Anthea memakan sandwich isi sayurannya dengan lahap. Celin hanya terkekeh kecil melihatnya. Saat Anthea kembali ke kantor, ia melihat Celin berjalan melewati lobi dan menariknya pergi untuk makan siang bersama.
"Jadi, untuk apa kau ke sana?"
Anthea menunjuk dokumen di atas meja. "Oh." Celin mengangguk mengerti.
"Kau bertemu dengan Madana Gale?"
Anthea mengangguk. Ia menelan potongan terakhir sandwichnya. "Aku tidak mengerti mengapa pria seperti Gale bisa ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya," Anthea meminum colanya. "Jujur saja, kau pasti tidak munafik mengakuinya kalau Gale tampan, kaya, dan berkharisma. Tetapi mengapa dia begitu menyedihkan?"
Celin tersenyum. Dia memotong roti bakarnya dengan hati-hati. "Kau sudah melihatnya. Apa kau merasa iba padanya?"
Anthea tersenyum. Menaruh gelas colanya di atas meja. Matanya bergerak memandang jalan besar yang cukup ramai karena jam makan siang. "Tidak. Hanya saja ... entahlah. Dia begitu tersiksa," Anthea menghela napas panjang. "Apa semua pria begitu? Tidak bisa menyembunyikan rasa sedih mereka barang sedikit saja?"
Celin menggeleng. "Tidak, Anthea. Pria tidak seperti wanita yang pintar menyembunyikan perasaan mereka. Mereka cenderung mudah terlihat ketika sedang sedih. Tatapan matanya menjelaskan semuanya."
Anthea mengaduk-aduk minumannya. Ia menatap map biru berisikan dokumen yang ditandatangani Gale dengan nanar. "Entahlah, aku hanya kasihan. Gale pastilah mencintai Callia."
Celin menaruh pisau dan garpunya. Dia memandang Anthea sedih. "Dan kau juga pasti sangat mencintai Sai sampai dadamu terasa sesak dan kau sulit bernapas."
Anthea hanya tersenyum. Tidak berkata apa-apa.
.
.
Hari ini gerimis. Saat jam makan siang selesai, Celin meminta izin untuk kembali pulang lebih awal karena adiknya memiliki acara pelepasan di sekolah dimana harus diwakilkan. Celin datang mewakili Ibunya yang berhalangan hadir.
Anthea memeriksa tasnya. Tidak biasanya ia lupa membawa payung di saat cuaca yang tidak menentu seperti ini. Anthea merutuki kebodohannya, dia bergeser ke dalam agar tidak terkena tetesan air hujan atau ia akan terkena demam malamnya.
Anthea merapatkan mantel abu-abunya. Menunggu hujan reda pastilah memakan waktu. Dia melihat para pegawai lainnya ramai-ramai berlari menembus hujan menuju mobil mereka. Anthea menghela napasnya, asap keluar dari bibirnya yang terbuka kecil.
Anthea berdiri, merapikan mantelnya yang kusut karena terlalu lama dirinya duduk. Hujan berganti menjadi rintik-rintik. Tidak apa, mungkin hanya mantelnya yang basah ketika sampai ia rumah. Jika tetap di sini, mungkin saja ia akan sampai rumah malam nanti.
Matahari hampir terbenam, Anthea bersiap berjalan menuju halte sampai dia melihat mobil hitam mewah berhenti di depan tangga gedung dan Callia berlari ke luar dari dalam.
"Anthea, kau belum pulang?"
Anthea menggeleng dengan senyum. "Aku menunggu hujan reda."
Callia tampak berpikir. Pintu mobil terbuka. Menampilkan sosok Matteo Sai dengan jas abu-abu dan payung hitam di tangannya. Sai berlari menghampiri Callia dengan mengorbankan tubuhnya terkena tetesan air hujan.
"Sai!" Callia tersenyum senang.
Anthea menunduk, tidak ingin melihat adegan selanjutnya.
"Anthea, kau bisa bergabung bersama kami kalau kau mau. Sai tidak keberatan mengantarmu pulang," Callia tiba-tiba berbicara. Kepala Anthea terangkat. Wajahnya berubah kaku dan tegang.
Menggeleng dengan sopan, Anthea tersenyum. "Ah, tidak perlu. Sungguh," ia menolak dengan halus. "Aku terbiasa pulang sendiri."
Callia menatapnya dengan wajah bingung. "Matahari akan terbenam sebentar lagi. Dan kau harus menunggu bus untuk pulang. Kau bisa bersama kami, itu memakan waktu lebih cepat."
Anthea melirik ekspresi Sai yang tiba-tiba kaku. Pria itu hanya diam sembari memeluk bahu Callia yang mulai kedinginan. "Tidak, terima kasih. Kau sangat baik."
Callia menghela napasnya. Dia menepuk bahu Anthea. "Yasudah. Lain kali jangan menolakku, ya?" katanya dengan senyum.
Anthea hanya mengangguk. Tidak bisa tersenyum membalasnya.
Sai bagai pria gentle yang membukakan pintu untuk istrinya dan wajah Callia merona malu. Anthea melambaikan tangannya saat mobil itu berputar untuk keluar melewati halaman.
Hujan sudah berhenti seluruhnya. Anthea melangkahkan kakinya menginjak tanah yang basah menuju halte terdekat. Wajahnya tertunduk. Menatap kakinya yang basah karena terkena cipratan air hujan yang menggenang.
Ia duduk menunggu di sana dalam diam. Memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Anthea berusaha untuk tidak memikirkannya. Dia selalu berdoa agar diberi keikhlasan untuk membiarkan mereka bahagia.
Tapi mengapa rasanya sakit sekali?
.
.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Anthea memegang perutnya yang berbunyi karena lapar. Terakhir ia ingat, ia hanya makan sandwich siang tadi bersama Celin dan tidak memakan nasi atau makanan berat lainnya seharian ini.
Mengambil mantelnya, dia ke luar menerobos udara dingin yang menusuk tulang. Anthea memberhentikan bus yang akan membawanya menuju kedai ramen terdekat dan makan malam di sana.
Setelah memesan, Anthea sibuk menunggu sembari memainkan ponselnya. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit sampai pesanannya datang. Uap panas mengepul di atas mangkok. Anthea bisa saja makan bagai kesetanan di sini, tapi sayangnya ini tempat umum. Dia harus menjaga sikapnya.
Pintu kedai terbuka. Anthea terkejut saat melihat Callia dengan mantel hitamnya menutupi hingga sebatas hidungnya dan masuk ke dalam ruangan yang tertutup tirai. Mungkin saja bersama suaminya, pikir Anthea. Tapi semua imajinasinya pecah saat ia melihat Gale keluar dari sana menarik tangan Callia.
Kunyahan ramen di mulutnya terhenti. Anthea melihat Callia melepas pegangan tangan Gale dan menampar pria itu di pinggir jalan dengan kencang. Mungkin orang-orang yang ada di sana melihatnya, tapi Callia seakan tidak peduli.
Gale hanya diam. Pria itu bahkan berdiri kaku saat Callia kembali berteriak padanya. Anthea menutup mulutnya saat Callia memukul d**a pria itu dan meninggalkannya menuju mobil putih yang terparkir di dekat kedai.
Anthea buru-buru memakan sisa ramennya. Meninggalkan sejumlah uang di atas meja dan pergi dari sana. Ia merapatkan mantelnya. Membenarkan letak topi musim dinginnya. Ia berjalan mendekat ke arah Gale dengan beberapa jarak agar pria itu tidak merasa risih.
"Kau tidak apa?"
Asap keluar dari bibirnya yang terbuka. Wajah pucat Gale bertambah pucat karena pria itu hanya memakai jas kerja dan tidak memakai mantel di saat musim dingin hebat seperti ini. Anthea berniat membuka sarung tangannya namun suara pria itu menghentikannya.
"Menjauh dariku."
Anthea mendongak, kedua matanya basah karena menahan dingin. "Di luar sangat dingin. Aku tidak sengaja melihatmu mengigigil kedinginan," dusta Anthea. Dia membuka sarung tangan merah marunnya. "Pakai ini," memberikannya dengan paksa pada Gale. "Ini bisa membantumu lebih hangat."
Anthea memasukkan kedua tangannya di dalam saku mantelnya. Dia menatap Gale yang gemetar menahan rasa dingin. "Mengapa kau diam saja? Kenapa kau tidak pulang?"
Gale memandangnya dingin. Anthea hanya tersenyum. "Jabatanmu memang jauh di atasku kalau kita sedang bekerja. Tetapi ini malam hari, kau dan aku bertemu di jalan. Anggap saja aku bertemu dengan pejalan kaki lainnya. Jabatan kita sama di sini," Anthea tersenyum kaku ketika pria itu hanya diam dan menatapnya dingin.
Anthea melihat bekas tamparan Callia memerah di pipi kanannya. Wajah pria itu teramat pucat hingga bekas tamparan begitu membekas terlihat. Anthea semakin merapatkan mantelnya memeluk tubuhnya yang kecil.
"Aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik. Badai akan datang." Anthea berbalik menuju halte bis sampai suara pria itu membuatnya kembali berbalik.
"Bagaimana kau bisa memasang wajah baik-baik saja?"
Anthea tersenyum. "Ketika kau sudah mengikhlaskannya pergi, kau akan baik-baik saja," jawab Anthea. Dia maju dua langkah, namun kembali berbalik. "Tapi itu sangat berat. Jujur saja, aku tidak seperti yang kau lihat," kedua mata mereka bertemu. "Aku juga sama hancurnya denganmu. Mungkin lebih buruk?"
Lalu Anthea berbalik pergi. Mengejar bus terakhir yang akan membawanya pulang. Anthea menaikinya. Memilih meninggalkan Gale yang masih berdiri mematung di sana. Memegang erat sarung tangannya hingga tangannya memutih.