedari tadi melamun langsung tersadar. “Oh? Sudah sampai ya?” ucap Salma yang baru sadar. “Mba memikirkan apa?” tanya Hikayat datar. Pria itu punya kecurigaan dari reaksi Salma saat Zahari menanyakan siapa wanita itu, tetapi dia tidak bisa memaksa Salma berbicara. “Masalah pribadi, Hikayat,” jawab Salma. Salma masih belum yakin seberapa terbuka dia bisa dengan adik tingkat yang menolongnya itu. Hikayat yang memahami memberikan anggukan pengertian kepada pria itu. “Saya mengerti jika Mba tidak ingin berbicara,” balas Hikayat yang kemudian menawarkan bantuan untuk Salma ke unit apartemennya. *** “Terima kasih, Hikayat,” ucap Salma saat pria itu sampai meletakkan tubuh Salma di kasur di unit apartemen Salma. Salma tidak tahu bagaimana Hikayat bisa tenang sekali membawa dirinya sepanjang pagi ini. Di sisi lain, dia tidak ingin iseng merayu Hikayat, baik sengaja maupun tidak sengaja. “Kembali kasih, Mba Salma. Semoga Mba cepat sembuh,” ucap Hikayat. Salma menganggukkan kepalanya. “Oh ya, saya tadi belikan makanan dan letakkan di meja makan Mba Salma,” ucap Hikayat lagi. Salma tampak terkejut. Dia tidak menyadari Hikayat membeli makan. Salma hanya bisa tersenyum tipis. “Makasih banyak dan maaf merepotkan. Aku ganti nanti,” balas Salma. Hikayat menggelengkan kepalanya. “Saya tidak meminta balasan atas pertolongan kepada orang lain,” ucap Hikayat. Salma jujur bingung apakah pria di depannya ini menyukai dirinya, atau hanya terlalu tulus. Pada akhirnya, wanita itu hanya bisa mengucapkan dua kata. “Terima kasih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD