Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.
“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di d**a sebelum melontarkan pertanyaan.
Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.
Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.
“Jaga nada bicaramu, Rif!”
Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”
“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang istri. “Kami sudah membicarakannya dan memutuskan Nila bukan perempuan yang pantas buat kamu.”
“Apa?” Arif tercengang, hampir tidak percaya dengan kesepakatan sepihak yang dibuat oleh kedua orangtuanya. “Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah dua tahun aku—”
“Karena kamu berniat melamar Nila.” Kini Deswita yang memotong ucapan putranya. “Tadinya, kami mengira kalau kamu cuma, ya ... pacaran terus putus. Sama seperti sebelum-sebelumnya.” Deswita menghabiskan jarak. Saat tangannya terulur untuk merangkul Arif, putranya mundur, menjaga jarak dengan gelengan.
“Aku serius sama Nila,” ucap Arif penuh keyakinan.
“Dan sampai kapan pun, kami nggak akan setuju dan memberi restu,” balas Ivan tegas.
“Cuma karena dia nggak punya ayah?” buru Arif kembali meninggikan nada bicaranya. “Apa salah Nila? Yang salah itu orang tuanya, jadi nggak ada hubungannya dengan Nila!”
“Yang salah memang orang tuanya, tapi kesalahan itu bisa berimbas dengan keluarga kita kalau kamu tetap menikah dengannya,” sahut Deswita melirik cepat pada sang suami. Memberi isyarat, agar segera menghampiri Arif.
“Ada reputasi yang harus kita jaga, Rif.” Ivan mengangguk kecil pada Deswita. Ia menghampiri Arif, menepuk ringan bahu putranya yang masih berdiri kaku, seolah hendak menyalurkan ketenangan. “Apa kamu nggak malu dan nggak masalah kalau jadi bulan-bulanan kolegamu karena menikah dengan perempuan seperti Nila?”
“Perempuan seperti Nila?” Arif mengulang ucapan ayahnya dengan mengerut dahi. “Ayah, Nila itu perempuan baik-baik. Dia pekerja keras dan—”
“Dia nggak punya ayah dan ibunya sampai sekarang nggak pernah menikah.” Nada bicara Deswita mulai meninggi. Ia geregetan karena Arif tidak mau memahami alasan kedua orang tuanya. “Kami melakukan semua ini demi kamu, demi masa depanmu, supaya orang-orang di luar sana nggak akan merendahkan kamu karena menikah dengan anak haram.”
“Bunda!” Hardikan itu terlepas begitu saja. Emosi yang sudah disimpan Arif sejak tadi, akhirnya meledak. “Nila nggak pernah minta dilahirkan dalam situasi seperti itu. Jadi, dia nggak pernah salah!” serunya sembari menghampiri Deswita.
Melihat hal tersebut, Ivan buru-buru menengahi. Ia melangkah ke tengah, berdiri di antara istri dan putranya dengan kedua tangan terangkat. “Ini sudah malam dan kita bicarakan lagi besok pagi,” ucapnya dengan nada datar, tetapi tegas. Bergantian menatap Deswita dan Arif.
“Oke.” Arif menghela napas panjang. Mengusap kasar wajahnya dan mengangguk setuju dengan perkataan ayahnya. Arif memang sudah lelah dan harus beristirahat agar situasi saat ini tidak semakin memburuk. “Tapi ingat satu hal, keputusanku nggak akan berubah. Aku, tetap akan menikahi Nila, dengan atau tanpa restu kalian.”
~~~~~~~~~~~~
“Akhirnya kamu pulang juga.” Kirana segera mematikan televisi layar datar yang ditontonnya dengan remote, kemudian beranjak menuju meja makan ketika melihat putrinya pulang. “Bukannya kamu libur hari ini? Tapi kenapa jam segini baru pulang? Mana nggak ngabarin Mama sama sekali.”
“Maaf.”
Nila berjalan perlahan menuju meja makan, langkahnya terasa berat. Ruang tamu yang sederhana ia lewati, langsung menghubungkan pandangannya pada meja makan kecil dan dapur terbuka di sudut ruangan. Apartemen yang ditempati Kirana memang tidak terlalu besar, hanya memiliki dua kamar kecil untuk Nila dan mamanya.
“Sudah makan?” tanya Kirana seraya membuka tudung saji. “Mama goreng ayam—”
“Siapa papaku, Ma?”
Pertanyaan yang tidak terduga itu, membuat Kirana menghentikan gerakannya. Tudung saji yang sudah dipegangnya perlahan ia letakkan kembali ke meja dengan perlahan.
“Kita ... sudah pernah bicara semua ini, kan?” Kirana mencoba mengenyahkan getaran dari suaranya. Jika dahulu selalu ada orang tuanya yang mendampingi, kini Kirana harus menghadapi Nila seorang diri. “Papamu meninggal, seminggu sebelum kami menikah.”
Nila mengangguk pelan. Berdiri di belakang kursi makan sambil mencengkram tali tas yang menyilang di tubuhnya. Nila sudah berdamai dengan statusnya sebagai anak yang lahir di luar nikah, karena ibunya mengandung lebih dulu sebelum pernikahan itu ada. Namun, tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa status itu akan menjadi penghalang dalam hubungannya dengan seseorang—setidaknya hingga pertemuannya dengan Deswita pagi ini.
“Aku tanya siapa dia,” ulang Nila tetapi tetap merendahkan suaranya. Ia tahu mamanya pasti terluka, tetapi Nila harus mengenyahkan kegusaran di dadanya. “Mama cuma ngasih tahu namanya, tapi aku nggak pernah tahu bagaimana keluarganya dan di mana makamnya.”
“Mama nggak tahu.” Kirana menahan napas sejenak. “Karena ... Mama sudah pernah cerita, kan? Kalau hubungan kami nggak direstui? Jadi ... keluarga papamu langsung memutus hubungan dan menutup semua informasi. Mereka menjauh dan ... kami juga memutuskan untuk melanjutkan hidup. Kakekmu jual rumah dan tanah warisan, supaya kita bisa tinggal di apartemen dan supaya nggak punya tetangga yang bergosip ini itu. Jadi tolong, kita sudahi pembicaraan ini sampai di sini dan jangan dibahas lagi.”