5~SN

1062 Words
“Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena. “Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.” “Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut. “Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.” “Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama. Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pagi sekali setelah membuat sarapan untuk mereka. Sebuah toko grosir sembako, yang telah dikelola oleh kakek dan neneknya dahulu kala. Sedikitnya, Nila merasa bersalah karena telah mengungkit luka yang tidak seharusnya dibicarakan. Pasti sangat menyakitkan bagi Kirana, ketika harus kembali mengingat masa lalu yang penuh kepahitan. “Serius,” balas Nena masih bertahan dengan posisinya. “Kalau kata sekred sebelum mbak Fanti, pak Djiwa nggak suka lihat karyawannya pakai baju kerja yang seksi. Kayak ... di luarnya pake blazer tapi pake dalaman yang dàdanya rendah.” “Oh.” Nila menutup buku tersebut, lalu memasukkan ke dalam tote bag-nya. “Aku sudah tanda tangan surat kontrak barusan. Jadi, aku sudah lepas dari tim produksi dan ada di redaksi.” Nena sontak melipat tangan di meja lalu mencondongkan tubuh ke arah Nila. “Aku dengar, ada pasal kalau kamu nggak boleh nikah selama terikat kontrak.” “Lima tahun.” Nila mengangguk lalu duduk pada kursi di seberang Nena. “Sete—” “WHAT!” Nena melotot tidak percaya. “Kamu kontrak langsung lima tahun? Yakin kamu nggak balikan sama Arif? Kalian itu baru—” “Nggak, Na,” sela Nila menggeleng. Meskipun sebagian dari dirinya ragu, tetapi penolakan Deswita selalu terngiang di kepala. Karena itulah, Nila tetap menandatangani surat kontrak kerja tersebut. Memantapkan diri untuk sendiri, agar tidak mengulang sakit yang sama di kemudian hari. “Kita sudah selesai.” “Aku—” “Sudah kamu tanda tangani kontraknya?” tanya Djiwa sembari melewati meja Nena dan langsung menuju ke ruang kerjanya. “Sudah, Pak!” Nila segera berdiri, pun dengan Nena yang segera meraih tablet di meja dan mengikuti pria itu masuk ke ruang kerja. “Urusan dengan pak Hamid lancar?” Djiwa kembali bertanya saat berhenti sejenak di sisi meja untuk menyalakan televisi yang ada di salah satu sisi ruang. “Lancar, Pak,” jawab Nila lagi. “Oke.” Djiwa menunjuk Nena dengan remote yang baru dipegangnya. “Ajari semua urusan sekred sama Nila. Sebelum libur weekend, dia harus tahu semuanya tanpa terkecuali. Setelah itu, kamu bisa tinggalkan Warta dan selamat menempuh hidup baru.” Nena tersenyum simpul dan mengangguk. “Siap, Pak.” “Oke.” Djiwa melirik tajam pada Nila, karena gadis itu masih terlihat bimbang. Namun, biarlah. Djiwa akan memberi kesempatan karena Nena sangat antusias ketika merekomendasikan Nila padanya. “Sekarang keluar dan selamat bekerja.” ~~~~~~~~~~~ “Nila.” Arif segera beranjak dari kursi lobi, ketika melihat gadis yang dicintainya berjalan pelan sembari memandang ponselnya. “Kenapa kamu blok nomorku?” Nila berdecak pelan. Nyeri itu terasa semakin mencekik ketika melihat Arif di depan mata seperti sekarang. “Maaf, tapi nggak ada lagi yang harus kita bicarakan.” “Jadi, kamu nggak secinta itu sama aku?” todong Arif menghalangi langkah Nila. Ia heran, kenapa Nila bisa semudah itu memutuskan hubungan tanpa mau berjuang sama sekali. Nila menarik napas dalam-dalam. Melihat ke sekitar sebentar, kemudian menunjuk ke arah pintu lobi. “Kita bicara di luar, jangan di sini.” “Aku antar kamu pulang,” ujar Arif sedikit bergeser agar bisa berjalan di samping Nila. “Besok pagi aku jemput, jadi—” “Tolong jangan hubungi aku lagi,” sela Nila tanpa menoleh pada Arif dan tetap berjalan lurus keluar lobi sembari memasukkan ponsel ke tas. “Cari perempuan yang selevel dan bisa diterima keluargamu, Mas.” “Kita bicarakan ini semua baik-baik,” pinta Arif meraih siku Nila ketika mereka sudah berada di pelataran lobi. Menghentikan langkah gadis itu, untuk melakukan sedikit negosiasi. “Dengan kepala dingin.” “Mas—” “Aku minta maaf dengan semua omongan bundaku,” sela Arif cepat. “Tapi, kita nggak bisa putus begitu aja cuma karena omongan bunda.” “Justru karena omongan tante Deswita, kita harus putus.” Nila memelankan suaranya. “Pertama, aku nggak mau kamu jadi omongan orang-orang di luar sana karena nikah sama aku. Kedua, aku nggak bisa dan nggak mau punya ibu mertua seperti bundamu. Apa sudah jelas?” “Aku tahu bundaku salah,” kata Arif tidak akan membela Deswita sama sekali. Ia lantas meraih kedua telapak tangan Nila dan menggenggamnya erat. “Tapi, anggaplah ini semua ujian.” “Dan aku harus menghadapi ujian seumur hidup dengan menikah sama kamu?” balas Nila sambil geleng-geleng. “Nggaklah, Mas! Itu baru aku, gimana dengan mamaku? Aku nggak bisa kalau harus dengar tante Deswita ngungkit masa lalu mamaku. Jadi, lebih baik aku mundur daripada harus ...” Nila membeku sejenak ketika pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan Djiwa. Pria itu tengah menaiki tangga pelataran kantor dan tatapannya singgah padanya dengan ekspresi datar selama beberapa detik. Namun, tanpa kata, Djiwa segera mengalihkan pandangannya dan kembali melangkah dengan tenang, seolah pertemuan singkat itu sama sekali tidak berarti. Nila khawatir pria itu akan salah paham dan menganggap perkataannya semalam tentang tidak akan menikah, hanyalah bualan belaka. “Dengar, Mas.” Nila segera menarik kedua tangannya dari genggaman Arif. Hal yang seharusnya sudah ia lakukan sejak tadi, sehingga Djiwa tidak perlu melihat itu semua. “Selama ini, mamaku sudah banyak menderita dan aku nggak mau hubungan kita nantinya akan membuat mamaku semakin terluka, karena ulah bundamu. Dan sebelum itu terjadi, kita akhiri semua sampai di sini.” Nila berbalik cepat memunggungi Arif, karena tidak lagi bisa membendung air mata yang tumpah tanpa permisi. “Sekarang pulanglah dan jangan lagi menjadi beban di hatiku. Kita ... selesai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD