"Mood Callia pagi ini memburuk, kurasa," Anthea menghentikan langkahnya saat Celin tiba-tiba menghampirinya di lobi saat dia baru saja menekan sidik jari kehadirannya pada alat khusus untuk para pegawai.
"Kenapa?"
Celin mengangkat bahunya. "Entah, mungkin bertengkar dengan suaminya."
Ingatan Anthea tiba-tiba terlempar saat malam itu. Dimana Callia tiba-tiba menampar Gale dan semuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang mereka berdua bicarakan.
Anthea menaruh tasnya di atas meja kerjanya. Membuka lacinya dan mengeluarkan catatan yang berisi tugas-tugasnya. Hari ini ia memiliki penelitian di lapangan bergantian jadwal dengan Celin yang sudah melakukan tugasnya.
Pintu lift terbuka, Anthea menoleh saat Callia menghampiri mejanya. "Anthea, bisa kita bicara?"
Anthea mengangguk kaku. Dia melirik Celin yang memasang wajah bingung. Anthea mengekor di belakang Callia dan tersenyum pasrah pada Celin yang menyemangatinya melalui tatapan matanya. Mereka pergi ke lift, Callia menekan tombol lantai teratas gedung.
Pintu lift membuka, Callia melangkah anggun lebih dulu menuju kursi kosong di sana. Anthea mengikutinya dalam diam. Beribu kalimat berputar di dalam kepalanya. Apa yang terjadi? Mengapa wajah Callia begitu pucat?
Callia menarik napas panjang. Dia melihat Anthea dengan seksama. "Apa yang Madana Gale bicarakan kemarin?"
Anthea menoleh dengan wajah terkejut. Kemudian terganti dengan wajah tenang. "Tidak ada."
"Tidak ada?"
Anthea mengangguk sopan. "Tidak ada. Dia langsung menandatangani dokumen itu tanpa bertanya."
Callia mengangguk. Dia mengatur napasnya dan mengusap dahinya yang berkeringat. "Bagus. Ini sudah selesai."
Anthea tersenyum tipis. Tanpa sepengetahuan Callia.
"Mengapa kaulakukan itu? Bukankah kerjasama dengan perusahaan Madana menguntungkan kita?"
Callia memejamkan matanya, tampak berpikir. "Tidak juga. Setelah aku melihat data-data tahun kemarin, perusahaan kita mengalami kemerosotan sebanyak lima persen. Aku memangkas pengeluaran tahun kemarin."
"Itu sangat berbahaya,"
Callia mengangguk menyetujui. "Ya. Kau tahu, kita punya pegawai yang cukup banyak di lapangan. Mereka juga butuh uang. Jika ini terus berlanjut, mereka bisa-bisa tidak lagi hidup dan mendapat uang untuk makan."
Anthea tersenyum. Dia menepuk bahu Callia yang tegang. "Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik."
Callia tersenyum. Dia meremas tangan Anthea di bahunya. "Ini berkat kau. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik. Aku akan mempromosikanmu bulan depan. Apa kau mau?"
Mata Anthea sukses melebar. "Promosi jabatan?" Itu berarti gajinya akan bertambah naik. Anthea mendapatkan rumah yang layak, mendapat fasilitas seperti mobil dan kartu jaminan kesehatan yang memadai dan fasilitas lebih lainnya.
"Kau bekerja sangat keras akhir-akhir ini. Aku setuju untuk mempromosikanmu pada klien lain. Mereka juga setuju. Tinggal bagaimana saja dirimu," Callia tersenyum ketika wajah bingung Anthea sebagai jawaban ucapannya.
"Tenang saja, Anthea. Ini semua terserah padamu. Jika kau bersedia, bulan depan kami akan membicarakannya dan kau tidak lagi bekerja di ruangan sempit itu."
Anthea menunduk, memandang tautan tangannya di atas pangkuannya. "Ah, terima kasih. Akan kupikirkan."
"Sebaiknya begitu."
Mereka terdiam sesaat. Anthea memandang jauh ke depan. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajah dan anak rambutnya.
"Kau mau menemaniku membeli kopi di kedai seberang? Aku tidak pernah membeli kopi sendirian. Aku selalu menyuruh asistenku untuk membelikannya. Apa kau punya rekomendasi kopi yang enak di sana?" tanya Callia tiba-tiba.
Anthea tersenyum. "Oh, tentu saja. Ada beberapa daftar kopi yang enak di sana. Kau harus mencobanya."
"Ah, kalau begitu ayo. Aku akan belikan Celin juga."
.
.
Saat Anthea kembali dari kedai kopi dia melihat Callia berlari memeluk Sai yang duduk menunggunya di ruang tunggu. Mereka berpelukan. Anthea meremas gelas kopinya erat.
"Apa kau menungguku lama, Sai?"
Kepala Sai menggeleng. Dia tersenyum. "Aku lebih baik menunggumu disini."
"Apa kau sudah makan siang? Aku pergi untuk membeli kopi saja," kata Callia. Sai menggeleng sekali lagi. "Kalau begitu, ayo kita makan siang!" ucapnya riang.
Anthea tersenyum saat Callia pergi lebih dulu menuju parkiran. Meninggalkan Sai yang berbicara sebentar pada seorang pria yang tadi duduk bersamanya. Anthea masih berdiri kaku disana, memandang pria itu dengan tatapan nanar.
