CHAPTER DUA

3177 Words
Nesya mematung di tempatnya berdiri, seolah lupa cara berbicara, dia hanya terpaku menatap tampilan toples pemuda di depannya.  ‘Ini bukan mimpi, kan? Kenapa Vino ada di sini?’ tanyanya dalam hati, tak berani mengatakannya secara terang-terangan.  Nesya mengerjapkan mata berulang kali ketika Alvino menjetikkan kedua jarinya tepat di depan wajahnya.  Nesya menepis tangan itu, baru mendapatkan kembali kesadarannya. Lantas dia berdeham untuk mengembalikan detak jantungnya yang menggila agar kembali normal.  “Maaf, bisa tolong kecilkan volume musiknya, berisik tahu. Ngeganggu tetangga,” ucap Nesya sok ketus, dia berpura-pura tak mengenali sosok tetangga barunya yang jelas-jelas mantan pacarnya.  “Kok ketus gitu sih ngomongnya? Kamu banyak berubah ya sekarang. Beda banget sama dulu.”  Suara baritone yang terdengar semakin berat dari yang Nesya ingat itu akhirnya mengudara, membuat jantung Nesya serasa siap salto hingga ke lambung. Oh, dia merindukan suara ini. Jika boleh jujur, Nesya ingin sekali memeluk pemuda di hadapannya. Tapi tidak, hubungan mereka sudah berakhir sejak dua tahun yang lalu. Dan hello, Nesya tidak akan merendahkan dirinya dengan bersikap baik pada sang mantan setelah apa yang dia lakukan pada Nesya dulu. Mematahkan hati gadis itu hingga berkeping-keping dan sulit sekali mengembalikannya agar kembali utuh bahkan hingga sekarang.  Gara-gara pemuda bernama Alvino ini juga, Nesya trauma menjalin hubungan dengan pria mana pun. Takut dikecewakan lagi atau patah hati lebih tepatnya.  “Maaf ya, lo siapa? Gue gak kenal tuh.”  Alvino melongo tak percaya sebelum suara tawa itu akhirnya membahana, sukses menarik atensi beberapa orang yang sedang berpesta di dalam kamar Alvino.  “Vin, kenapa? Siapa tuh cewek, ajak masuk sini. Gabung sama kita-kita,” teriak salah satu pria yang menjadi anggota pesta di dalam kamar Alvino.  Tanpa menjawab pertanyaan temannya, Alvino menutup pintu kamar, membuat dirinya dan Nesya kini hanya berduaan di depan kamarnya. Nesya meneguk ludahnya tanpa sadar, situasi ini membuatnya panik dan gugup seketika.  “Kamu serius lupa sama aku?” tanya Alvino, masih tak percaya Nesya sudah melupakan dirinya. Padahal baru dua tahun mereka tidak bertemu. Secepat itukah gadis itu melupakan dirinya? “Memangnya lo siapa? Kok gue lupa, ya?” sahut Nesya, masih seketus tadi.  Alvino terkekeh sambil menggelengkan kepala. Dia melangkah maju membuat Nesya refleks mundur ke belakang hingga punggungnya membentur tembok di belakangnya.  “Stop, stop, apaan sih lo? Jangan deket-deket!” katanya, ketika Alvino terus maju mendekatinya sedangkan dirinya sudah tak memiliki celah untuk menghindar.  Tak mengindahkan permintaan Nesya, Alvino terus mundur mengikis jarak di antara mereka. Dia menundukan wajah guna mendekati wajah Nesya yang kini memerah bagai kepiting rebus.  “Minggir,” pinta Nesya, gelisah sembari mendorong d**a bidang itu dengan kedua tangannya. Namun gagal karena tubuh Alvino masih diam di tempat layaknya patung.  “Kamu makin cantik ya sekarang.”  Alvino menelusuri lekuk wajah Nesya dengan tatapan tajamnya. Entah sadar atau tidak, tindakannya semakin membuat Nesya salah tingkah dengan jantung siap meloncar keluar dari rongga dadanya.  “Rambut kamu juga pendek sekarang, gak sepanjang dulu.”  Kali ini pemuda itu menyentuh rambut sebahu Nesya, mengelusnya lembut.  “Aku kangen banget sama kamu, Nes. Gak nyangka kita ketemu lagi di sini. Mungkinkah ini tandanya kita jodoh?” “Apaan sih? Pergi sana!” Nesya berujar dengan nada suara yang ditinggikan, mendorong Alvino dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya hingga sukses membuat pemuda itu mundur beberapa langkah.  “Galak banget sih sekarang padahal dulu gak gini deh. Dulu itu kamu lembut, ceria, nempel terus sama aku kayak perangko. Kamu marah sama aku?”  Nesya memutar matanya bosan, apa-apaan pemuda ini? Bersikap seolah tak terjadi apa pun di antara mereka. Padahal jelas-jelas dia yang meninggalkan Nesya. Nesya tak habis pikir dengan jalan pikiran cinta pertamanya tersebut.  “Lo gak waras, ya?” tanyanya. Alis Alvino terangkat satu. “Cukup lakuin kayak yang gue minta tadi, pelanin musiknya. Gue mau tidur, tetangga yang lain juga mau pada tidur. Lo gak tahu diri banget ya nyalain musik kenceng-kenceng kayak kost-an ini cuma lo yang nempatin aja. Baru jadi penghuni baru udah belagu.”  Alvino tertegun, menatap cengo pada Nesya yang baru selesai mengoceh.  “Apa lihat-lihat? Mau gue colok mata lo?” kata Nesya sembari memasang pose dua jarinya siap mencolok mata Alvino yang menatapnya seolah lupa cara berkedip.  Detik itu juga suara tawa Alvino menggelegar. Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.  “Sumpah ya, kamu berubah drastis banget dari yang aku kenal dulu. Secepat itu kamu berubah padahal baru dua tahun?”  ‘Baru dua tahun, dia bilang.’ Nesya mendecih dalam hati.  “Gue gak ngerasa ada yang lucu di sini. Stop ketawanya.”  Bukannya berhenti tertawa, Alvino justru semakin mengencangkan tawanya.  “Jadi, lo mau pelanin nggak volume musiknya?” “Kalau aku bilang gak mau, gimana?” “Gak tahu diri banget ya lo.” “Terserah aku dong. Suka-suka aku toh tetangga yang lain aja gak ada yang protes,” sahut Alvino tenang.  Nesya menggeram kesal hingga akhirnya dia melakukan tindakan nekat dengan membuka pintu kamar Alvino dan menerobos masuk ke dalam.  Sejenak dia tertegun melihat ada lima orang di dalam. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tengah berjoget bersama diiringi musik Hip Hop yang sedang mengalun.  Nesya mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya ketika aroma asap rokok begitu pekat tercium. Ada beberapa botol minuman keras juga di sana, bahkan dua perempuan yang sedang berjoget dengan pasangan masing-masing itu juga terlihat sedang mabuk. Gerakan mereka tak beraturan dan sesekali terlihat sempoyongan.  Nesya mengernyitkan dahi melihat pemandangan laknat tersebut. Kenapa Alvino bisa bergaul dengan orang-orang ini? Kira-kira itulah yang sedang dipikirkannya sekarang.  Alvino yang dia kenal dulu memang anak nakal, sering tertangkap basah sedang merokok namun tak sampai menenggak minuman keras. Alvino semasa remaja dulu sering bolos sampai kabur di jam sekolah tapi tetap bersikap sopan saat di hadapan guru. Alvino memang sering terlibat tawuran antar siswa SMA, berpenampilan urakan tapi pemuda itu tipe setia. Selama berpacaran dengan Nesya, tak pernah sekalipun dia terlibat dengan gadis lain.  Namun, sekarang dengan mata kepalanya sendiri, Nesya melihat ada satu gadis yang berjoget sendirian yang dia perkirakan kekasih Alvino. Padahal dulu Alvino memperlakukan Nesya begitu sopan. Tak pernah melakukan tindakan tak senonoh meski status mereka sebagai sepasang kekasih. Coba lihat sekarang, pemuda itu bahkan berani membawa seorang gadis ke kamarnya. Terlebih mereka berpesta di dalam kamarnya.  ‘Ternyata dia yang berubah bukan gue.’ gumam Nesya, tentu dalam hati.  Mengabaikan mereka yang masih berpesta, Nesya berjalan menghampiri DVD player yang masih memutar kaset musik Hip Hop tersebut. Tanpa permisi, dia mematikannya sehingga suasana berubah sunyi senyap dalam sekejap. Atensi semua penghuni kamar, kini tertuju padanya. “Vin, siapa nih cewek? Kok berani banget matiin musiknya?” tanya salah seorang pria yang terlihat terganggu dengan tindakan Nesya.  Nesya tak peduli, dia berjalan menuju pintu di mana Alvino sedang berdiri di sana. Dia nyaris melewati pintu tersebut namun dihadang oleh Alvino yang tiba-tiba mencekal tangannya.  “Kok kamu matiin musiknya?” tanyanya. “Gue udah minta baik-baik supaya musiknya dipelanin, lo gak mau, kan? Ya udah, jangan salahin gue kalau akhirnya gue sendiri yang matiin.” “Gak sopan banget tuh cewek.” Celetuk pria lainnya. Nesya mendelik tak suka detik itu juga pada sang pemilik suara.  “Kalian yang gak sopan, udah tahu ini kost-an yang dihuni banyak orang malah nyalain musik kenceng banget, malem-malem lagi. Kalau kalian mau pesta minum, pergi aja sana ke Bar. Jangan di sini.”  Salah seorang dari mereka bersiul, “ Woow, galak nih cewek. Jadi takut,” ujarnya, sambil berpura-pura bergidik dan memeluk dirinya sendiri. Sontak suara gelak tawa semua orang mengalun di dalam ruangan.  Nesya mendecih merasa dirinya sedang diejek sekarang.  “Lepasin tangan gue!” bentaknya pada Alvino yang masih mencekal tangannya. “Kalau aku gak mau, gimana? Kamu mau apa?” tantang Alvino.  Nesya menggeram hingga dia tak berpikir panjang lagi menginjak salah satu kaki Alvino dengan sekuat tenaga. Alvino merintih kesakitan, melompat-lompat sembari memegangi telapak kakinya yang diinjak Nesya.  “Ya ampun, barbar banget nih cewek,” celetuk salah seorang gadis. Dia adalah gadis yang Nesya perkirakan kekasih Alvino.  Dan sepertinya benar karena gadis itu menghampiri Alvino, merangkul pinggang pemuda itu. Nesya menggigit bibir bawah, tak dia pungkiri dirinya tak suka melihat Alvino didekati gadis lain.  “Lo yang barbar,” balas Nesya judes. “ Kalau kalian mau mesra-mesraan, jangan di sini. Kost-an ini khusus untuk orang baik-baik.”  “Lah emangnya kita bukan orang baik-baik?” tanya si gadis. “Kalau kalian orang baik-baik, nggak mungkinlah kalian pesta minuman keras di sini. Udah gitu berpasang-pasangan lagi. Kalau mau berzina jangan di sini ya. Kost-an ini nanti tercemar. Kasian ibu kost nanti kost-annya dikira tempat mesum.”  Suara gelak tawa kembali terdengar, Nesya memutar bola matanya. Tak gentar meski dirinya dikepung enam orang sekali pun. Selama menurutnya benar, dia akan membela kebenaran itu.  “Ada ustadzah lagi berkhutbah nih. Atut ... atut ...” ledek salah seorang pria.  Wajah Nesya sudah memerah sekarang, bukan menahan malu melainkan karena amarahnya sedang memuncak. Hidungnya kembang kempis layaknya banteng yang siap menyeruduk. Seandainya Nesya tokoh kartun, mungkin ujung kepalanya sudah terlihat berasap sekarang dan muncul dua tanduk.  “Dasar orang-orang nggak tahu etika dan nggak berotak. Dikasih tahu malah ngeledek,” sahut Nesya, tak peduli lagi meski kata-katanya sudah kelewat kasar. “Vin, ini cewek siapa sih? Berani banget ngata-ngatain kita?” Si gadis yang masih asyik merangkul pinggang Alvino, kembali bersuara.  Nesya menatap tajam Alvino penuh antisipasi, terlebih saat pemuda itu melepas rangkulan si gadis dan beralih melangkah mendekatinya.  Nesya tak sempat menghindar ketika Alvino menangkap salah satu tangannya. Menarik tangan itu sehingga tubuh Nesya ikut tertarik. Dan dengan tak sopannya Alvino memeluk Nesya dari belakang. Nesya menggeliat gelisah mencoba melepaskan diri, namun Alvino tak semudah itu melepaskannya.  “Cewek ini namanya Nesya Abriana Arundaya. Cewek gue,” ucap Alvino santai. Tak mempedulikan reaksi Nesya yang membulatkan mata saat mendengarnya.  Untuk beberapa saat Nesya diam bagai orang i***t, dan ketika kesadarannya akhirnya kembali. Dia menginjak kaki Alvino untuk kedua kalinya, sukses membuat dirinya terlepas dari pelukan pemuda tak tahu diri tersebut.  “Kita udah putus ya. Jangan belagak masih jadi cowok gue, Vino!!” teriak Nesya, tak terima. “Tuh kan ketahuan bohongnya. Tadi katanya lupa siapa aku, barusan jelas-jelas nyebut nama aku.” Alvino kembali menertawakan Nesya.  Merasa mati kutu karena kebohongannya terbongkar, Nesya diam seribu bahasa. Dia mendengus kasar sebelum melesat pergi meninggalkan kamar yang menurutnya penuh dengan orang-orang laknat penghuni kerak neraka.  Bergegas masuk ke dalam kamar, Nesya cepat-cepat menutup pintu kamarnya dari dalam. Sambil berdiri memunggungi daun pintu, Nesya memegangi dadanya dimana jantungnya tengah berdentum-dentum teramat kencang.  Sial, ternyata meski sudah dua tahun berlalu, sosok Alvino masih begitu berpengaruh untuk kinerja jantungnya. Kalau sekarang mereka menjadi tetangga, bagaimana bisa Nesya melupakan sosok sang mantan? Huuh, sepertinya hidup Nesya akan semakin runyam mulai sekarang.  ***   Suara ketukan pada pintu itu membangunkan Nesya dari tidur lelapnya. Kedua matanya mengerjap pelan, menguap lebar saat dengan terpaksa dia harus merubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Mengucek mata sesaat sebelum melirik ke arah jam di dinding.  Masih pukul 5 pagi, siapa gerangan yang sudah mengganggunya pagi-pagi begini?  Nesya berjalan gontai menuju pintu, mengabaikan penampilannya yang bagai singa betina baru melahirkan. Rambutnya acak-acakan tak karuan. Bagian atas piyama bergambar kartun yang satu tangannya melorot hingga bahu. Kedua matanya pun belum benar-benar terbuka, berulang kali menguap lebar karena masih dilanda rasa ngantuk.  “Iya, sebentar!” teriak Nesya. “Duuh ... siapa sih nih, pagi-pagi udah ngetuk-ngetuk pintu kamar orang?” gerutunya, masih dengan langkah gontai yang nyaris mencapai pintu.  Nesya membuka kunci, memutar kenop guna membuka pintu kamarnya. Dengan posisi dirinya yang tengah menguap lebar, pintu pun terbuka menampilkan sosok Alvino yang berdiri mematung menatap penampilan Nesya yang jauh dari kata rapi.  Nesya membeku di tempat, tanpa pikir panjang menutup pintu lagi hingga nyaris mencium hidung mancung Alvino yang berdiri tepat di depannya.  “Buka pintunya. Kenapa ditutup lagi?!” teriak Alvino, di balik pintu.  Sedangkan di dalam, Nesya tengah memegang dadanya sembari bersandar pada pintu. Jika terus seperti ini bisa-bisa dia mati muda karena sering jantungan saat bertatap muka dengan Alvino. Mantan tak tahu dirinya itu kenapa harus muncul lagi dalam hidupnya? Nesya merutuki nasibnya yang tak beruntung itu.  “Nesya!!” “Lo mau apa ke kamar gue?!” Nesya balas berteriak dari kamarnya. “Buka dulu!” “Bilang dulu lo mau apa ke kamar gue!” balas Nesya.  Alvino berdecak jengkel, “Aku butuh bantuan kamu. Please ... buka pintunya!”  Gantian Nesya yang berdecak jengkel. Terutama saat Alvino menggedor-gedor pintu tak sabar. Tak mempedulikan tetangga-tetangga sebelah yang mungkin terganggu dengan perbuatannya.  “Duuh ... tuh cowok bener-bener gak tahu diri,” gumam Nesya, kesal tiada tara. “Nesya!!” Di luar, Alvino berteriak lebih kencang dari sebelumnya.  “OK, tunggu sebentar!”  Tanpa membuang waktu, Nesya berjalan cepat menuju lemari dimana terdapat cermin besar tertempel di sana. Dia menyisir rambutnya cepat, merapikan piyama tidurnya yang tak layak dilihat. Hendak kembali menuju pintu, niatnya urung tatkala melihat tampilan wajahnya yang tak kalah berantakan.  Dia pun merubah haluan, berbalik pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi.  “Nesya, lama banget sih! Kamu niat bukain pintunya atau nggak?!”  Suara teriakan Alvino terdengar hingga ke kamar mandi. Nesya tak hentinya berdecak selagi sibuk menggosok giginya.  Setelah selesai membersihkan wajah. Dia pun berlari tergesa-gesa menuju pintu. Membuka daun pintu dengan menjeblaknya sukses membuat Alvino yang tengah bersandar pada daun pintu nyaris terjengkang ke belakang. Untung saja refleks tubuhnya bagus, jadi dia berhasil tetap berdiri tegak meski sempat oleng ke belakang dan nyaris terjungkal.  “Ya ampun, bisa nggak sih pelan-pelan buka pintunya?” ucapnya, tak habis pikir. “Salah sendiri bawel banget. Pake gedor-gedor segala lagi, ngeganggu tetangga, tahu gak?” sahut Nesya sembari bertolak pinggang, menghalangi jalan Alvino masuk ke dalam kamarnya.  “Lah kamunya lama banget buka pintu. Udah gitu tadi udah dibuka pake ditutup lagi segala.” Setelah mengatakan itu, dengan santainya seolah tak merasa bersalah karena mengganggu ketenangan umum, Alvino menoyor kening Nesya dengan telunjuknya. Membuat gadis itu bergeser sehingga memberikan celah untuk Alvino masuk ke dalam kamar gadis tersebut.  Alvino menelisik seisi kamar mantan kekasihnya. Mendengus geli tatkala menemukan beberapa boneka tergeletak tak beraturan di ranjang. Sepertinya gadisnya itu masih tak berubah, masih saja menjadi penggila boneka terutama boneka beruang.  “Lo mau apa sih sebenarnya? Seenaknya masuk ke kamar cewek?” tanya Nesya. Masih berkacak pinggang menatap Alvino yang justru tengah mengamati seisi kamarnya dengan santai. “Heeh ... Vino, denger gak sih?”  Alvino menoleh, memasang wajah polos yang membuat jantung Nesya kembali berdentum cepat bak sedang dikejar anjing galak.  “Denger kok,” jawab pemuda itu malas-malasan. “Nah, terus kenapa gak dijawab?” “Terserah aku dong. Toh ini kamar pacar sendiri. Pacar mah bebas. Iya gak?”  Nesya menggeram kesal. Alvino masih berjalan-jalan di kamar Nesya. Dia berjalan menghampiri peralatan memasak yang tergantung di dinding maupun yang tersimpan rapi di atas meja kecil.  “Kamu suka masak sendiri ya?” tanyanya.  Satu alis Nesya terangkat, dia melipat tangan di depan d**a dengan ekspresi wajah yang seolah malas menanggapi pertanyaan Alvino.  “Nes, kok nggak dijawab?” “Menurut lo?” sahut Nesya ketus. Alih-alih tersinggung, Alvino justru terkekeh geli mendapat respon sejudes itu dari sang mantan.  “Bagus deh kalau kamu masak sendiri.”  Nesya sudah membuka mulut hendak mengeluarkan suara, namun urung begitu melihat Alvino kini berjalan menuju kamar mandinya. Nesya cepat-cepat berlari, menghalangi Alvino yang berniat membuka pintu kamar mandi yang dalam keadaan tertutup. Nesya berdiri di depan pintu sembari merentangkan kedua tangan untuk mencegah Alvino menyentuh daun pintu itu.  “Mau apa lo buka-buka pintu kamar mandi gue?” “Pengin numpang kencing,” jawab Alvino santai, membuat Nesya melongo merasa pemuda itu benar-benar tak tahu malu. “Lo kan punya kamar mandi sendiri, kenapa harus numpang kencing di kamar mandi gue?” Nesya tiba-tiba terbelalak. “Jangan bilang lo datang ke kamar gue pagi-pagi buta begini cuma mau numpang kencing?”  Alvino mengangkat kedua bahunya dengan bibir terkatup rapat, beberapa detik kemudian bibir itu mengulas senyum tipis mungkin geli melihat ekspresi wajah Nesya yang masih melongo.  “Kamar mandi di kamar lo, kenapa emangnya? Salurannya tersumbat atau gimana?”  Alih-alih menjawab pertanyaan sang mantan yang kembali mengalun, Alvino hanya memiringkan kepala. Dia menatap Nesya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki membuat Nesya bergidik ngeri karena merasa Alvino tengah menelanjangi dirinya hanya dengan tatapan itu. Cepat-cepat Nesya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Tindakan refleksnya itu sukses membuat Alvino tertawa lantang.  “Kenapa lo ketawa?!” Nesya membentak, kesal bukan main dengan sikap aneh mantannya yang b******k itu.  “Lucu aja lihat kamu salah tingkah begitu. Kamu masih ada rasa ya sama aku? Jangan-jangan masih cinta?”  Nesya memutar bola matanya, “Jangan mimpi. Amit-amit deh gue cinta sama cowok kayak lo.”  Alvino mendengus kasar masih dengan senyum tipis menghiasi sudut bibir, Nesya menundukan kepala tak sanggup lebih lama lagi melihat senyuman itu atau jantungnya benar-benar akan melompat keluar dari rongga dadanya.  “Untuk menjawab pertanyaanmu yang tadi.” Nesya mengangkat kepalanya. “Kamar mandi di kamar aku baik-baik aja kok. Nggak ada kerusakan apa pun.” “Terus ngapain lo mau numpang kencing di kamar mandi gue?” tanya Nesya, wajahnya kembali melongo, terheran-heran. “Cuma pengin meriksa kamar mandi kamu aja.”  Mulut Nesya terbuka hingga membentuk huruf O sekarang, dia tak paham jalan pikiran mantannya. “Emangnya lo petugas sensus penduduk atau apaan sih ampe meriksa-meriksa kamar orang?!”  Mendengar pertanyaan Nesya yang kentara begitu jengkel, Alvino kembali menanggapinya dengan kekehan pelan. Dia pun melanjutkan langkahnya, kini pintu menuju balkon yang jadi incarannya.  Nesya tak ingin kalah cepat dengan tangan pemuda itu. Awalnya berniat mencegah tangan Alvino yang hendak membuka pintu balkon, berakhir dengan tangannya dan tangan Alvino saling menyentuh karena secara serempak memegang kenop pintu. Nesya bagai membeku di tempat, hangatnya tangan pemuda itu masih terasa familir baginya. Gadis itu ingat saat mereka masih berpacaran dulu, hampir setiap hari tangan hangat itu menggenggam tangannya. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan. Ah, jika mengingat kenangan di masa lalu, betapa mesra mereka. Alvino yang dulu begitu perhatian walau penampilan urakannya tak menunjukan hal itu. Mungkin di dunia ini hanya Nesya yang mengetahui sisi lembut seorang Alvino.  “Kenapa? Kangen ya aku sentuh?”  Nesya terkesiap, suara baritone Alvino yang tampak sedang menahan tawa itu sukses mengembalikan kesadarannya yang sempat bernostalgia dengan kenangan indah di masa lalu. Cepat-cepat Nesya menarik tangannya, dan itulah kesalahannya karena kini dengan mudah Alvino bisa membuka pintu balkon.  Alvino menelisik sekeliling balkon, ada meja dan kursi berbahan plastik berukuran kecil tak jauh dari pintu, mungkin sengaja Nesya letakkan di sana untuk tempat gadis itu bersantai. Lalu tatapan pemuda itu beralih ke arah sudut balkon di mana terdapat gantungan jemuran. Alvino mendengus saat menyadari ada banyak pakaian dalam Nesya yang tergantung di sana.  “Kamu suka jemur pakaian dalam di luar? Nggak takut apa dicuri orang?” tanya Alvino sambil menunjuk ke arah jemuran.  Nesya terbelalak, tanpa sadar dirinya menjerit. Kemudian sesegera mungkin mengambil langkah seribu menuju jemuran. Dia angkat semua pakaian dalamnya yang tergantung di sana. Alvino kembali menertawakan Nesya yang menurutnya lucu karena tiba-tiba panik hanya karena pakaian dalamnya ketahuan dijemur di luar.  “Ngapain ketawa?” Nesya mendelik tajam, tak suka Alvino terus menertawakan dirinya. “Lucu aja lihat kamu panik gitu,” jawab Alvino, setelah berhasil menghentikan tawanya. “Lo itu udah gak tahu diri, m***m pula.” “m***m?” Alvino menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. “Aku m***m?” “Ya, cowok m***m. Pasti lo mikir yang nggak-nggak kan begitu lihat pakaian dalam gue?”  Alvino mendengus sembari menggelengkan kepala. “Nggak tuh, kepedean banget,” sahutnya. Ketika tiba-tiba Alvino melangkah maju, refleks Nesya melangkah mundur hingga akses baginya mundur tak ada lagi karena kini punggungnya membentur dinding.  Alvino meletakan satu tangannya di sisi tubuh Nesya, lalu memajukan wajahnya. Nesya seolah lupa cara bernapas, jangan tanyakan kondisi jantungnya sekarang. Dia ingin mendorong tubuh Alvino agar menjauh darinya, namun tak bisa karena kedua tangannya penuh dengan pakaian dalam yang sedang dia peluk.  “Aku baru mikir yang nggak-nggak kalau lihat pakaian dalam itu melekat di tubuh kamu.” bisik Alvino pelan, tepat di dekat telinga Nesya.  Nesya yang geram tak lagi mempedulikan pakaian dalam yang sedang dia peluk, dia mendorong Alvino sekuat tenaganya agar menyingkir. “Tuh kan, lo emang cowok super m***m. Jijik gue.”  “Lain kali jangan jemur pakaian dalam di luar lagi, mendingan di dalam aja deh jemurnya.”  Nesya semakin dibuat geram karena sang mantan kini dengan berani mulai mengatur hidupnya. “Suka-suka gue dong, bukan urusan lo gue jemur di mana.”  Alvino menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua bahunya seolah tak lagi peduli dengan pemikiran Nesya. Dia pun berbalik badan, kembali melangkah memasuki kamar Nesya. Buru-buru Nesya memunguti pakaian dalamnya yang tadi berjatuhan saat mendorong Alvino. Setelah selesai, bergegas menyusul Alvino masuk kembali ke kamar.     Seolah tak merasa bersalah Alvino melenggang santai mendekati ranjang Nesya yang masih berantakan bagaikan kapal pecah. Tiba-tiba membaringkan diri di sana membuat Nesya misuh-misuh karena mulutnya langsung berteriak histeris seperti petasan meledak.  Jadi, sebenarnya apa yang diinginkan pemuda itu hingga mengganggu si malang Nesya pagi-pagi buta begitu? Baik, jawabannya akan terungkap nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD