CHAPTER TIGA

3156 Words
Nesya menarik tangan Alvino yang tak merasa bersalah berbaring nyaman di kasur empuknya.  “Vino, jangan tidur di kasur gue. Lo kenapa sih? Pergi sana.”  Nesya masih tetap bersi keras menarik tangan pemuda itu agar bangun dari kasurnya. Namun, seolah telinganya tuli, Alvino tetap tak mau pergi.  “Vino ... Issshhh ... lo maunya apa sih?” “Aku ngantuk,” jawabnya santai, tak merasa bersalah sedikit pun.  Nesya bertolak pinggang dengan wajah memerah menahan kesal tiada tara.  “Lo kan punya kamar sendiri, ngapain lo tidur di kamar gue?” “Lebih nyaman di sini. Lagian apa salahnya tidur di kamar pacar sendiri?”  Nesya memutar bola mata malas sebelum suara tawa itu menggelegar dari mulutnya. Alvino mengernyitkan dahi, merubah posisi terlentangnya menjadi menyamping ke arah Nesya yang berdiri menjulang tinggi di samping tempat tidur.  “Kok ketawa? Lucu ya?” tanyanya, sok polos.  Nesya masih terus tertawa sambil memegangi perutnya. “Jelas luculah. Pacar lo bilang? Sorry ya, gue gak ngerasa tuh. Kita udah putus, udah lama kali. Dua tahun yang lalu lo putusin gue kan kalau perlu gue ingetin lagi?”  Alvino mendengus, menopang kepalanya dengan satu tangan, dia mengulum bibir tampak menahan senyum. “Kamu kan gak mau aku putusin waktu itu. Jadi gak pernah ada kesepakatan putus antara kita berdua, kalau kamu lupa Nesya sayang.”  Nesya melongo, pemuda di depannya itu benar-benar tak tahu diri. Ada keinginan besar di benak Nesya untuk menendang bokongnya dan melemparnya sejauh mungkin dari kamar tercinta.  “Lo ninggalin gue, Vino. Lo ngilang gitu aja bagai ditelan bumi. Sekarang dengan entengnya lo bilang kita masih pacaran? Otak lo kayaknya geser beberapa senti dari tempat seharusnya.”  Tawa geli itu akhirnya meluncur dari mulut Alvino, tertawa terpingkal hingga kedua matanya menyipit. Nesya membeku di tempatnya berdiri, suara tawa ini tak dipungkirinya, dia rindu. Namun, mengingat betapa brengseknya pemuda itu padanya dua tahun lalu, amarah Nesya kembali menguasai.  Kedua matanya bergulir ke sekeliling kamar, mencari benda apa pun yang bisa dia manfaatkan untuk menganiaya pemuda tak tahu diri tersebut.  Kedua mata Nesya berbinar senang saat melihat panci yang biasa dia gunakan untuk merebus mie instan. Sebuah panci berukuran kecil yang bagian bawahnya sudah berwarna hitam karena terlalu seringnya dibakar api.  Nesya berjalan cepat menuju panci itu tergantung di dinding, lantas kembali menghampiri Alvino yang masih merebahkan diri di kasur Nesya.  “Pergi sekarang atau panci ini melayang ke kepala lo,” ancamnya.  Alvino terkekeh geli sama sekali tak gentar mendapat ancaman maut dari seorang Nesya. Ketika Nesya yang telah kehilangan kesabarannya mulai mengayunkan tangannya, bersamaan dengan si panci yang nyaris menimpuk bahu Alvino, dengan gesit Alvino bergerak. Dia menangkap tangan Nesya tanpa kesulitan. Menarik tangan itu sekuat tenaga hingga tubuh Nesya yang bagaikan seringan kapas itu terhuyung ke depan dan jatuh di pangkuan Alvino.  Suara teriakan refleks meluncur dari mulut Nesya ketika Alvino memutar tubuh mereka, membuat dirinya kini berada di bawah kungkungan sang mantan. Alvino merangkak naik guna menindih tubuh Nesya yang menggeliat panik di bawahnya.  “Vino, lo mau ngapain?!” teriak Nesya, ketakutan tiada tara. “Aku kangen banget sama kamu. Emangnya kamu gak kangen sama aku? Udah dua tahun kita gak ketemu lho, Nes.” “Gue gak kangen, gue jijik sama lo sekarang,” balas Nesya.  Alvino mendengus kasar sebelum dia semakin merapatkan tubuh dengan wajah yang semakin mendekat pada wajah Nesya. Nesya geragapan dan salah tingkah detik itu juga. Nyaris terlena dengan jarak wajah mereka yang terlampau dekat sehingga wajah tampan sang mantan tepat berada di depan matanya. Jarak yang memisahkan wajah mereka semakin terkikis habis bahkan kini mereka seolah bertukar oksigen karena embusan napas mereka menerpa wajah masing-masing. Nesya mematung di tempat seolah lupa cara bergerak karena bibir Alvino yang sedikit terbuka, kini menjadi fokusnya. Gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, jika mereka benar berciuman ini akan jadi ciuman pertama keduanya. Dulu saat masih berpacaran, mereka masih remaja labil yang tak berani melakukan adegan seintim ini.  Seluruh oksigen di paru-paru Nesya seolah tersedot habis karena gadis itu kini sedang menahan napasnya. Dia terlalu gugup dan panik. Hingga dirinya yang mulai terlena tanpa sadar memejamkan kedua mata serapat mungkin. Tidak perlu menunggu sampai satu detik, bibir keduanya akan saling bertemu.  Beruntung di detik-detik terakhir bibir mereka nyaris saling bersentuhan, akal sehat Nesya kembali menyala layaknya lampu peringatan bahaya dan mengembalikan kewarasannya. Spontan dia melayangkan panci yang masih digenggam di tangan.  Tung  Suara keras itu terdengar ketika bawah panci yang kotor melayang sempurna di kepala Alvino.  Alvino mengerang kesakitan, menjauhkan tubuhnya dari Nesya seraya memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri karena pukulan Nesya tak main-main.  Cepat-cepat Nesya bangun dari posisi berbaringnya, merapikan piyamanya yang berantakan karena ulah si mantan. Tak ingin diserang lagi secara mendadak oleh Alvino, gadis itu bergegas bangkit berdiri dan mundur beberapa langkah untuk membuat jarak membentang luas di antara keduanya.  “Lo kok mukul kepala gue sih, Nes?” tanya Alvino, masih sibuk mengelus kepalanya. “Salah sendiri mau ngelecehin gue.” “Siapa yang mau ngelecehin sih?” “Terus barusan lo mau ngapain?” tanya Nesya, langsung ke intinya. “Minta ciuman di pagi hari sama pacar. Kenapa emangnya? Gak boleh?”  Nesya kembali memutar bola mata.  “Cowok gak tahu diri,” umpatnya. “Cepet pergi atau mau panci ini melayang lagi. Gak cuma melayang ke kepala lo, tapi ke muka lo yang sok kecakepan itu juga, mau?” Nesya kembali mengancam, kali ini sambil memasang ancang-ancang siap mengayunkan panci di tangan.  “OK ... OK ... aku pergi, tapi sebelumnya tolong buatin dulu makanan dong. Aku laper banget makanya datang ke sini, mau minta tolong kamu masakin sarapan buat aku.”  Nesya melongo tak percaya. Betapa santai mantannya itu meminta dirinya memasak. OK, selain tak tahu diri, julukan apa lagi sekiranya yang pantas untuk pemuda bernama Alvino ini? Nesya menggeram dalam hati, menahan kekesalan yang sudah mencapai ubun-ubun.  “Masak sendiri sana. Kayak gak punya tangan aja.” “Gak ada peralatan masak di kamar aku,” jawab Alvino sembari duduk di pinggir ranjang dengan wajah memelas. “Beli aja di warteg kalau gitu. Ada warteg yang buka dua puluh empat jam di deket kost.” “Males keluar.”  Nesya berdecak jengkel.  “Suruh aja cewek lo yang beliin kalau lo males jalan keluar.”  Satu alis Alvino terangkat naik.  “Cewek aku? Cewek yang mana?” tanyanya, entah pura-pura tak tahu, sok polos atau dia memang benar-benar tak tahu maksud ucapan Nesya.  Nesya kembali berdecak.  “Cewek lo yang semalam itu. Suruh dia yang beli makanan. Kalau nggak, suruh orang-orang yang semalam pesta di kamar lo.” Masih berusaha sekuat tenaga menahan kesal, Nesya menjelaskan.  “Ooh, cewek itu bukan pacar aku. Dia cuma temen, pacar aku kan cuma kamu, Nes.”  Nesya melebarkan mata dengan jantung berdebar cepat, nyaris terlena dengan kata-kata manis itu, beruntung akal sehatnya kembali menyelamatkan dirinya dari tipu daya kata-kata manis berbalut racun mematikan yang mampu mematahkan hati Nesya untuk kedua kalinya jika sampai dia terjerumus.  “Lagian gara-gara kamu mengacau semalam, mereka pergi. Pestanya gagal total gara-gara kamu,” tambah Alvino, suara embusan napas lelah dari mulut pemuda itu tertangkap indera pendengaran Nesya.  “Lagian ngapain pesta di sini? Kalau mau pesta minuman keras ya di club, jangan di sini. Jadi orang tahu diri dikitlah. Ini kan kost-an, banyak orang yang tinggal di sini bukan cuma lo doang.” “Mereka temen-temen aku yang ngadain pesta kecil-kecilan buat ngerayain kepindahan aku ke kost-an ini.” “Siapa?” tanya Nesya. Alvino mengernyitkan dahi. “Aku sama temen-temen aku,” jawab Alvino. “Yang nanya,” sela Nesya sembari cekikikan pasalnya ekspresi melongo Alvino begitu lucu menurutnya.  “Ck ... ayo dong cepetan bikinin makanan, laper benget nih.” “Bukannya semalam kalian habis pesta, harusnya ada sisa makanan, kan?” “Emangnya kamu lihat ada makanan di kamar aku semalam?”  Nesya menimbang-nimbang ucapan Alvino, mengingat-ingat adakah makanan yang dia lihat di kamar pemuda itu semalam. Dan jawabannya NO. Seingat Nesya tidak ada makanan selain beberapa botol minuman keras dan asap tebal rokok yang membuat aroma kamar itu pengap.  “Salah sendiri ngadain pesta tapi gak nyiapin makanan,” balasnya, ketika menyadari Alvino memang tidak berbohong.  “Aku belum makan dari kemarin sore. Please, Nesya sayang, buatin sarapan ya.” “Ogah. Gue bukan pembantu lo,” sahut Nesya kejam sambil membuang wajah ke arah lain.  “Ya udah, kalau gitu aku tidur lagi aja di sini.”  Alvino kembali merebahkan diri di kasur empuk Nesya, sukses membuat gadis itu kembali misuh-misuh.  “Ya udah iya, gue siapin sarapan buat lo. Tapi setelah itu lo harus pergi.”  Alvino menyengir lebar sembari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V, “OK,” jawabnya.  Nesya mendesah pasrah sebelum dengan terpaksa dirinya melangkah menuju lemari es. Mengambil sebutir telur dan beberapa perlengkapan untuk membuat nasi goreng. Padahal Nesya sengaja menyisakan sedikit nasi untuk dia buat nasi goreng sebagai menu sarapan pagi ini, sekarang dengan terpaksa nasi itu harus diberikan pada Alvino. Ya, daripada pemuda itu terus berdiam diri di kamarnya yang bisa merusak kinerja jantung Nesya yang ternyata masih terpengaruh oleh kehadiran pemuda itu, Nesya memilih menyedekahkan sisa nasinya untuk Alvino.  Alvino memandang intens Nesya yang mulai sibuk menyiapkan sarapan untuknya. Seulas senyum tersungging di bibirnya saat melihat betapa telaten gadis itu dalam memasak. Dia merindukan momen manis seperti ini. Di masa lalu, hampir setiap hari Alvino menyantap masakan buatan Nesya. Dia juga beberapa kali pernah melihat Nesya memasak. Semua kenangan manis di antara mereka pun kini berseliweran di kepala Alvino. Gadis itu sama sekali tidak berubah, malah mungkin sudah semakin pandai memasak sekarang. Mungkin yang berubah dari seorang Nesya adalah sikapnya. Dulu gadis itu begitu lembut dan periang, Alvino mengingat betul bagaimana Nesya selalu tersenyum di depannya. Selalu menghiburnya dikala tertimpa masalah maupun berada di sampingnya di saat Alvino kesepian.  Nesya yang dulu sangat baik, ramah, lembut dan perhatian. Alvino bahkan ingat betapa manis senyuman gadis itu yang selalu sukses membuat jantungnya berdebar kencang. Tapi Nesya yang sekarang sungguh jauh berbeda. Gadis itu begitu ketus dan judes. Oh, jangan lupakan dirinya yang kini berubah menjadi gadis galak.  Alvino mendengus saat mengingat semua kata-kata dan perlakuan kasar Nesya padanya sejak semalam. Tapi dikala mengingat tingkah Nesya beberapa menit yang lalu saat mereka nyaris berciuman, Alvino memasang seringaian lebar. Dia yakin Nesya hanya sedang bersandiwara dengan berpura-pura bersikap galak di depannya. Gadis itu faktanya masih terpengaruh oleh kehadirannya.  Membutuhkan sekitar 30 menit hingga akhirnya sepiring nasi goreng beserta telur mata sapi terhidang di depan Alvino. Wajah lesu Alvino berubah cerah bagai mentari di pagi hari. Dengan semangat dia memasukan sesuap nasi goreng buatan Nesya ke dalam mulut. Dia tersenyum lebar saat mulutnya sibuk mengunyah.  “Ini enak,” kata Alvino, tulus. Tak ada unsur menggoda sedikit pun. Pada dasarnya Nesya memang pandai memasak. “Aku kangen banget masakan kamu, Nes. Jadi inget dulu tiap hari kamu bawain aku makanan buatan kamu, terus kita makan sama-sama di jam istirahat siang waktu kita masih SMA.” “Kenangan lama nggak usah diinget-inget lagi. Basi tahu gak. Mendingan sekarang cepet abisin makanannya terus keluar dari kamar gue,” sahut Nesya, ketus seperti biasa.  “Mentang-mentang udah jadi penduduk kota metropolitan, sekarang ngomongnya pake elu-gue ya? Mendingan kayak dulu manggil aku-kamu, lebih manis.”  Nesya memutar bola matanya bosan untuk kesekian kalinya, “Ogah. Lo bukan siapa-siapa gue sekarang. Lo cuma mantan yang harusnya gak pernah datang lagi dalam hidup gue.”  Nesya menatap Alvino yang kembali melanjutkan makannya seolah tak terganggu dengan ucapannya.  “Lo kenapa bisa ngekost di sini sih? Lo ngikutin gue ke sini ya?”  Alvino terbatuk hebat karena pertanyaan refleks Nesya yang sejak semalam terheran-heran karena melihat sang mantan tiba-tiba menjadi tetangganya.  “Jangan nuduh sembarangan. Aku aja gak tahu kok kamu ngekost di sini.” “Terus kenapa kita bisa jadi tetangga? Gak percaya gue kalau ini cuma kebetulan,” sahut Nesya. “Begini ini yang namanya jodoh. Mungkin ini takdir atau pertanda dari Tuhan, kita harus balikan lagi kayak dulu.”  Saat mengatakan itu Alvino berekspresi tenang layaknya air yang mengalir, berbanding terbalik dengan Nesya yang melongo dengan mata melebar dan mulut terbuka membentuk huruf O, cengo luar biasa. OK, narsis dan kegeeran mungkin julukan yang tepat untuk pemuda itu.  Nesya menipiskan bibir saat melihat Alvino kembali serius menyantap makanannya. Saat itulah tanpa sengaja tatapan Nesya tertuju pada luka memar keunguan di sudut bibir Alvino. Dia jadi teringat sesuatu.  “Vin, kemarin anak baru yang berantem sama senior tingkat empat itu, lo kan?” tanyanya. Alvino mengangkat kepala sebelum anggukan itu menjadi respon yang diberikannya. “Mau jadi pahlawan kesiangan ya lo makanya sok berani nantangin senior?” “Bukan gitu. Aku gak suka aja lihat dia ngelecehin junior cuma karena dia senior tingkat empat. Aku mukul dia murni nolongin cewek yang dilecehin sama dia aja kok.”  Nesya mendengus pelan mendengarnya. “Lo gak takut dilaporin?” “Kenapa harus takut? Yang ada dia yang takut. Toh aku bener kok, dia yang salah. Mana berani dia ngelapor.”  Nesya diam seribu bahasa. Alvino yang dia kenal memang seperti ini. Anak nakal dan berani yang tidak akan segan-segan membela sesuatu yang menurutnya benar.  Nesya kembali tertegun, ingatannya melanglang buana pada pemandangan yang dia lihat di kamar Alvino semalam.  “Lo sekarang berubah ya, Vin.”  Satu alis Alvino terangkat naik, “Maksudnya?” “Lo sekarang jadi suka mabuk-mabukan. Orang-orang semalam juga kayaknya bukan orang baik-baik deh, apalagi cowok-cowoknya. Kayaknya mereka lebih tua dari lo. Mereka preman?” tanya Nesya, namun diabaikan Alvino karena pemuda itu lebih memilih kembali menyantap nasi gorengnya ketimbang meladeni pertanyaan Nesya.  “Cewek-ceweknya juga. Baju mereka seksi banget kayak cewek panggilan,” Nesya kembali bermonolog. Dia terdiam sejenak, sebelum tiba-tiba kedua matanya membulat sempurna seolah sebuah pemikiran baru terlintas di dalam kepalanya. “Tunggu, jangan-jangan mereka beneran cewek panggilan yang kalian sewa ya buat ngelayanin kalian semalaman?” Nesya berujar dengan heboh, membuat Alvino mengangkat kepala dengan bibir yang mengulum senyum geli.  “Nggaklah. Mereka itu cewek baik-baik. Pacarnya dua temen aku itu. Mereka semua orangnya baik kok, beneran temen aku,” sahut Alvino, sebelum dia kembali menunduk untuk menghabiskan suapan terakhirnya.  “Satu lagi, aku juga nggak mabuk-mabukan. Minuman keras yang kamu lihat murni punya mereka.”  Nesya mencibir, tentu tak percaya semudah itu.  “Kalau gak percaya, ayo sini, kita lanjutin edisi ciuman di pagi hari yang tertunda tadi. Kamu cium deh, ada bau alkohol gak di mulut aku.” “Issshhh ... jijik. Dasar cowok m***m!” Nesya refleks berteriak. “Lo udah selesai kan makannya, cepet keluar dari kamar gue,” usir Nesya, tak berprikemanusiaan. “Bentar lagi sih, Nes. Istirahat dulu ampe makanannya turun ke lambung. Ini nasi goreng masih nyangkut di tenggorokan.”  Nesya berdecak, sebelum dia bangkit berdiri dari duduknya. Menarik tangan Alvino, bermaksud menyeretnya pergi dari kamarnya yang terjadi sungguh sebaliknya. Tenaga Alvino yang jauh lebih besar dari Nesya, dengan mudah merubah keadaan. Saat Nesya memegang tangan Alvino, dengan lihai pemuda itu balas menariknya sekuat tenaga sehingga Nesya oleng ke depan dan jatuh di atas pangkuan Alvino. Nesya berusaha bangkit tapi sia-sia karena Alvino menahannya dengan melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Nesya. Kini Nesya duduk di pangkuan Alvino dalam posisi memunggungi.  “Vino, lepasin gue!” Nesya histeris, dia berusaha menyingkirkan tangan Alvino yang melingkari perutnya. “Kenapa sih, Nes? Malu ya?” tanya Alvino dan dia semakin mengeratkan pelukannya. “Jangan gila ya, lepasin gue atau gue teriak nih biar tetangga pada ke sini.” “Ya udah, teriak aja,” sahut Alvino dengan santainya, tak terpengaruh sedikit pun dengan ancaman Nesya. “Toh kalau tetangga masuk ke kamar kamu dan lihat posisi kita kayak gini mereka bakalan mikir kita lagi mesra-mesraan,” lanjut Alvino.  Nesya memelotot, entah bagaimana jalan pemikiran Alvino yang tak tahu malu itu, Nesya tak habis pikir ada orang seperti Alvino.  “Lo nggak tahu malu ya, Vino?!” “Mau dibilang gak tahu malu kek atau gak tahu diri kek, aku nggak peduli. Yang pasti aku lagi pengin meluk kamu.”  Nesya semakin menggeliat tak nyaman saat Alvino kini mengecup lehernya. Bibir basah, hangat dan lembut sang mantan terasa jelas di kulit lehernya.  “Vinoooo,” ucap Nesya, suaranya bergetar karena nyaris tak kuasa menahan godaan Alvino. “Nes, aku serius kangen sama kamu.” Alvino kini meletakan dagunya di pundak Nesya. Sesekali meniup tengkuk Nesya yang sukses membuat gadis itu semakin menggelinjang gelisah.  “Masa kamu gak kangen sama aku?” “Nggak,” jawab Nesya, yang kembali mendapatkan kesadarannya. Nesya bertekad tidak boleh sampai terlena oleh godaan maut Alvino. Tapi Nesya dibuat heran karena Alvino yang sekarang sungguh jauh berbeda dengan dirinya di masa lalu. Alvino dulu memang perhatian tapi tidak pernah bersikap seberani ini. Sejak kapan Alvino jadi berani melecehkan seorang gadis? Batin Nesya penuh dengan tanda tanya. Apa ini bukti bahwa dua tahun mereka berpisah, Alvino sering bergonta-ganti pasangan karena pemuda itu kini terlihat sangat lihai menggoda.  Memikirkan kemungkinan Alvino sering bergonta-ganti pacar membuat Nesya kesal, kewarasannya yang sempat melayang itu kini kembali ke tempat seharusnya. Saat tangan kanan Alvino dengan kurang ajar menelusuri wajah Nesya, dengan cekatan gadis itu menangkapnya lalu menggigitnya sekuat tenaga sehingga Alvino tersentak. Dia meringis kesakitan dan pelukannya pun seketika mengendur. Nesya memanfaatkan kondisi itu dengan sangat baik, dia mendorong Alvino hingga pemuda itu terjengkang ke belakang. Nesya cepat-cepat berdiri dan mundur sejauh-jauhnya dari Alvino yang kini sedang meniup-niup luka bekas gigitan Nesya di lengannya.  “Ya ampun, tega banget kamu gigit tangan aku, Nes,” ucap Alvino sembari meringis kesakitan. Dia terus meniup-niup luka gigitan itu. “Salah sendiri lo ingkar janji, tadi katanya mau langsung pergi udah gue bikinin sarapan. Mana? Yang ada lo malah ngelecehin gue lagi.” “Siapa yang ngelecehin sih? Aku kan cuma kangen pengin meluk kamu. Dulu juga kita sering kan pelukan?” Nesya memelotot sambil mendesis kesal. “Malah dulu kamu yang meluk-meluk aku dari belakang,” tambah Alvino sembari menyeringai. “Itu namanya bukan meluk, gue cuma pegangan aja waktu naek motor sama lo.” Nesya berusaha menyangkal saat menyadari maksud ucapan Alvino yang menyindirnya secara terang-terangan. “Ah, sama aja meluk dari belakang, kan? Aku cuma ngulang kejadian di masa lalu aja. Kita sering kok pelukan kayak barusan.”  Nesya memutar bola matanya, bosan. Berdebat dengan Alvino seperti ini tidak akan ada habisnya. Nesya berjalan cepat menuju panci yang dia letakan di dekat kompor. Lalu kambali menghampiri Alvino, berniat memukul pemuda itu lagi dengan panci.  Alvino yang tahu rencana Nesya itu pun bergegas bengkit berdiri, dirinya mengambil langkah seribu ke arah pintu untuk menghindari Nesya yang sudah mengangkat panci di tangannya tinggi.  “Ampun, Nes. OK, OK, aku pergi,” ujar Alvino, sambil membuka pintu.  Nesya mendorong punggung lebar Alvino hingga berhasil menyeret pemuda itu keluar dari kamarnya..  Nesya bersiap menutup pintu kamar jika saja Alvino tak menghalanginya dengan menahan celah pintu dengan salah satu kakinya.  “Mau apa lagi? Lo udah sepakat bakalan pergi kalau udah selesai sarapan. Jadi orang itu harus menepati janji,” geram Nesya, tak kuasa lagi menahan kekesalannya pada sang mantan. “Iya, ini aku mau pergi kok. Tapi sebelumnya ada yang mau aku omongin.”  Nesya mengernyitkan dahi, masih berdiri mematung di tempat karena dirinya tak bisa menutup pintu. Tak ada pilihan lain selain menunggu sang mantan melanjutkan ucapannya yang menggantung.  “Nesya Abriana Arundaya.” Alvino menyebut nama lengkap Nesya dengan tiba-tiba membuat gadis malang itu terhenyak kaget pasalnya suara pemuda itu begitu lembut di telinganya.  “Kita balikan lagi yuk!”  Nesya melongo, sulit dipercaya setelah mencampakan dirinya begitu saja, sekarang pemuda tak tahu diri itu mengajaknya kembali berpacaran. Sorry ... Nesya tak sebodoh itu hingga mau-maunya menjadi b***k cinta pria b******k macam mantannya itu. Keren sih, sayangnya b******k.  “Ogah. Gue gak sudi jadi pacar lo lagi,” jawab Nesya, sok galak nyatanya kedua lututnya terasa lemas sekarang. “Oh gitu, kamu nolak?” “Menurut lo? Emang gak ngerti bahasa gue atau gimana?”  Alvino mengembuskan napas panjang, “Menarik,” ucapnya. Nesya menatap bingung.  “Kalau begitu siapin diri kamu karena aku gak bakalan nyerah sampai kamu balik lagi ke pelukan aku.”  Alvino menjauhkan kakinya yang menghalangi pintu kamar Nesya. Dia melenggang santai menuju kamarnya yang berada tepat diseberang kamar Nesya. Menoleh ke belakang sekadar untuk melihat sosok Nesya yang masih berdiri kaku layaknya patung selamat datang.  “Oh ya, makasih untuk nasi gorengnya.”  Alvino melambaikan tangan disertai kedipan sebelah matanya pada Nesya sebelum dia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Suara gebrakan pintu kamarnya sukses menyadarkan Nesya yang pikirannya sempat melanglang buana, nyaris kembali terjerat pesona seorang Alvino.  Nesya cepat-cepat menggelengkan kepala.  ‘Nggak ... Nggak ... Nes, lo harus kuat. Jangan jatuh lagi ke jurang yang sama. Sekali cowok b******k, selamanya akan jadi cowok b******k,’ gumamnya dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri untuk menjauhi Alvino.  Karena Alvino Marcello Anindito adalah jenis spesies berbahaya yang harus dia buang jauh-jauh dari hidupnya.  Dan pertarungan di antara pasangan mantan ini pun dimulai. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Kita lihat kelanjutan kisah mereka nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD