Nasi Goreng

1268 Words
"Selamat ya, Pak Syarif. Semoga dengan menjadi nya bapak sebagai kepala sekolah, membuat perubahan yang lebih baik lagi untuk sekolah ini, termasuk siswanya juga." ucap Pak Sholeh, guru terakhir yang menyalami dan memberi ucapan selamat pada Syarif setelah rapat sore itu, menghasilkan keputusan yang mufakat bahwa Syarif lah yang menjadi kepala sekolah setelah Pak Alan dipindah tugaskan ke sekolah lain. "Terimakasih, Pak. Insyaallah saya akan menjalankan amanat ini dengan sungguh-sungguh." jawab Syarif. Dan, Pak Sholeh pun ijin untuk pulang. Tinggal Aisya yang sengaja baru keluar dari ruang rapat. Perempuan itu tersenyum simpul pada suaminya.  "Darimana saja kamu?" tanya Syarif saat baru melihat istrinya. "Sengaja aku baru muncul dan menjadi yang  terakhir ngucapin, agar ucapan ku berbeda dari yang lainnya." jawab Aisya, dia mengambil dan membawa tas Syarif yang semula dipegang laki-laki itu. "Memangnya bagaimana ucapanmu?" tanya Syarif yang berjalan karena mengikuti Aisya. Aisya berbalik untuk melihat Syarif, "Tapi aku malu." jawab perempuan itu. "Humairakuuu.." Syarif mewanti-wanti, perempuan itu masih sering malu pada suaminya sendiri. "Oke okee. Gini, selamat ya suamiku. Semoga kamu menjadi bapak kepala sekolah yang bijaksana, dan nggak galak sama muridnya." ucap Aisya sembari menggandeng tangan Syarif, dia melihat sekitar sudah sepi jadi Aisya bebas melakukannya. "Cuman gitu?" tanya Syarif sembari mencubit pipi Aisya, yang sekarang sering menjadi obyek menggemaskan bagi Syarif. "Kan ucapannya sudah berbeda dari yang lain, suamiku." jawab Aisya. "Tapi, harus kamu tau, aku akan selalu ada disampingmu, aku akan selalu ada untukmu, aku akan membuatmu merasa bahwa aku bisa diandalkan untuk membantumu. Aku mencintaimu." ucapnya lagi yang membuat Syarif tersenyum simpul. "Kamu sudah melakukan itu semua. Jadi, tidak ada kata 'akan'." ucap Syarif yang jauh lebih membuat Aisya meleleh. "Aaakh, kok jadi aku yang meleleh sih, Kak." perempuan itu bersender dipundak Syarif, menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Tuh tuh, humairakuu.. Pipimu mulai bereaksi lagi." ucap Syarif sembari tertawa. Dan alhasil, lengannya mendapat pukulan kecil dari Aisya. "Ngeselin tau nggak." ucap Aisya. "Oke, sekarang. Traktir dooongs." rengeknya. "Salah. Harusnya kamu yang masak buat aku." ucap Syarif. "Kamu tau kan, kemarin aku nyoba buat bikin nasi goreng, ini hanya nasi goreng loh, bumbunya aja bumbu yang udah jadi, tapi gosong, gagal Kak. Gagal." gerutu Aisya. Syarif tertawa, dia mengusap-usap puncak kepala Aisya. "Itu kan kemarin? Kemarinnya lagi kamu pernah masak air, dan kamu berhasil kan? Itu artinya kamu bisa masak. Mungkin kemarin kebetulan aja nasi goreng nya gosong." ucapnya. "Plis deh, Kak.. itu air, siapa sih yang gak bisa masak air? Anak kecil aja pasti bisa." Aisya menggerutu, meski sebenarnya ia tau suaminya itu hanya ingin menghibur dirinya. "Kamu kan memang anak kecil." ucap Syarif sembari tersenyum begitu manisnya. Hal yang tidak pernah bisa orang lain lihat dari diri Syarif, dan hanya Aisya lah yang bias menikmatinya setiap hari. Hanya ia satu-satunya perempuan itu. "Suamikuuu," sekarang ganti Aisya yang mewanti-wanti Syarif agar tidak memulai mendebatnya. "Oke oke. Aku akan membantumu memasak, jadi, biarpun nanti gosong aku gak terlalu kecewa, karna itu hasil ku juga." ucap Syarif masih tetap berusaha membuat istrinya itu mengerti bahwa ia akan menerima apapun rasa dari masakannya. "Tuh tuh, kamu ih." Namun menurut AIsya ini bukan lagi kata yang romantic, melainkan lebih kemengejeknya. Syarif tertawa, "Maaf-maaf, pokoknya aku mau di masakin. Dan, aku mau masak sama kamu." "Oke deh. Kamu mau di masakin apa?" tanya Aisya. "Mmm," Syarif pura-pura berpikir. "Masakan yang kemarin gosong aja deh." godanya lagi. Dan saking kesalnya, Aisya mencubit lengan suaminya itu. "Bilang nasi goreng, gitu aja. Kenapa sih pake dikasih clue segala." gerutu Aisya. "Kenapa sih kamu sensi gitu? Perasaan tadi nggak PMS?" Goda Syarif lagi. Akh ayolah, seorang Syarif sangat berbeda sekarang. "Iya, tiba-tiba PMS gara-gara kamu ini." jawab Aisya. Dan bukan Aisya yang dulu lagi, yang selalu salah tingkah karena berhadapan dengan seorang Syarif. Ia kini berani mendebat laki-laki yang telah menjadi suaminya tersebut. Syarif tertawa lagi, "Maaf lagi deh, Humairakuu." *** "Siap?" Syarif memberi aba-aba. "Eh bentar, ini susah amat pakenya, Kak." Aisya masih kesusahan memakai celemek, kedua tangannya sudah penuh dengan peralatan dapur, tapi berusaha mengikat tali celemeknya. "Ya rabb, Humairaku. Taruh dulu barangnya kan bisa," ucap Syarif sembari menuju kearah Aisya. "Issh, nanti kalo ditaruh, pake ambil lagi dong, Kak. Buang-buang waktu tau." gerutu Aisya, seolah dia sedang berada dikompetisi memasak, dan tidak boleh membuang waktu sedikitpun untuk hal-hal sepele. "Ah alesan, apa jangan-jangan kamu mau aku yang membantumu mengikat tali celemeknya?" laki-laki itu meraih tali celemeknya dan membantu perempuan itu mengikat. Sedangkan Aisya menoleh kearah Syarif sembari nyengir, "Itu juga bisa." Dia bersyukur, Syarif kini mulai peka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. "Dasar, pencari kesempatan." ucap Syarif. "Sudah. Siap belum?" "Siap doong." Ucapnya sembari berpose seolah hendak berperang. Syarif yang melihatnya hanya tertawa, hari-harinya sungguh begitu indah dengan kehadiran Aisya. "Ayo, kita mulai dari mana?" "Kita mulai dari nol ya, Kak." ucap Aisya yang sekarang menirukan mbak-mbak penunggu pom bensin. "Kamu kira ini lagi di SPBU." Ucap Syarif sembari berdecak, tidak habis fikir dengan tingkah istirnya itu. Aisya tertawa, "Sudah, sudah. Mau dimulai kan ini?" "Iya sudah. Ini aku harus apa?" "Mmm," Aisya mengetuk-ngetuk meja, mulai berpikir. Kemudian dia memperhatikan Syarif, dan laki-laki itu mengendikkan alisnya, tanda bertanya pada perempuan itu. "Bentar, bentar Kak." Aisya berjalan ke nakas kecil disamping lemari es dan mengambil ponselnya diatas benda tersebut. "Pertama, masukkan bawang merah, bawang putih, dan cabai merah ke dalam cobek kemudian haluskan." Ucap perempuan itu mengarahkan sembari masih menatap ponselnya. "Cobek mana cobeek?" Syarif mengernyitkan alisnya. "ini, cobeknya udah disini." "Oh iya iya." Aisya kembali menatap ponselnya lagi. Dia kembali melihat kearah Syarif. "Lah kok malah diem, ayo halusin ituu." Terdengar seperti ibu yang menyuruh anaknya untuk makan. "Terus kamu ngapain disitu?" "Eh mm, ini ada WA dari Adiva. Bentar ya." ucap Aisya. Padahal sebenarnya perempuan itu sedang searching resep dan tutorial memasak nasi goreng yang benar dari google. "Duuh, banyak banget lagi cara-caranya." gerutu perempuan itu, dia tidak mau terlihat kesulitan memasak saat bersama suaminya. Dia tidak mau dianggap benar-benar tidak bias masak, Aisya ingin terlihat menjadi istri terbaik yang membuat Syarif semakin menyayanginya. "Humairakuu, masih lama kah balas chatnya? Tadi kan udah bilang siap." ucap Syarif sembari menghaluskan bumbu-bumbu yang diucapkan oleh Aisya. "Bentar bentaaar, ini lagi balas chatnya sekali lagi." jawab Aisya. "Ih ini gimana hapalinnya." bisik perempuan itu pada dirinya sendiri. "Yaudah gapapa kok, bawa sini hp-nya. Kita baca bareng-bareng." sahut Syarif. Maksudnya? Apa Syarif sudah tau kalua dirinya sedang membaca resep nasi goreng? Perempuan itu langsung memerah pipinya. Dia langsung mengalihkan pandangannya kearah Syarif. "Tuh tuh, Humairaku, pipinya." Syarif berjalan kearah Aisya, setelah selesai menghaluskan bumbu-bumbu tersebut. "Sudaah, Adiva kan lagi sibuk nyiapin pernikahan, mana mungkin dia bisa balas chatmu. Sini, bawa resepnya, kita baca bareng-bareng." ucapnya sembari membawa ponsel Aisya yang ternyata memperlihatkan resep membuat nasi goreng. Laki-laki itu kembali berjalan ketempat semula sembari menahan tawanya. Meninggalkan Aisya yang memerah pipinya. "Loh ngapain masih disitu?" tanya Syarif saat melihat Aisya masih berdiri disamping lemari es. "Aku malu." gerutu Aisya. "Humairakuuu.." Syarif lagi-lagi mewanti-wanti. "Assalamualaikuum." suara itu muncul dari arah depan. "Waalaikumsalam." jawab mereka berdua. "Seperti suaranya Reena. Biar aku yang buka pintunya." ucap Aisya sembari melangkah kedepan rumah. Syarif pun menyusul. Mereka langsung melupakan acara memasak dan perdebatan lucu itu. "Reena, kenapa?" tanya Aisya saat membuka pintu dan melihat perempuan itu menangis tersedu-sedu. Perempuan bernama Reena itu segera mendekat dan menghamburkan tubuhnya, memeluk seseorang yang ada dibelakang Aisya, yaitu Syarif. "Astaghfirullah," Syarif refleks melepaskan pelukan itu, dan segera menjauh. "Maaf, ada apa Reena?" Perempuan itu masih terisak dan memperbaiki posisinya setelah mendapatkan penolakan yang sangat jelas dari Syarif. "Ada apa lagi?" tanya Aisya. Baru beberapa minggu yang lalu perempuan itu datang sambil menangis tersedu-sedu dan ribut dengan suaminya, sekarang hal itu terulang lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD