01 - Penolakan
“Aku nggak mau!”
Suara itu terdengar keras. Seorang gadis muda dengan rambut sepunggung terlihat tengah beradu argumen dengan seorang wanita baya yang juga merupakan ibunya.
“Tapi mau sampai kapan? Kamu sudah 26, sudah tua. Ibu malu jadi omongan tetangga,” sang ibu menyahut.
“Tapi Ranti ngerasa nggak cocok, bu. Udah Ranti coba buat ngobrol, tapi emang nggak cocok.”
“Masalah cocok nggak cocok itu bisa diatur. Yang penting kamu nikah dulu, setahun dua tahun habis itu cerai juga nggak papa. Yang penting kamu nggak jadi omongan orang, ibu yang malu.”
Gadis itu terperangah, tidak menyangka jika ucapan tersebut bisa keluar dari bibir sang ibu dengan begitu lancarnya.
“Bu, tujuan aku menikah bukan buat cerai. Kalau cuma itu tujuan menikah, nggak usah nikah saja sekalian.”
“Apa yang aku pikirkan itu bukan cuma perihal menikah saja. Tapi kehidupan setelah pernikahan itu sendiri, itu yang lebih penting. Sekarang kalau aku ngikutin apa kata ibu, menikah sama orang yang bahkan pekerjaanya aja nggak jelas, mau jadi apa aku, anak-anakku nanti? Apalagi biaya pendidikan sekarang begitu mahal, aku…”
“Dia nanti pasti mau kerja kok, orang kalau udah kepepet pasti mau kerja,” sambar sang ayah yang sejak tadi hanya duduk diam menyimak.
Ranti menarik napas panjang, ia hanya bisa membatin jika saat muda saja enggan untuk bekerja, apalagi nantinya? Ranti tidak bisa membayangkan hal itu.
“Lagipula, dulu ibu nikah sama ayah kamu juga pas masih jaman susah. Tapi lihat sekarang, kamu dan dua kakakmu bisa sekolah, bisa makan juga ‘kan. Udahlah, jangan terlalu banyak palah-pilih. Kamu sudah gede, sudah seharusnya kamu menikah.”
Genggaman tangan Ranti mengerat hingga buku-buku jarinya memutih, ia benar-benar marah namun ia tidak bisa mengatakan hal tersebut.
Ia tidak ingin membuat pertikaian yang lebih besar lagi, lagipun setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan dianggap angin lalu oleh sang ibu.
“Aku tetap nggak mau. Terserah apa kata orang di luaran sana, ini hidupku. Aku yang menentukan ke mana aku mau melangkah, aku….”
“Kamu itu terlalu pemilih! Lihat di luaran sana, temen seumuran bahkan di bawah kamu sudah pada gendong anak! Kamu? Mau sampai kapan melajang? Ibu cuma nggak mau kamu sendirian, kamu pusing nyari uang sendirian.”
Hela napas panjang keluar dari sela bibir Ranti, gadis itu mendongak, berusaha menahan air mata yang sudah siap tumpah kapan saja.
“Bu, Ranti bukan barang. Ranti nggak mau asal menikah dengan siapapun cuma demi nutup mulut tetangga yang bahkan nggak bakalan bisa ketutup. Ranti nggak mau pernikahan main-main, Ranti cuma pengen nikah sekali seumur hidup.”
“Terserah Ibu mau marah atau bagaimana. Intinya keputusan Ranti bulat. Ranti nggak mau nikah sama dia, nggak!”
Setelah mengatakan hal tersebut, Ranti memilih beranjak masuk ke dalam kamar. Ia menutup kedua telinganya menggunakan bantal begitu suara omelan sang ibu mulai terdengar.
Hatinya sakit, perih bukan main saat ini. Dan keputusannya untuk diam dan pergi hanya agar ia tidak semakin merasa tersakiti bahkan oleh kata-katanya sendiri.
***
Beberapa hari berlalu dengan canggung. Tidak banyak obrolan yang terjadi setelah itu. Seperti biasanya, saat sang ibu tengah berselisih paham dengan salah satu anaknya, ia akan dengan segera menempel pada anak lainnya dan membicarakan si ‘anak bermasalah’ tanpa merasa bersalah.
Ranti enggan untuk ambil pusing. Ia sudah terlalu terbiasa dengan kondisi ini, ia sudah khatam dengan perilaku sang ibu juga keluarganya.
“Ranti.”
Gadis itu mendongak sebentar dan kembali fokus ke layar ponsel yang ada di genggamannya. Ia sedang bekerja freelance sebagai seorang penulis plaftrom online.
“Ibu mau ngomong,” ucap sang wanita baya.
Ranti hanya bisa menghela napas. Ia meletakkan ponselnya, melipat tangan di atas perut, bersiap mendengarkan.
“Sebenarnya apa yang bikin kamu nolak dia?”
Hal ini lagi…. Ranti membatin.
“Kemarin kan sudah Ranti bilang. Kita nggak cocok, udah dicoba buat ngobrol tapi emang nggak cocok. Lagipula pekerjaan dia nggak jelas, Ranti nggak bisa sama orang seperti itu,” balasnya lirih.
“Terus kamu cari yang seperti apa? Pegawai? Kita itu orang susah, tinggal di kampung. Nggak usah banyak pilih-pilih, umur kamu juga udah bukan lagi remaja, ibu sama bapak juga semakin tua. Kami cuma nggak mau kamu kerepotan sendirian setelah kami tiada nantinya.”
Ranti diam. Ia tahu maksud kedua orang tuanya baik, hanya saja ia memang tidak bisa menerima orang yang hendak dijodohkan dengannya itu.
Bukannya matrealistis. Ranti hanya berpikir realistis. Ia tidak bisa hidup bersama seseorang yang bahkan enggan untuk berjuang demi dirinya sendiri, lantas apa ia mau berjuang demi Ranti dan anak mereka kelak?
Ranti hanya tidak ingin anak-anaknya kelak bernasib seperti dirinya. Ia memang tidak kekurangan. Ia masih bisa makan setiap harinya, menempuh pendidikan meski hanya sampai jenjang SMP, Ranti bersyukur dan amat berterimakasih dengan hal itu.
Hanya saja Ranti tidak ingin anak-anaknya harus merasakan diejek karena tidak mampu membeli sesuatu yang layak, menahan keinginan membeli sesuatu hanya karena tidak mau membebankan orang tua, juga merelakan untuk tidak membeli sesuatu yang mereka inginkan demi bisa membantu keluarga.
Intinya, Ranti tidak ingin anak-anaknya kesulitan di masa depan. Ia hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya di masa depan. Dan salah satu cara mewujudkannya adalah dengn memilih ayah yang tepat untuk mereka.
“Tapi Ranti memang merasa nggak cocok, bu. Ranti nggak bisa. Lagipula …..”
Ia menahan ucapannya di kerongkongan. Otaknya semakin ramai dan ia harus segera mengambil keputusan.
“Lagipula, Ranti lagi deket sama seseorang. Namanya Malik.”
Pada akhirnya kebohongan itu terucap. Ranti hanya berpikir setidaknya hal ini bisa menghentikan sebentar tuntutan orang tuanya agar ia segera menikah.
“Malik?”
“Ya. Kami baru saja dekat kisaran seminggu, aku ingin mencoba mengenalnya dulu.”
“Kenapa tidak suruh dia datang ke rumah? Tanyakan apa dia serius? Atur tanggalnya juga, lebih cepat lebih baik.”
Oh, sepertinya hal ini di luar dugaan.
Dengan cepat Ranti memutar otak, ia harus sigap menyusun cerita atau setidaknya rencana tambahan di situasi saat ini. Dan bersyukurlah ia bekerja sebagai seorang penulis, membuatnya tidak terlalu sulit untuk mengarang sedikit cerita secara spontan.
“Bu, kami baru kenal seminggu. Masih dalam proses, nggak bisa secepat itu juga.”
“Kenapa? Ibu cuma mau kenal.”
Ranti menghela napas, ia tahu maksud ibunya yang sebenarnya. Ia sudah paham jika putrinya membawa seorang lelaki datang ke rumah, itu sama saja dengan datang melamar.
Dan di situasi sekarang, sosok Malik yang diceritakan Ranti hanyalah sosok fiksi sesaat yang kehadirannya saja bahkan tidak pernah ada di muka bumi.
Apa yang harus dilakukannya sekarang?