2. Hendra

1135 Words
“Sayang, mas berangkat dulu ya.” Hendra mengikat jam tangannya. “Iya mas. Hati-hati ya.” Putri mencium tangan suaminya. “De, papah berangkat dulu. Papah mau cari uang buat dede dan mamah. Dede temani mamah ya di rumah.” Hendra mengelus perut buncit istrinya, kemudian menciumnya lalu mencium kening istrinya. “Kamu hati-hati di rumah ya. Jangan lupa kunci pintu. Pokoknya kalau udah mulai kerasa langsung telepon mas dan ingat, jangan mengerjakan apa-apa yang berat di rumah. Biar si mbak aja.” “Iya mas.” “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Hendra menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah. Putri melangkah ke halaman. Ia mengambil selang air yang tergantung di leher keran, kemudian menyiram tanaman yang tumbuh subur di situ. Hari yang cerah. Pagi yang cerah. Kondisi kehamilan Putri yang tinggal menunggu hari-hari kelahiran menjadikan suaminya over protektif. Hendra melarang istrinya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang walau sedikit dan ringan. Hendra khawatir bila istrinya terlalu capek, padahal tidak. Putri senang dengan penjagaan yang diberikan sang suami. Ia mengerti jika itu merupakan wujud dari rasa cemas sekaligus kasih sayang yang tiada tara. Putri bahagia bisa bersuamikan Hendra dan kebahagiaannya itu bertambah dengan kehamilan pertamanya itu. Bunga-bunga bermekaran setiap hari, layaknya hati Putri yang selalu mengembang bahagia. Ia tak pernah dirundung kesedihan selama mengarungi biduk rumah tangga bersama Hendra. Ia berharap akan begitu seterusnya, selamanya. Selama masa kehamilan, Putri banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. Buku-buku seputar pendidikan anak. Bagaimana melewati trimester kehamilan, mengajarkan anak meskipun masih di dalam kandungan, mendidik anak kelak, dan lain sebagainya seputar dunia anak. Hendra yang tak begitu menyukai membaca buku bukanlah menjadi penghalang hadirnya cinta yang setiap waktu datang di antara mereka. Sesekali Hendra menemani sang istri ke toko buku, berbelanja sangat banyak. Berselang beberapa bulan atau bahkan hanya terhitung minggu, Putri kembali memintanya untuk menemani ke toko buku, berbelanja. Tak habis-habisnya ia membeli buku. Tak ada puas-puasnya ia membeli buku. Kesukaannya dalam hal membaca memang sudah terpupuk sejak kecil. Putri senang membaca beragam jenis buku, terkecuali sains. Ia sempat menyesal, mengapa dahulu mengikuti keinginan ibunya yang berharap besar sang anak masuk jurusan IPA. Kata orang, jurusan IPA itu dikenal dengan siswanya yang pintar-pintar dan kelak bisa membawa pembelajarnya melanjutkan kuliah dan bekerja ke mana saja. Apa iya? Putri sempat membenak. Ia merenung. Ia ikuti permintaan ibunya yang justru tak sesuai dengan pilihan hati kecilnya. Hasil tes memang mengarahkan Putri untuk mendalami jurusan IPA, karena ia dinyatakan mampu, namun hatinya justru bertolak belakang. Ia lebih senang mengikuti pelajaran sejarah dan pelajaran lainnya yang ada pada jurusan IPS. Hatinya menolak, namun keputusannya tak bisa mengikuti. Itu terbentur dengan keinginan orang tua. Putri menurut. Ia menjatuhkan pilihan pada jurusan ilmu pengetahuan alam yang tidak ia cintai. Dalam hatinya berharap agar ia dimampukan menjalani dan melewatinya. Putri tak mau menjadi pembangkang. Ia ingin selalu membahagiakan kedua orang tuanya. Masa-masa SMA telah terlampaui dan saatnya Putri menjejaki pendidikan formal yang lebih tinggi. Ia bakal kuliah. Masuk jurusan yang semestinya linier dengan jurusan yang pernah ia ambil semasa SMA dulu. Namun hatinya begitu teguh untuk mengambil jalan yang berbelok. Ia menjatuhkan pilihan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia tak mau kembali keliru dalam mengambil jurusan yang tak sesuai dengan minatnya, sama seperti pengalaman yang dulu pernah dialaminya semasa SMA dahulu. Kali ini pilihan ada di tangannya. Ia sudah dewasa dan sudah bisa menentukan mana yang terbaik untuk dijalani oleh dirinya. Apapun risikonya bakal ia tanggung. Apapun rintangannya bakal ia hadapi. Baiklah, kedua orang Putri mulai menaruh harapan besar terhadap anak semata wayangnya itu. Mereka ingin agar anaknya kelak bisa bekerja di tempat terbaik, namun takdir berkata lain. Putri memilih untuk mengakhiri masa lajangnya bersama pria yang berbeda jurusan dengannya. Hendra, salah satu mahasiswa paling dikenal di kampus lantaran ketampanannya yang mampu meluluhlantakan hati kaum hawa menjatuhkan pilihan kepada Putri sebagai wanita pinangannya. Hendra yang merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara nyaris lebih sempurna dibandingkan kedua kakak lelakinya. Kedua orang tua Hendra yang memiliki background wirausaha menjadikan dirinya sebagai salah satu penerus usaha mereka. Selepas Putri dan Hendra berhasil menuntaskan tugas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, mereka segera melangsungkan pernikahan. Tak lama-lama, tak menunda-nunda. Hendra dengan gelar sarjananya tak perlu bersusah payah mencari pekerjaan, karena ladang usaha yang dimiliki kedua orang tuanya di dalam kota sangatlah banyak. Ia tinggal memilih bakal memegang kantor yang mana. Semenjak masih sekolah sampai dengan kuliah, Hendra tak hentinya mengikuti arah perjalanan sang ayah dan ibunda ke manapun mereka pergi. Hendra selalu membantu pekerjaan mereka, menemani kedua orang tuanya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain guna memantau bisnis mereka. Hendra sudah tak perlu lagi belajar. Ia tahu betul apa yang mesti dikerjakan di tempat usaha-usaha yang dibangun kedua orang tuanya. Ia paham betul bagaimana menyelesaikan persoalan yang mendera. Ia belajar semua itu secara otodidak dari kedua orang tuanya, melalui melihat, mendengar, dan terjun langsung. Orang tuanya mempercayakan usaha rumah makan mereka kepada Hendra. Meski Hendra hanya memegang satu dari banyaknya usaha yang dimiliki kedua orang tuanya, namun pundi-pundi selalu mengalir dari sana. Bagaimana tidak, Rumah Makan Estafet telah bercabang di mana-mana. Hanya dalam satu kota terdapat lima tempat yang tersebar di beberapa lokasi, bahkan dalam satu kecamatan saja ada yang sampai berjumlah dua. Hal ini dikarenakan banyaknya pengunjung yang berdatangan hampir setiap hari. Berdesak-desakan, sehingga kedua orang tua Hendra sepakat untuk menambah cabang di tempat lain. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan, karena pasalnya di Kota Cirebon hanya ada satu rumah makan yang mampu mendirikan banyak cabang, selainnya hanya terbatas pada jumlah dua atau tiga. Bagaimana Hendra tak dikenal oleh seluruh mahasiswa di kampus. Selain ketampanan yang dimiliki, ia juga anak pengusaha. Semua lidah membicarakan dirinya. Ia pergi ke kantin, beberapa mahasiswi menyapanya, berusaha mencari perhatian, kemudian membicarakan dirinya. Berpindah ke perpustakaan, ah sama saja. Penjaga perpustakaan sendiri bahkan secara terang-terang memuji masakan Rumah Makan Estafet. Katanya, ia dan istri ketagihan. Semua mata tertuju pada Hendra. Ia menjadi sosok lelaki yang dielu-elukan banyak wanita di kampus. Namun kesetiaan cintanya hanya teruntuk Putri seorang. Ia tak peduli dengan perempuan-perempuan di luar sana yang sekali dua kali merayunya. Ia tak peduli dengan dia dan dia yang secara terang-terangan menembak Hendra. Mereka tahu, jika Hendra sudah memiliki kekasih hati, namun mereka tak mau peduli. Bisa saja Hendra berubah pikiran. Bisa saja tiba-tiba Hendra memutuskan Putri karena perasaannya telah berbalik kepada salah satu di antara mereka. Bisa saja kan itu terjadi? Siapa yang tahu? Siapa yang bisa menyangka? Perempuan-perempuan itu tak ubahnya mendekati Hendra, namun Hendra tetaplah bergeming. Mengacuhkan. Hatinya mantap kepada Putri. Hingga akhirnya Hendra benar-benar meminang Putri. Menjadikan siapapun wanita yang masih gencar mendekati perlahan mundur teratur. Mereka berubah haluan. Mencari lelaki lain. Putri bahagia. Masa-masa pacaran yang terlewati tanpa aral merintang yang begitu menggangu. Satu sama lain memendam keyakinan yang teramat kuat akan cinta yang tertanam. Mereka percaya jika masing-masing ialah sosok yang setia. Putri setia, pun dengan Hendra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD