Bertemu Deddy Imran

1641 Words
Meggie meninggalkan kantor Bramasta dengan senyum puas sekaligus kesal karena menyadari bahwa pria itu sudah membuatnya merasakan perasaan lain terhadapnya.       Selama ini Meggie tidak pernah memperhatikan dan terpengaruh dengan penampilan seorang pria. Selama dia menjadi seorang wartawan foto, sudah tidak terhitung sudah berapa banyak model pria yang memiliki tubuh seksi dan kekar serta wajah yang tampan melebihi seorang Bramasta Wijaya.       “Bramasta Wijaya … Kau sudah membuat hariku buruk. Tapi, walaupun aku tidak menyukai mu, aku harus mengabaikannya karena bayaran yang aku terima sangat memuaskan.”       Meggie tertawa keras meskipun suara tawanya hanya dapat di dengan olehnya sendiri.       Mobil Meggie melaju kencang menuju arah timur Kota Jakarta melintasi jalan tol yang lancar pada siang hari. Meninggalkan pusat kota yang semakin ramai dengan semua kegiatan warga kota yang mencari peruntungan di pusat ibu kota Jakarta.       Meggie memutuskan ke daerah Timur Jakarta karena studionya berada di daerah perbatasan antara Jakarta Timur dan Kota Bekasi. Meggie berpendapat wilayah tersebut sangat cocok karena masih memiliki banyak pepohonan sehingga udaranya masih sejuk dengan airnya yang masih menggunakan air tanah.       Mobil Porsche hitam bergerak masuk ke dalam garasi yang tertutup dan terlindung dari sinar matahari yang panas sehingga perbedaan suhu sangat terasa. Dan Meggie sangat menyukai udara dingin yang sejuk setelah seharian berada di luar dan terkena matahari.       Dengan langkah ringan, Meggie menaiki tangga menuju lantai dua tempatnya bekerja karena lantai pertama dia gunakan sebagai ruang studio.       Hari ini Martha asistennya tidak masuk kerja karena dia akan pindah ke rumah barunya sehingga dia harus berkemas.       Dengan membawa sebotol air mineral, Meggie memasuki kantornya dan dia duduk di balik meja besarnya dan duduk bersandar memikirkan mengapa dia begitu kesal saat berhadapan dengan Bram. Sebelumnya dia tidak pernah terpengaruh dengan siapapun dia bekerja.       Tetapi hari ini pendapat dan pandangan Bram terhadap dirinya membuat Meggie seperti tidak berarti apa-apa. Dan dia sangat tidak menyukai sekaligus merasa kesal karena sikap Bram tersebut.       “Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku begitu emosi  saat Bram mengatakan bahwa gaya ku dalam membuat foto terlihat berlebihan. Apakah aku memerlukan pendapat dan penilaiannya. Dia memang seorang pimpinan yang menguasai perdagangan dan juga periklanan. Lalu apa hubungannya denganku?” Meggie memijit dahinya karena perasaan aneh yang dia rasakan terhadap Bram.        Meggie merasa sangat terganggu karena selama ini dia adalah seorang penyendiri. Dia jarang berhubungan dengan pria dalam arti berhubungan secara special. Dia mempunyai teman-teman yang selalu memberikan hiburan. Tetapi dia juga bukanlah wanita yang bisa begitu saja menyia-nyiakan waktu hanya untuk tertawa tanpa tujuan.       Meggie menilai Bramasta Wijaya sebagai sosok yang berbahaya karena dapat mempengaruhi hidupnya yang selalu tenang tetapi menurut kakaknya sangat membosankan. Tetapi Meggie tidak perduli.       Bramasta Wijaya. Pria itu sudah merusak ketenangan yang dia miliki sejak menit mereka pertama bertemu dan entah mengapa Bram  berhasil membuat Meggie tidak tenang walaupun dia selalu berusaha mengabaikan semua pesona yang dipancarkan oleh aura seorang lelaki bernama Bram.       Buat sebagian besar wanita, Bram adalah sosok pria yang memiliki hasrat dan gairah yang sangat besar. Dengan sikapnya yang begitu jantan dan memiliki kekayaan yang sangat besar mejadikan dirinya selalu sukses membuat wanita bertekuk lutut di bawah pesonanya.       “Gila … Bagaimana mungkin dia mempengaruhi diriku sampai aku tidak bisa melakukan apapun. Bram bukanlah siapa-siapa bagiku dan aku tidak akan bertemu dengannya di luar pekerjaan. Jadi aku tidak perlu menghabiskan waktu dengan hanya duduk dan berpikir apa yang sudah terjadi pada diriku,” omel Meggie dengan kasar.       Berusaha untuk tidak memikirkan Bram, Dia mulai mengeluarkan kameranya dan mulai melihat foto di dalammya yang akan dia cetak.       “Meggie sudah berada di dalam ruang lab fotonya dan berusaha mencari ketenangan. Dan dia melihat foto Bram saat dia merekam wajah Bram dengan kameranya tepat saat Bram mengatakan sesuatu yang tujuannya untuk merayu.       Dengan penuh perhatian Meggie mulai mempelajari wajah Bram yang terekam sangat sempurna dan dia melihat lebih banyak dari foto tersebut.       Bram pria yang memiliki tubuh jangkung dan tubuh yang berotot di balik kemejanya sehingga mampu menarik wanita ke arahnya. Hidungnya yang tinggi serta tulang pipinya yang agak menonjol serta bulu mata yang hitam membuat wajahnya terlihat sangat maskulin.       “Mengapa aku terus memikirkan dirinya,” keluhnya.       Meggie bersandar pada sandaran kursi dengan foto Bram yang berada di tangannya. Entah mengapa dia sangat tertarik pada foto tersebut.       Suara telepon membuat Meggie tersentak sekaligus membuatnya mengumpat karena berhasil mengejutkan dirinya secara sempurna.       “Meggie Dirga,” katanya sambil mengangkat telepon.       “Meggie Dirga? Aku Deddy Imran. Bramasta Wijaya mengusulkan agar aku menelepon dan berbicara pada Anda,” kata seorang pria dengan suara yang menyenangkan.       “O?” kata Meggie dengan tercengang. Sangat aneh. Bukankah seorang pelanggan seharusnya menelepon Bram lebih dulu dan biasanya mereka hanya diterima oleh sekretarisnya. Dan setelah itu mereka dapat jawaban apakah Bram akan menerimanya.       “Apa yang bisa aku lakukan buat Anda tuan Imran?” tanyanya ramah.       “Deddy, Anda hanya perlu memanggil ku Deddy, Aku adalah kepala redaktur Cahaya Magazine dan aku mempunyai usul yang mungkin akan Anda minati.”       “Aku harus minta maaf untuk mengabaikannya. Saat ini aku sudah sangat sibuk hingga ke ujung rambutku dan sama sekali tidak bisa menerima tawaran pekerjaan yang lain,” jawab Meggie menolak apapun yang ditawarkan oleh Deddy.       “Bagaimana kalau Anda mendengarkannya terlebih dahulu,” katanya. “Aku jamin akan sangat bermanfaat,” katanya dengan yakin.       “Dan bagaimana usul yang bermanfaat itu?” tanya Meggie hati-hati.       “Cahaya Magazine ingin sekali Anda memberikan artikel, foto-foto serta copy. Artikel tersebut  harus merupakan sosok dari profile seorang tokoh yang sangat berpengaruh, tertutup tetapi sangat dinamis. Kami sudah beberapa kali mencoba untuk mewawancarai tetapi wartawan kami tidak ada yang berhasil karena dia selalu menolak. Kami akan menerima harga yang Anda minta asalkan masih dalam batas yang wajar.”       “Dan … Siapa tokoh yang tidak mau diwawancarai?” tanya Meggie sleptis. Meggie benar-benar tidak tertarik dengan artikel yang di tawarkan. Apalagi harus berbicara dengan tokoh yang tidak mau bekerja sama.       “Sebaiknya aku membicarakannya secara pribadi kalau Anda tidak keberatan. Apakah Anda sudah makan siang?”       “Belum. Tetapi aku sangat sibuk sekarang dan aku harus mengatakan permintaan maaf karena aku tidak bisa melakukannya,” jawab Meggie tegas.       “Aku juga sangat sibuk. Tetapi aku harap Anda mendengarkan dulu. Dia sudah mengikat tanganku dengan begitu kuat sehingga aku tidak bisa melakukan apapun. Aku yakin kau mengerti bila seorang pemilik dari sebuah penerbitan sudah menginginkan sesuatu,” desak Deddy dengan putus asa. “Aku akan sangat menghargai kalau Anda bersedia mendengarkan penjelasanku. Anda mau bukan makan siang denganku?”       “Baiklah,” jawab Meggie setelah diam beberapa saat. “Aku harus membawa beberapa benda yang akan aku bawa ke lab industrial. Dan kita bisa bertemu di salah satu restoran barbecque yang berada di tengah kompleks. Apakah Anda mengetahui tempatnya?” tanya Meggie.       “Aku tahu. Dan kita akan bertemu sejam lagi. Apakah cukup?”       “Dua jam. Aku baru bisa menemui dirimu. Dan bagaimana aku akan mengenali Anda?” tanya Meggie.       “Aku akan membawa kamera yang akan aku letakkan di meja,” sahutnya dengan suara yakin.       Meggie tidak tahu apakah dia harus percaya atau tidak dengan ucapan pria yang bernama Deddy Imran.       “Aku harap dia tidak sekedar membual saja dengan menjanjikan bayaran yang cukup tinggi dan jujur harus aku akui yang membuatku tertarik dan bersedia menemuinya adalah harga yang dia tawarkan,” Karen tertawa dengan pikiran yang menyapa dirinya. “Manusia mana yang tidak menyukainya. Seorang yang sudah memiliki kekayaan yang sangat besar saja masih menginginkan lebih.”       Meggie telah menyerahkan beberapa film ke lab insustrial dan dia segera membawa mobilnya menuju restoran yang sudah dia sebutkan pada Deddy sebagai tempat pertemuan mereka.       Bau kayu yang terbakar serta dahing yang terbakar membuat perutnya yang lapar bernyanyi. Setelah memarkirkan mobilnya di sudut parkiran, Meggie berjalan ke arah restoran dan melihat seorang pria yang lebih tua darinya duduk di salah satu kursi dan di atas meja terlihat sebuah kamera.       “Deddy Imran?” sapa Meggie pada pria yang sedang duduk mengamati pengunjung yang datang.       Pria itu tersenyum hangat dan berdiri kemudian mengulurkan tangannya ke arah Meggie dan gadis itu menyambutnya hangat.       “Senang sekali dapat berkenalan dengan Anda. Aku sudah banyak mendengar tentang Anda dan terus terang aku ingin sekali merekrut Anda sebagai wartawan kami. Tetapi aku tidak yakin kalau Anda akan menerima tawaran dari kami. Bagaimana pun kami yakin Anda adalah seorang wartawan yang sangat mampu dan hasil foto Anda selalu di minati.”       Deddy berbicara seperti tidak memiliki rem sehingga Meggie terlihat beberapa kali mengerutkan dahinya.       Aku minta maaf kalau bicaraku sudah membuat Anda terganggu. Terus terang aku sangat khawatir kalau Anda membatalkan pertemuan ini,” katanya buru-buru sebelum Meggie menyelanya.       “Anda tidak perlu minta maaf Deddy. Seperti yang aku katakana tadi bahwa aku memerlukan waktu 2 jam sebelum aku datang ke sini. Dan asal Anda tahu, perutku ini sudah sangat kelaparan sehingga aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan saat ada orang yang mentraktirku makan,” jawab Meggie secara sengaja.       Meggie duduk di kursi yang berada di depan Deddy dan mereka dipisahkan oleh meja sehingga mereka bisa saling bertatapan muka ketika berbicara.       Deddy memperhatikan Meggie yang makan dengan lahap. Tidak perduli dengan Deddy yang hanya memesan porsi kecil sangat jauh dengan porsi yang di pesan oleh Meggie.       “Bagaimana mungkin Anda masih bisa seramping itu?” tanya Deddy heran.       “Barangkali aku salah satu wanita yang beruntung. Dan bisa jadi karena aku seringkali tidak mempunyai waktu luang untuk beristirahat dan aku selalu bekerja di luar sehingga lemak tidak memiliki kesempatan untuk bersantai di tubuhku,” jawab Meggie membuat Deddy tertawa.       “Aku kira kau harus merasa iri dengan keberuntunganmu. Dengan porsi sekecil ini aku harus berlari sepanjang 3 kilometer untuk mengurangi sedikit makanan yang sudah berhasil aku nikmati,” keluhnya tidak rela.       Setelah selesai menikmati hidangan, Deddy mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkan pada Meggie. Dan wanita itu menolaknya.       “Aku rasa tidak masuk akal seorang yang bekerja di bidang grafis tidak merokok,” ucap Deddy dengan wajah heran.       “Aku rasa untuk sebagian orang sangat tidak masuk akal. Tetapi aku memang sangat tidak menyukainya,” jawab Meggie sambil meminum air mineral yang berada di dalam botol.       “Apakah Anda sesehat itu?” tanya Deddy dengan pandangan yang diarahkan pada botol minuman yang dipegang oleh Meggie.       “Aku menyukai air putih dan aku yakin air putih lebih menyehatkan walaupun di beberapa makanan, aku lebih memilih air jeruk,” katanya menanggapi pertanyaan Deddy.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD