CHAPTER EMPAT

2743 Words
Nesya dan Erin menjadi salah satu mahasiswa yang menempati meja di kantin kampus mereka. Seorang gadis yang merupakan teman satu fakultas, ikut duduk bersama mereka, Nitya namanya.  Ketiganya tengah asyik mengobrol. Membicarakan banyak hal, semua hal dibahas sampai ke topik film yang sedang booming saat ini pun ikut diperbincangkan ketiganya.  Mengabaikan piring-piring kotor bekas makan mereka yang masih tercecer di atas meja dan belum sempat dibersihkan oleh penjualnya, ketiganya kini tengah asyik melihat aplikasi Dreame di ponsel Nitya.  “Serius, gue seneng banget sama aplikasi novel yang satu ini. Banyak banget novel yang ceritanya bagus-bagus ampe gue ketagihan bacanya,” ujar Nitya menggebu-gebu, dia pun memperlihatkan salah satu penulis favoritnya di aplikasi Dreame tersebut.  “Ini nih author yang gue suka cerita-ceritanya.”  Satu alis Nesya terangkat naik, dia merasa tahu dengan author yang ditunjukan Nitya, sebab dirinya juga memang gemar membaca di saat senggang. Dan novel Dreame yang menjadi pilihan utamanya.  “Gue juga nge-follow tuh author,” balas Nesya, sembari ikut memperlihatkan ponselnya. Dia membuka aplikasi Dreame dan memperlihatkan nama author yang sama tertera di daftar akun-akun yang dia follow.  Erin menjadi satu-satunya orang yang terdiam, memilih menyedot es kelapa muda dalam gelas dengan sedotan. Berbeda dengan kedua temannya, dia memang tak terlalu hobby membaca novel. Kecuali menonton film, gadis ini jagonya. Dia nyaris hafal judul-judul film dengan berbagai genre karena hidupnya tak bisa lepas dari yang namanya menonton film.  Ketiga gadis ini memang jomblo-jomblo bahagia karenanya urusan pria nyaris tak pernah mereka bahas saat berkumpul. Membahas novel, film atau sekadar menggosipkan artis lebih menarik minta mereka.  Padahal jika ditilik dari penampilan, ketiga gadis ini tidak bisa dikatakan jelek. Justru menarik dan cukup cantik.  Nesya bisa dikatakan paling cantik di antara mereka. Memiliki bola mata besar dengan irisnya yang hitam pekat senada dengan warna rambutnya. Bulu mata yang lentik serta bibir tipis namun ranum dan menggoda. Hidungnya mancung karena dalam silsilah keluarganya mengalir darah keturunan Arab. Rambutnya cukup panjang, melebihi bahu meski tak sepanjang dulu karena saat SMA, Nesya senang memanjangkan rambutnya hingga mencapai punggung, mencapai pinggul juga pernah.  Wajahnya mulus tanpa ada satu pun jerawat di sana. Jika kalian ingin tahu bagaimana rahasia agar wajah tidak jerawatan, silakan tanyakan pada gadis cantik tokoh utama cerita ini. Itu pun jika dia tidak pelit berbagi. Hahaha ... OK, abaikan bagian ini.  Tubuhnya ramping dan berisi di beberapa bagian penting seperti d**a dan b****g. Kulitnya putih bersih dengan kaki jenjang yang menggiurkan. Terlebih jika dia mengenakan celana jeans ketat, sungguh penampilannya sukses membuat para pemuda meneguk ludah.  Erin juga tidak jelek-jelek amat. Dia memiliki wajah yang tirus berbentuk oval. Matanya sedikit sipit karena ada darah Tionghoa yang mengalir dalam tubuhnya. Kulitnya sudah jelas putih bersih. Hidungnya tak semancung Nesya, tapi tidak bisa dikatakan pesek karena hidungnya cukup membentuk sempurna, cukup mancung mungkin lebih tepatnya.  Bibirnya tebal dengan deretan giginya yang rapi serta putih bersih. Gadis ini memiliki senyuman yang menawan, berbanding terbalik jika sedang marah karena dia akan mengamuk layaknya gorila di kebun binatang, senang melempar benda di sekelilingnya.  Rambut Erin pendek, hanya mencapai tengkuk. Kendati demikian, dia tidak tomboi justru manja karena kemana-mana harus ditemani kakak laki-lakinya. Dibandingkan tubuh Nesya yang memiliki tinggi sekitar 165 cm, Erin bisa dikatakan sedikit pendek. Tingginya hanya mencapai 157 cm.  Beralih pada Nitya, dia juga gadis jomblo yang bahagia. Tidak pernah memikirkan kesendiriannya karena hari-harinya selalu dipenuhi pria-pria macho nan ganteng, ditemani tokoh-tokoh khayalan dalam cerita novel yang dia baca lebih tepatnya. Hahaha ... intinya Nitya ini jomblo sampai sekarang bukan karena wajahnya tidak menarik perhatian lawan jenis, melainkan karena dia terlalu perfeksionis. Berambisi memiliki pacar seperti tokoh-tokoh di cerita novel yang dia baca. Pria itu harus tampan, mapan dan lebih dewasa darinya. OK ... Nitya ini salah satu korban readers yang senang membaca kisah-kisah CEO kece.  Rasanya sosok Nitya ini tidak perlu digambarkan dengan jelas karena dirinya hanya tokoh sampingan yang kemunculannya bisa dihitung dengan jari. Yang pasti dia lumayan cantik, Titik ... tidak ada koma-komaan.  “ Uwoow ... berarti penulis favorit kita sama dong ya!” pekik Nitya girang. Nesya mengangguk setuju.  “Cerita mana yang lo suka, karya si author ini?” Nitya kembali bertanya. “Itu loh kisah petualangan empat orang pembasmi hantu, hmm ... apa ya judulnya gue lupa? Yang baru dipublish seri terakhirnya.” “Oh gue tahu, team seven maksud lo?”  Nah, sekarang terbongkar sudah author mana yang sedang mereka bicarakan. Nesya mengangguk antusias disertai dua jempolnya yang terangkat, tebakan Nitya benar.  “Gue juga suka cerita team seven. Tapi gue lebih suka yang judulnya The Mystery of Ernesto resort.” “Kenapa emangnya?’ tanya Nesya, penasaran. “Lebih serem sama sadis aja ceritanya. Gue kan suka cerita-cerita serem nan sadis. Nih author kayaknya psikopat ya soalnya suka bikin cerita-cerita sadis yang berdarah-darah.”  Nesya terkekeh geli, “Nggaklah, mungkin dia hobby aja kali bikin readers-nya jantungan makanya bikin cerita sadis-sadis.” Nesya membela sang author, oh haruskah saya mengucapkan terima kasih pada gadis manis ini?  “Dia juga sering bikin cerita-cerita genre romance kok. Kayak It’s OK, I Remember yang temanya tentang pernikahan kontrak gitu. Gue suka tuh baca cerita dia yang itu.”  Nitya mencibir, “Ck, gue gak baca cerita dia yang itu soalnya enek kalau ngebahas perjodohan ampe pernikahan kontrak serasa baca kisah Siti Nurbaya aja. Gue sukanya cerita yang humor-humor, itu loh kayak cerita baru dia yang judulnya My Dog is A Crown Prince. Kayaknya bakalan lucu tuh cerita.” Nitya berucap dengan menggebu-gebu.  “Gue juga suka cerita dia tentang siluman, terutama yang Story of Snake Queen. Gilaa ... keren ya tokoh ceweknya dari lemah jadi strong gitu. Nunjukin kalau cewek itu sebenarnya gak lemah kalau cara ngegunain otaknya bener.”  Erin memutar bola mata bosan, kenapa pula pembahasan tentang novel Dreame ini tidak habis-habis?  “Udah dong ngomongin novelnya, gue nggak ngerti nih,” ucap Erin, menginterupsi. Cukup sudah dia menjadi pendengar yang baik. “Salah sendiri kenapa gak ikutan nimbrung, iya gak, Nes?” Nesya terkekeh sedangkan Erin hanya mendengus mendengar cibiran Nitya. “Emangnya kalau nggak suka baca novel harus dipaksa jadi suka ya?” “Ya, kalau lo pengin nyambung ngobrol sama kita,” sahut Nitya sembari mengangkat kedua bahunya. “Harusnya lo coba deh baca novel juga, satu cerita aja. Gue yakin lo juga bakalan ketagihan, Rin.” “Udah pernah gue coba, tapi tetep nggak ngaruh tuh. Yang ada kepala gue jadi puyeng. Emang dasarnya gue kurang suka baca.” “Nah, makanya ini hobi baca anak muda zaman sekarang emang kurang banget, kalau dibandingin di luar negeri yang remajanya pada gemar baca. Sayang banget ya, padahal banyak bacaan gratis sekarang. Bener gak, Nes?” Nesya mengangkat ibu jarinya disertai senyuman lebar untuk menanggapi ucapan Nitya. Dia sepemikiran dengan gadis itu.  “Daripada ngomongin novel terus, gue lebih tertarik ngomongin soal berita yang lagi viral sekarang. Itu lho tentang berita kematian aktor Black Panther, Chadwick Boseman ya namanya?” Erin berujar dengan semangat. Jika sudah membicarakan tentang film maupun aktornya, dia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi menggebu-gebu.  “Iya, katanya meninggal karena kanker ya? Semua orang kaget soalnya selama ini nggak ada pengumuman yang ngebahas penyakitnya.” Nesya ikut menimpali. “Tapi acting dia emang keren sih, gue salah satu penggemarnya,” Erin memasang raut sendu seolah ikut sedih mendengar kabar duka mengenai aktor favoritnya tersebut. “Karya-karyanya akan selalu gue kenang,” tambahnya yang diangguki Nesya maupun Nitya.  “Kalau ngomongin film sih, gue lebih suka film India.”  Serempak Nesya dan Erin tertawa. “Kok bisa lo suka film India?” tanya Erin. “Nyokap nonton film India tiap hari, jadinya gue ketularan deh. Tapi film India seru kok, coba deh kalian nonton juga pasti pada suka.”  Erin sudah membuka mulut hendak menyahut, namun urung karena kondisi kantin tiba-tiba ramai. Atensi ketiganya tertuju pada sumber keramaian, tepatnya ke arah pintu masuk kantin.  Nesya melebarkan mata saat melihat seorang pemuda yang dikerumuni para gadis cantik nan centil baru saja memasuki kantin dan menjadi pusat keramaian. Seandainya pemuda itu bukan mantan brengseknya alias Alvino, tentunya dia tidak akan peduli.  “Vino, mau pesen apa? Biar gue pesenin.” Salah satu gadis yang menggelayut manja di lengan kokoh pemuda itu, menawarkan diri. Biasa caper alias cari perhatian.  “Hmm, apa ya? Terserah lo deh, gue percaya pilihan lo pasti enak.”  Si gadis sontak berteriak histeris, berjalan cepat menuju penjual makanan yang dia yakini pasti akan disukai Alvino.  “Vino mau minum apa?” Gadis lainnya bertanya. Sebenarnya dia dikerubungi empat gadis jika dihitung dari jumlahnya. Bagaikan seorang raja yang tengah dikerubungi selir-selir, Nesya mendecih dalam hati melihat pemandangan menjijikan itu.  “Heeh, bukannya dia anak baru yang berantem sama senior itu ya kemarin?” Nitya yang mengatakan ini karena dibanding Nesya dan Erin, gadis ini melihat dengan jelas wajah si anak baru yang berani memukul senior tingkat empat.  “Iya, dia,” jawab Nesya, yang sudah tahu persis anak baru itu memang Alvino. “Punya sihir apa tuh cowok ampe cewek-cewek centil ngerubungi dia?” “Sihir pelet nenek lampir kali,” sembur Erin yang sukses membuat Nesya tergelak dalam tawa.  Dan sialnya suara tawa Nesya tertangkap indera pendengaran Alvino yang awalnya tidak menyadari kehadiran Nesya di dalam kantin. Seketika Alvino menyeringai.  “Kalian pesenin makanan sama minuman apa kek buat gue. Terus cariin meja kosong juga. Gue ada perlu sebentar,” titah pemuda itu pada gadis-gadis yang masih menempel padanya layaknya perangko.  Alvino meninggalkan gadis-gadis itu, berjalan santai sambil menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku celana.  Nesya menegang saat menyadari sang mantan sedang berjalan menuju meja mereka. Cepat-cepat dia memalingkan wajah ke arah lain, berharap tebakannya salah dan Alvino tak menyadari kehadirannya.  “Hei, Senior,” panggil Alvino, begitu dirinya berdiri tepat di samping meja Nesya dan kedua temannya.  Erin menaikkan satu alisnya, “Lo nyapa kita?” tanyanya, memastikan telinganya tak salah dengar. “Iyalah. Kan kalian yang duduk di sini? Masa nyapa senior yang duduk di pojokan sih, kan kejauhan.”  Erin memutar bola mata jengah, “Heran aja lo nyapa kita sopan banget, padahal kemarin udah nimpukin senior tingkat empat. Kirain lo cowok gak tahu sopan santun sama yang lebih tua.”  “Beda dong kalian sama senior kemarin. Lagian gue gak pernah tuh kasar sama cewek,” sahut Alvino dengan penuh percaya diri. “Ngomong-ngomong, boleh gabung gak nih?”  “Nggak boleh!” teriak Nesya spontan saat mendengar Alvino meminta izin bergabung di meja mereka.  Erin dan Nitya menatap bingung pada Nesya yang tiba-tiba histeris, sedangkan Alvino menyeringai lebar.  “Kenapa nggak boleh? Gue kan cuma pengin makan bareng kalian.” “Kita udah beres makannya,” sahut Nesya judes. “Gelas kalian masih ada tuh isinya,” balas Alvino sembari menunjuk ke arah tiga gelas yang masih ada isinya.  Gelas Erin berisi es kelapa muda yang tersisa separuh. Gelas Nesya berisi jus alpukat yang masih penuh karena belum dia minum. Dan gelas Nitya berisi es teh manis yang baru diminum sedikit oleh pemiliknya.  “Kita udahan kok. Yuk, cabut guys!” ajak Nesya pada dua temannya dengan terburu-buru. “Bentaran lagi sih, Nes, perut gue masih kenyang banget. Lagian ngapain buru-buru, kelas juga baru ada satu jaman lagi ini.”  Yang menolak itu adalah Nitya yang tidak peka melihat wajah cemberut nan asem Nesya.  “Nah, kan? Gak usah buru-buru, Senior. Berarti boleh ya gue ikut gabung di sini?”  Alvino nyaris mendudukan dirinya di kursi kosong di samping Erin. Nesya tampaknya harus mengucapkan terima kasih pada Erin karena gadis itu bergerak cepat meletakan tasnya di atas kursi, membuat Alvino urung mendudukan diri di sana.  “Eittss, emangnya siapa yang ngizinin lo duduk di sini? Lo nggak lihat ini kumpulan cewek? Sorry, tapi cowok gak diterima di sini.” Erin menoleh pada salah satu meja tak jauh dari meja mereka yang sudah ditempati empat gadis yang tadi datang bersama Alvino. “Lagian lo gak kasian sama dayang-dayang lo yang nungguin di sana?” tanya Erin sembari menunjuk dengan dagu ke arah meja tersebut.  “Ngapain sama dayang kalau ratunya ada di sini, ya gak?”  Nesya menegang saat Alvino berujar seperti itu sembari mengedipkan sebelah mata pada dirinya. Apalagi di saat Erin dan Nitya kini melayangkan tatapan curiga padanya, seketika Nesya salah tingkah di kursinya.  “Udah pergi sana. Kasian cewek-cewek lo udah nungguin!” usir Nesya, dengan sedikit membentak, lagi-lagi membuat Erin dan Nitya terheran-heran pasalnya Nesya tak pernah sekasar ini pada seorang pria.  “Kalau gue bilang pengin di sini gimana? Gak ada larangan, kan?” “Gak bisa, gak bisa,” sahut Nitya, menyambar pembicaraan. “Meja ini khusus cewek. Junior kayak lo mendingan gabung ke sesamanya deh. Gak sopan banget lo gangguin senior.”  Alvino mendengus kasar sembari menggelengkan kepala. “Jadi gue gak diterima nih?”  “NGGAK!” jawab ketiga gadis itu serempak.  Alvino berpura-pura memasang raut sendu sebelum akhirnya dia menghela napas pasrah.  “OK kalau gitu, gue pergi,” katanya sembari membalik badan, membelakangi meja. Ketika tiba-tiba dia menoleh melalui bahu, Nesya yang sempat mengembuskan napas lega, detik itu juga kembali menegang. “Gue emang anak baru plus junior kalian. Tapi belum tentu gue lebih muda dari kalian. Mungkin kita seumuran atau bisa jadi gue lebih tua dari kalian.”  “Pede banget lo ngomong kayak gitu. Emang berapa umur lo?” Erin yang merespon sedikit emosi.  Alvino tiba-tiba menunjuk dengan dagunya ke arah Nesya, membuat gadis malang itu kini mematung di tempat. “Tanyakan sama dia, dia tahu jawabannya.”  Pemuda itu pun melenggang pergi setelahnya, bergabung di meja yang ditempati empat gadis yang datang bersamanya. Merangkul mesra dua gadis di samping kiri dan kanannya dengan tatapan mata yang tak lepas sedikit pun dari Nesya. Ketika pemuda itu kembali mengedipkan sebelah mata padanya, jantung Nesya berdegup kencang namun terasa menyakitkan.  “Lo kenal sama dia, Nes?” tanya Erin.  Nesya tersentak sebelum cepat-cepat menggelengkan kepala, “Nggak, gue gak kenal sama tuh cowok.” Bohongnya. “Oh kirain kenal soalnya dia ngomong gitu dengan pedenya.” “Kegeeran aja dia,” sahut Nesya, membuat Erin tak lagi melontarkan pertanyaan.  “Anak baru itu sebenarnya cakep, macho, keren lagi. Ciri-cirinya sebelas dua belaslah sama Flinn di cerita Team Seven yang kerennya nggak ketulungan. Cuma sayangnya sifat mereka bagai langit dan bumi ya, beda jauuuuh.” Nitya menginterupsi dengan bibir yang sedikit manyun ke depan. “Si Flinn setia. Tipe cowok dingin-dingin menghanyutkan. Gak kayak tuh anak baru yang kegatelan, tebar pesona dimana-mana. Pasti hobby-nya nyosor sana nyosor sini.”  “Gue ogah deket-deket sama cowok kayak gitu. Lo juga, Nes, cowok kayak dia bukan tipe lo, kan?”  Dan Nesya hanya mampu tersenyum miris mendengar pertanyaan Nitya. Haduh bagaimana jadinya jika dua temannya ini tahu Alvino adalah mantan kekasihnya? Semoga saja rahasia ini akan selamanya menjadi rahasia sampai cerita ini end. Hanya itu harapan Nesya saat ini.  ***   Nesya duduk bersemedi di depan meja belajarnya, bergelut dengan tugas–tugas kuliahnya yang terkadang menyita pikiran serta tenaganya. Dia  butuh konsentrasi tinggi untuk mengerjakan tugas-tugas itu.  Dan suara ketukan di pintu benar-benar membuat Nesya geram bukan main. Padahal sulit awalnya mengumpulkan pikirannya yang tercecer dimana-mana karena bayangan sang mantan yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. Terlebih karena kejadian di kantin tadi yang membuatnya jengkel setengah mati pada pemuda itu. Bukan hanya jengkel sebenarnya, tapi juga sakit hati karena faktanya dia tak terima melihat Alvino berdekatan dengan gadis lain.  “Siapa sih malem-malem gini ganggu?” gerutunya karena jam memang menunjukan pukul 9 malam dimana seharusnya penghuni kost-an lain sedang beristirahat di kamar masing-masing.  Dengan malas dia berjalan menuju pintu, membuka pintu itu tanpa ragu dan menegang saat menemukan sosok Alvino berdiri menjulang di depannya.  “Hai, mantan,” sapa Alvino, seperti biasa sambil mengedipkan sebelah matanya pada Nesya. “Mau apa lo gangguin gue malem-malem gini?” Seperti biasa pula Nesya berucap dengan ketus nan sinis. “Galak amat sih, Nes. Dulu kamu gak gini deh. Dulu itu kamu ...” “Stop ... stop ...” Sela Nesya sembari mengangkat tangannya. “Masa lalu nggak usah dibahas ya. Udah basi tahu gak?” “Basi? Emangnya makanan, basi? Nggaklah, buktinya cinta aku sama kamu masih ada kok di dalam sini.” Alvino menunjuk d**a kirinya dengan jari telunjuk. “Kamu juga masih cinta kan sama aku, Nes?”  Nesya melebarkan mata, terkejut tentu saja.  “S-Siapa bilang gue masih cinta sama lo? Nggak. Gue benci sama lo sekarang. Benci banget.” “Masa sih? Kok mata kamu mengatakan yang sebaliknya, ya? Ngaku aja deh, sebenarnya kamu masih cinta kan sama aku?”  “Tinggal bilang aja, Nes. Aku dengan senang hati mau jadi cowok kamu lagi.” “Gue yang nggak sudi jadi cewek lo lagi. Pergi sana Alvino, gue gak mau lihat muka lo lagi.”  Nesya menutup pintu tanpa aba-aba hingga nyaris mencium hidung bangir Alvino.  Suara gedoran pintu itu kembali terdengar, Nesya berdecak jengkel dari balik pintu.  “Nes, buka dong. Ada yang mau aku omongin.” “Nggak mau. Pergi sana. Balik ke kamar lo!” balas Nesya, masih berteriak.  Suara gedoran di pintu masih terdengar. Setelah menunggu kurang lebih tiga menit, barulah suara gedoran itu berhenti. Nesya menghela napas lega, berpikir Alvino akhirnya menyerah. Lagian kenapa pemuda itu terus mengganggunya? Nesya benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran mantan brengseknya itu.  Nesya hendak berjalan kembali ke meja belajarnya, namun harus urung karena suara gedoran di pintunya kembali terdengar.  “s**t!” umpatnya, jengkel tiada tara.  Tanpa pikir panjang, Nesya melangkah cepat menuju kamar mandi. Mengambil segayung air dingin, dia pun kembali berjalan menuju pintu.  Nesya membuka pintu kamarnya bersamaan dengan dia lemparkan air di dalam gayung itu, berpikir Alvino yang akan dia temukan basah kuyup karena terguyur air, Nesya bertekad akan tertawa terbahak-bahak setelahnya. Nyatanya apa yang terjadi sungguh jauh berbeda dengan yang dipikirkan Nesya, karena yang berdiri di depan pintunya dengan tubuh basah kuyup ternyata bukan Alvino. Melainkan sang ibu kost.  Nesya mematung di tempatnya berdiri, terlebih saat melihat Alvino mengintip dari balik pintu kamarnya dan terkekeh menertawakan kebodohan Nesya.  Nesya cengengesan mendapati sang ibu kost kini tengah memelotot menyeramkan padanya. Haah ... musibah apa lagi yang harus Nesya dapatkan karena ulah si mantan kekasih? Nesya hanya bisa mengelus d**a dan berdoa dalam hati semoga dirinya tidak diusir dari kost-an.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD