Latania Anthea meremas kedua tangannya kuat-kuat ketika pendeta itu menutup kitabnya dan tersenyum manis pada pasangan yang berdiri di depannya.
"Silakan cium pasangan kalian."
Riuh sorakan dari bangku tamu terdengar nyaring di telinganya. Iris hijau beningnya menatap lurus ke depan. Dimana pasangan itu mulai mendekatkan wajah mereka masing-masing dan ciuman itu terjadi.
Para tamu segera berdiri setelah ciuman itu terjadi. Wajahnya tertunduk sesaat, menyembunyikan luka yang sempat tercetak di wajahnya.
Anthea berdiri. Ikut bertepuk tangan riuh bersama para tamu lainnya yang hadir. Bergabung untuk meramaikan suasana. Mengesampingkan semua perasaannya, ia datang karena tekad kuatnya. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun.
Bahkan, ketika tatapan mata mereka bertemu, Anthea tidak lagi memasang wajah sedihnya.
.
.
Merapikan ikatan rambutnya, Anthea menggenggam tas mungilnya. Seakan-akan hanya itu satu-satunya penopang yang dia punya.
Gilirannya kali ini. Saat para tamu selesai menyalami pengantin baru dan segera pergi untuk mengambil makanan yang sudah dihidangkan di meja-meja yang tersebar di penjuru taman.
"Selamat untuk kalian," Anthea tersenyum saat tangan pengantin pria menyambut uluran tangannya dan tersenyum. Dia sendiri tidak tahu ekspresi wajah apa yang saat ini ia tunjukkan padanya. Yang jelas, Anthea hanya merasa dirinya sedang tersenyum.
"Terima kasih."
Jabatan tangan itu terlepas. Anthea bergeser ke kenan dan berdiri tepat di depan pengantin wanita yang tersenyum lembut padanya. Wajahnya sempat menegang seketika, namun Anthea berhasil mengendalikannya dan hanya senyuman yang terlihat.
"Selamat untukmu juga," kata Anthea dan wanita itu menyambut uluran tangannya.
Matanya terbuka lebar saat pengantin wanita itu menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Tepukan di punggungnya berhasil menyadarkan Anthea dari keterkejutannya.
"Terima kasih, Anthea. Kau benar-benar mau datang!" ucapnya riang.
Pelukan itu terlepas. Anthea menatap jauh ke dalam mata aquamarine itu. "Sama-sama. Ini termasuk tugasku untuk melihat bos terbaik kami bahagia," jawabnya.
Wanita itu tertawa lepas. Membuat Anthea mau tak mau ikut tersenyum bersamanya. Lirikan matanya mengarah pada sang pria yang memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain.
Anthea hendak pergi menjauhi pasangan pengantin baru itu sebelum tangan seseorang menariknya untuk berhenti. Anthea menoleh, mendapati sang wanita tersenyum ke arahnya. "Jangan pergi. Ayo, kita foto bersama."
Anthea menatap ke kamera yang sudah bersiap mengambil gambar. Dengan ragu, ia berjalan mendekat dan berdiri di samping pengantin wanita.
"Satu, dua, tiga."
Cekrek!
"Terima kasih!" Anthea mengangguk dengan senyum, lalu pergi.
.
.
Menghembuskan napas, Anthea memutar gelas anggurnya. Pesta masih ramai dan dia tidak enak hati jika harus kembali lebih dulu. Masih banyak teman kantornya yang menikmati pesta kali ini.
Matanya tidak sengaja menangkap seseorang yang duduk bersandar sendiri pada sebuah meja bundar kecil di dekat lampu taman yang redup. Wajahnya tidak terlalu terlihat jelas dari samping, tetapi ketika Anthea menyipitkan matanya, ia mendapati ada tatapan lain yang pria itu tunjukkan pada seseorang yang berdiri di depan sana.
Pria itu berbalik dan tidak sengaja menabrak pelayan wanita yang sedang membawa nampan berisi gelas anggur baru untuk para tamu. Alis Anthea menyatu kala wajah sedih pria itu tertangkap matanya. Terlihat tidak asing.
Anthea menaruh gelasnya di atas meja. Ia berjalan mendekati pria itu namun terlambat. Bahkan, tanpa kata maaf atau apa pun, pria itu bergegas pergi meninggalkan pesta dengan wajah terluka.
"Kau baik-baik saja?" sapa Anthea pada pelayan wanita itu. Pelayan itu segera mengangguk setelah membersihkan pakaiannya dan berjalan pergi melaluinya.
Anthea mengangkat bahunya dan kembali ke mejanya. Tatapannya kembali jatuh pada pasangan pengantin yang sedang tersenyum lebar menghadap kamera. Tentu saja, ini momen sakral yang akan dikenang selamanya. Sudah seharusnya mereka mengabadikannya.
Tangan kanannya terkepal di atas meja. Anthea hanya mampu menunduk, menyembunyikan wajahnya dan kedua matanya yang mulai terasa memanas. Tidak, dia tidak akan menangis.
Sudah selesai. Semua sudah berakhir.
Sepuluh tahun yang lalu hanya akan menjadi kenangan. Tidak lebih. Semua sudah selesai di sini.
Anthea meremas tasnya. Jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukkan pukul sembilan malam. Jika ia berlama-lama di sini, bahaya bisa saja datang padanya. Jalanan menuju rumahnya sangatlah sepi. Anthea tidak akan mengambil resiko lebih jauh lagi.
Ia hendak berjalan menuju kursi pengantin dan langkahnya terhenti saat kepala pengantin pria terangkat lurus dan tatapan mata kelam itu jatuh padanya.
Anthea tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya ia berjalan pergi.
Menahan air matanya sekali lagi.
.
.
"Selamat pagi, Nona Anthea! Kau terlihat pucat pagi ini," sapa petugas pria berbadan tinggi menjulang yang berdiri di depan pintu masuk gedung.
Mata Anthea terbuka lebar karena terkejut. "Oh, benarkah?"
Petugas itu mengangguk dengan senyum sebelum akhirnya ia mempersilahkan Anthea masuk ke dalam gedung.
Setelah masuk, Anthea tidak menemukan adanya hal aneh di sana. Pernikahan sudah selesai dan para pegawai tetap bekerja seperti biasa. Mungkin, bos mereka sedang pergi bulan madu bersama suaminya. Mungkin saja.
"Anthea!"
Anthea menoleh setelah jari telunjuknya menekan tombol lift. Dengan senyum tipis, Anthea melambaikan tangannya dan Celin berlari mendekatinya dengan napas tersengal. "Kupikir, aku terlambat," desahnya. Celin memperbaiki ikatan rambutnya. "Aku semalam mencarimu, kau pulang lebih awal?"
Anthea mengangguk. "Aku takut jika pulang terlalu malam, seseorang akan membunuhku di jalan," bisiknya. Celin memutar matanya. "Kau selalu berkata seperti itu. Tidak akan ada yang berani membunuhmu, mereka akan berpikir dua kali jika menyentuhmu."
Anthea tertawa kecil dan tak lama pintu lift terbuka. Mereka berdua masuk diikuti dengan dua orang pria ke dalam lift.
"Aku melihat atasan kita sangat bahagia semalam. Kurasa, Callia benar-benar mencintainya," ucap Celin pelan. Anthea menoleh dengan alis terangkat. "Bagaimana bisa kau menyebut atasan kita dengan namanya saja tanpa ada kata 'nyonya' di awalannya?"
Celin mendengus. "Dia tidak ada di sini. Santai saja," Celin tersenyum. "Lagipula, kita bertiga seumuran. Kita berada di kelas yang sama saat sekolah dulu. Hanya saja, nasib dan latar belakang yang membedakan antara kita dan dirinya."
Anthea menyenggol pundak Celin agak keras. "Yang terpenting kita bisa memenuhi hidup kita sendiri itu adalah suatu pencapaian yang besar."
"Kau benar."
Pintu lift terbuka, dua orang pria yang masuk bersamanya keluar. Hanya tersisa mereka berdua di dalam lift.
"Apa kita akan pulang malam hari ini?
Anthea mengangkat bahunya. "Tidak tahu. Mungkin saja," kepala merah mudanya menoleh. "Apa atasan kita sedang bulan madu?"
Celin mendesah. "Kudengar dari Saveri, Callia akan pergi bulan madu bulan depan. Mereka berdua memiliki kesibukan yang padat. Hm, Callia punya jadwal yang padat sebagai seorang CEO besar dan suaminya hmm siapa nama suaminya?"
Anthea terkekeh kecil. "Sai?"
"Ah, ya, Sai. Dia juga seorang manager kelas atas di sebuah perusahaan konstruksi. Kurasa, itu memakan waktu lama sampai mereka bisa menyesuaikan waktu bersama untuk pergi bulan madu," jawabnya panjang lebar.
Anthea mengangguk dalam diam. Tatapannya kembali lurus ke depan. Berusaha menyingkirkan semua pikiran tentang pria itu di dalam kepalanya.