Anthea menunduk sopan saat Sai melangkah tegas melewati tubuhnya. Aroma parfum pria itu menguar menusuk hidungnya. Anthea memejamkan matanya, merasakan perasaan sesak sekali lagi yang membuat tubuhnya kembali memberikan respon negatif. Respon lemah yang sangat ia benci.
Bukankah memang seharusnya begitu? Ini jauh lebih baik dibanding Sai menyapanya dan membuat perasaannya membuncah bagai anak remaja kasmaran. Sai lebih baik diam, menganggapnya tidak ada dan tidak bicara apa-apa.
Anthea meremas gelas kopinya. Dia melangkah menuju lobi dan pergi ke lift.
.
.
Celin menemaninya berjalan sampai teras gedung. Sepanjang perjalanan Anthea menceritakan bagaimana harinya berjalan di lapangan seharian tadi. Anthea melewatkannya, melewatkan pertemuannya dengan Saveri kemarin saat di kantor Madana.
"Bukankan itu Madana Gale? Mau apa dia?"
Celin berbisik di telinganya. Membuat Anthea menoleh pada pria berbadan tegap kokoh yang bersandar di mobilnya agak jauh dari halaman gedung.
Anthea mengangkat bahunya. Dia memilih untuk kembali berjalan mengabaikan pria itu.
Celin menarik tangan Anthea dan sukses membuat Anthea terdiam. Dia menoleh ke belakang, melihat Gale tengah bicara dengan Callia diam-diam. Lagi-lagi yang Anthea dapatkan hal yang sama. Callia memukul d**a pria itu dengan keras tapi kali ini tanpa tamparan.
"Apa yang Callia lakukan?"
Callia berbalik pergi dengan air mata di wajahnya. Wanita itu menangis saat dia memasuki gedung melalui pintu samping. Gale terdiam, memukul bemper mobilnya dengan keras. Untung saja di sana cukup sepi, tidak ada pegawai yang melihat mereka berdua.
"Mereka bertengkar?" Celin menggelengkan kepalanya. "Kenapa pula Madana masih saja mengejar cinta Daviana padahal dia tahu ada cincin pengikat di jari wanitanya?"
"Dia mencintainya," jawab Anthea asal.
"Cinta itu buta. Yang perlu Gale lakukan adalah maju ke depan. Memang sulit, tapi ini akan menyakitinya jika dia terus-terusan berlaku seperti ini," Celin mendesah berat. Dia melirik Anthea yang terdiam.
Celin menepuk bahu Anthea saat wanita itu berlari menuju mobil dimana sang ibu sudah menjemputnya. Anthea tersenyum, melambaikan tangannya pada mobil tua itu setelah berlalu pergi. Dia kembali berjalan menuju halte, menunggu bus yang membawanya pulang.
Anthea mengambil tempat di ujung halte, mengeluarkan ponselnya dan memainkannya. Memeriksa pesan masuknya dan melihat perkiraan cuaca hari ini dan esok pagi.
Mematikan ponselnya, Anthea menatap lurus ke depan. Jalan tampak padat. Dirinya masih setia duduk menunggu bus yang datang. Menghela napas panjang, Anthea memainkan jemarinya. Mengurangi rasa bosannya.
Tiba-tiba sebuah tangan terulur padanya. Kepala merah mudanya mengangkat naik, melihat siapa pemilik tangan itu dengan sarung tangan di tangannya.
"Kau?"
"Ini milikmu. Aku mengembalikannya."
Anthea tersenyum sarkatis. Dia mengambil sarung tangannya. "Kau bisa membuangnya kalau kau mau. Aku masih punya warna yang sama di laci kamarku."
Pria itu mengambil tempat di sampingnya. Anthea bergeser sedikit memberi tempat untuknya duduk. "Pulanglah dengan taksi," ucapnya.
Anthea tersenyum. "Aku menghemat pengeluaranku."
Pria itu menoleh dengan alis terangkat.
"Apa kau menabung untuk membangun sebuah perusahaan besar?"
Anthea menoleh dengan wajah bingung. Kemudian dia tertawa lepas. "Tidak, tidak. Aku tidak cocok menjadi seorang pemimpin," tawanya pecah. Wajahnya memerah karena tertawa. "Aku menabung untuk masa depanku. Jika aku menikah nanti, aku tidak begitu merepoti suamiku dengan meminta memenuhi kebutuhanku," jawabnya tulus.
"Apa Sai orang yang pelit?"
Kepala Anthea menggeleng. "Tidak. Dia pria yang baik," menghela napas panjang, ada jeda panjang yang terbentuk, "sangat baik."
Mereka terdiam. Anthea tidak berniat menceritakan masa lalunya begitu juga dengan pria yang duduk di sampingnya. Bus datang dari arah kanan. Anthea berdiri, memasukkan sarung tangannya ke dalam tasnya.
Pintu bus terbuka, Anthea melambaikan tangannya pada pria itu sembari tersenyum setelah itu masuk ke dalam bus. Memilih tempat duduk di pojok kanan.
Gale melihat bus itu berjalan menjauh. Napasnya berubah panjang. Asap mengepul ke luar dari dua lubang hidungnya. Gale menatap langit dimata matahari mulai terbenam. Bekas pukulan Callia masih terasa di dadanya. Rasanya begitu sakit.
Gale mendengus, menertawai dirinya sendiri yang menyedihkan.
"Kau bukanlah kekasihnya, kau hanya mencintainya," gumam Gale pada dirinya sendiri sebelum akhirnya pergi bersama mobilnya menghilang di jalan yang padat.