Haruskah aku merelakan Syarif?

1266 Words
"Kak Faruq," Reena menangis, dan untuk berbicara pun tersendat-sendat. Aisya jadi ingin bilang, kenapa Reena sangat lebay disetiap tingkah lakunya. Ayolah, seumuran dia memang masih labil-labilnya. "Ada apa dengan Kak Faruq?" Tanya Syarif. Beberapa hari lalu laki-laki itu terbangun ditengah malam, dan dia bercerita pada Aisya bahwa baru saja mimpi tentang Faruq dan Alfa. Entah dalam mimpi itu Faruq meminta Syarif untuk menjaga rumahnya, karena dia akan ada dinas luar kota 1 minggu, namun anehnya Alfa didalam rumah menangis tersedu, tidak memperdulikan Faruq yang akan pamit untuk pergi. "Kak Faruq kecelakaan, dan sedang kritis di rumah sakit." Jawab Reena, dia berjalan lagi menuju Syarif, ingin memeluk laki-laki itu. "Kak Syariif.." "Kita kerumah sakit sekarang." Syarif bergegas mengambil kunci mobil didalam rumah, tidak menghiraukan Reena yang ingin memeluknya. "Ayo Humairaku." Syarif menarik lengan Aisya untuk ikut dengannya. Sedangkan suami Reena baru datang menghampiri istrinya itu. "Gimana?" Tanya Rio. "Sudah kuberitau, tapi mereka tidak menghiraukan aku." Jawabnya sembari menangis tersedu dan memeluk suaminya. "Kurang ajar, nggak tau terimakasih. Yaudah ayo." *** Syarif dan Aisya kini berada dirumah sakit. Mereka berdua masih tidak percaya dengan apa yang diberi tahu Reena, tapi kenyataannya memang benar. Di ruang "Cempaka 19" tempat Faruq dirawat, ada ibu dari Syarif, dan Marzia, saudara kandung Faruq. Sedangkan kedua orang tua mereka, sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan satu lagi, yaitu Alfa dan Rubi yang ada digendongan perempuan itu. Alfa lah yang tangisnya menjadi-jadi, matanya tidak lepas dari ruang ICU. "Ya Allah, Alfa..." Aisya segera berlari. Dia menghampiri keluarga besar Syarif. "Aisya, tolong gendong Rubi." Marzia, meminta tolong untuk Aisya menggendong Rubi yang tadinya dipelukan Alfa. Gadis kecil itu menangis melihat ibunya yang menangis. "Cup cup Nak, Mama gak papa kok. Kita main didepan ya." Aisya membawa Rubi menjauh dari mereka yang sedang bersedih, memang tanpa bisa dipungkiri kesedihan ibunya pasti akan dirasakan juga oleh anaknya. "Kamu tenangkan Rubi, Humairaku." Sedang Syarif menghampiri para saudaranya, dan menelpon seseorang, entah siapa itu. *** Aisya kini sudah bisa menenangkan Rubi, matanya tidak henti mengeluarkan airmata setiap menatap gadis kecil itu. Kenapa dia merasa sedih melihat Rubi, perasaannya tidak enak sejak Reena memberi tahu keadaan Faruq. "Terimakasih, Sya." Ucap seseorang dibalik tubuhnya. "Eh," Aisya kaget dan langsung berbalik melihatnya, dan Marzia melangkah untuk mensejajarinya. "Marzi." Perempuan itu tersenyum, meski matanya sudah membengkak karena banyak menangis. "Terimakasih sudah menjaga Rubi." Aisya menjawabnya dengan senyuman. "Bagaimana keadaan Kak Faruq?" Marzi sedikit menunduk, "Dia sudah sadar dari kritisnya." "Alhamdulillah. Memangnya apa yang terjadi?" Tanya Aisya sekarang, karena melihat Marzia yang sudah bisa diajaknya bicara. "Kak Faruq berangkat dinas luar kota untuk 1 minggu," ucap Marzia yang mengingatkan Aisya ditengah malam ketika Syarif terbangun dari tidurnya karena bermimpi aneh mengenai Faruq. Ceritanya hampir sama dengan yang dikatakan oleh Marzia tadi. "Tapi mobil yang dikendarainya tiba-tiba ditabrak dari belakang oleh truk, polisi sudah menyelidikinya dan supir truk itu ternyata mengantuk." Jelas perempuan itu dengan gamblang. Aisya menghembuskan napasnya keras, kenapa perasaannya masih tidak enak. "Papa," Rubi tiba-tiba memanggil ayahnya yang masih terbaring didalam ruang ICU. Kedua perempuan itu pun menoleh dan merasa iba pada gadis kecil itu. "Aisya," suara itu muncul dibalik tubuh mereka. Dan sosok paruh baya menghampiri mereka. "Iya Bu?" Ucap Aisya ketika tau ibu mertuanya lah memanggil. "Rubi kita bawa ke Papanya ya." Ucap ibu. "Tolong, Marzia kamu gendong Rubi ya." Tambahnya. Dan mereka berjalan menuju ruang rawat. Tangan Aisya tiba-tiba digenggam oleh ibu mertuanya, genggaman yang sangat erat. Dan perempuan itu menoleh kearah ibunya, lalu Aisya hanya mendapatkan senyuman. Senyuman yang tidak dapat diartikan. Kini perempuan itu merasakan ketakutan yang berlebih. Entah takut atas dasar apa. Setelah mereka sudah sampai diruang yang hanya beberapa orang saja yang diijinkan untuk masuk, Aisya melihat Syarif dan Alfa ada disana. Menatap nanar Faruq yang sudah sadar dan tersenyum pada kedua orang itu. Aisya jadi mengingat bagaimana hubungan mereka berdua dimasa lalu. "Ais-ha." Ucap Faruq setelah melihat Aisya masuk keruangan. "Iya Kak? Bagaimana keadaan Kakak?" Aisya sedikit berbasa-basi menetralkan suasana hatinya sendiri yang gusar dan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Aisya mensejajari Syarif, laki-laki itu menggenggam tangan Aisya begitu erat. Dan perempuan itu pun membalas genggaman itu. Sedang Faruq menjawab pertanyaan Aisya hanya dengan senyuman. Senyuman yang berat rasanya. "Aku memin-ta Ais-ha kesini, untuk mengijin-kan Sharif men-jaga Alfa." Ucap Faruq yang memaksakan suaranya untuk keluar. Aisya tersenyum, "Pasti Kak, aku mengijinkan Kak Syarif untuk menjaga Alfa. Bagaimanapun kita saudara, kita harus saling menjaga." Jawab perempuan itu. "Dengan ca-ra menikah." Ucap Faruq yang mengundang petir berbunyi tepat dikedua telinga Aisya. Sekejap pandangannya dipenuhi mendung. Tangannya pun lemah dan tidak sanggup lagi membalas genggaman Syarif. Sedang laki-laki itu semakin erat menggenggam tangannya. "Aku su-dah tidak kuat. Rubi ha-rus ada ayahnya." Ucap Faruq. Matanya sangat sayu dan ingin terlelap. Aisya melihat Rubi yang ada dipelukan Marzia, didepan ruang tersebut. Gadis kecil yang tertawa geli saat Marzia mulai menggodanya. Apakah sekecil itu, Rubi sudah ditinggal sosok ayah yang harusnya melindungi dan menyayangi dia? Figur seorang pahlawan dalam keluarga kecilnya, apakah gadis kecil itu tau dan merasakannya? Aisya menunduk, Faruq masih menunggu jawabannya. "Aku tidak mau menyakitimu. Putuskan apa yang terbaik, Humairaku." Bisik Syarif pada Aisya. Sedang perempuan itu masih tertunduk dalam diamnya. "Maaf Kak Faruq, bukannya aku tidak mau. Tapi, aku harus menjaga hati istriku juga, aku tidak mungkin..." "Aku mengijinkannya Kak." Potong Aisya ketika Syarif berusaha menolak dengan halus. Meski seandainya ini permintaan terakhir, Syarif akan berpikir beribu kali untuk menikah lagi, yang pasti akan menyakiti batin Aisya. Laki-laki itu tidak mau. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menyakiti hati istrinya. "Aku mengijinkan Kak Syarif menikah dengan, Alfa." Sebenarnya sangat berat. Tapi Aisya mengatakannya penuh dengan keyakinan. Dia berpikir ulang untuk masa depan Rubi. Mungkin Alfa bisa mendapatkan orang lain untuk menjadi ayahnya. Tapi apakah bisa sehebat Faruq dan Syarif? Hanya Syarif lah satu-satunya pilihan. "Aisya," Syarif memperingati perempuan itu. Sedangkan ibu mertuanya sudah meneteskan airmata melihat kerelaan menantunya untuk kebaikan orang lain. "Alhamdulillah, Ya Allah.. La illahailallah." Suara itu yang terakhir kali terdengar sebelum Faruq menghembuskan napas terakhirnya. Itu artinya Aisya sudah menjalankan amanat yang diberikan oleh Faruq, sehingga laki-laki itu bisa pergi dengan tenang. Suara tangis kini memenuhi ruangan berwarna serba putih itu, begitupun Alfa yang sedari tadi hanya diam. Dan dengan sigap dokter beserta para perawatnya masuk kedalam ruangan itu, lalu Aisya dan yang lainnya disuruh meninggalkan ruangan itu. Aisya berjalan dengan tatapan kosong. Tiba-tiba tubuh Aisya sudah berada dipelukan yang menghangatkannya. Dan pelukan itu bergetar. Aisya melepaskan pelukan itu dan melihat sosoknya. Aisya tidak pernah melihat Syarif seperti ini, wajahnya begitu lesu dan cairan bening keluar diujung matanya. "Aku benar-benar tidak mau menyakitimu, Humairaku. Aku tidak mau." Ucapnya. Yang menjadi masalah laki-laki itu kali ini hanya Aisya, kebahagiaan perempuan itu. Hanya itu. "Suamikuu, ini semua tidak akan merubah apapun. Percayalah. Aku tidak akan merasa tersakiti. Aku tau kamu sangat mencintaiku." Mari mengingat lagi, bagaimana sikap Syarif selama ini. Laki-laki lempeng yang hanya punya satu ekspresi yaitu datar. Kini terlihat menyedihkan dengan airmatanya. Aisya sekarang mengelak atas asumsi bahwa laki-laki tidak akan mau meneteskan airmatanya didepan perempuan. Jika laki-laki itu benar-benar mencintai, maka kemustahilan itu terjadi. Bukan cengeng. Tapi karena laki-laki juga diciptakan mempunyai perasaan, tidak hanya perempuan. Maka tidak mustahil, laki-laki bisa menangis. Syarif hanya diam. Dia memeluk lagi Aisya. Perempuan itu berusaha setegar mungkin, padahal batinnya sedang berperang. Matanya terlalu berat menahan gumpalan air yang berusaha ditahannya. Dan akhirnya cairan bening itu luruh, melewati pipi Aisya dan bermuara dipunggung Syarif yang terbungkus kemeja. Aisya tidak bisa menutupi kesedihannya. "Maafkan aku, Sayang. Maaf." Syarif memeluknya dengan erat. Aku bisa berusaha tegar didepan banyak orang, tapi tidak saat melihat wajahmu. Karena dengan wajahmu, aku melihat tempat ternyaman untukku meluruhkan kesedihan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD