2

1014 Words
Latania Anthea meremas  kedua tangannya kuat-kuat ketika pendeta itu menutup kitabnya dan  tersenyum manis pada pasangan yang berdiri di depannya. "Silakan cium pasangan kalian." Riuh sorakan dari bangku  tamu terdengar nyaring di telinganya. Iris hijau beningnya menatap  lurus ke depan. Dimana pasangan itu mulai mendekatkan wajah mereka  masing-masing dan ciuman itu terjadi. Para tamu segera berdiri  setelah ciuman itu terjadi. Wajahnya tertunduk sesaat, menyembunyikan  luka yang sempat tercetak di wajahnya. Anthea berdiri. Ikut  bertepuk tangan riuh bersama para tamu lainnya yang hadir. Bergabung  untuk meramaikan suasana. Mengesampingkan semua perasaannya, ia datang  karena tekad kuatnya. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun. Bahkan, ketika tatapan mata mereka bertemu, Anthea tidak lagi memasang wajah sedihnya. . . Merapikan ikatan rambutnya, Anthea menggenggam tas mungilnya. Seakan-akan hanya itu satu-satunya penopang yang dia punya. Gilirannya kali ini.  Saat para tamu selesai menyalami pengantin baru dan segera pergi untuk  mengambil makanan yang sudah dihidangkan di meja-meja yang tersebar di  penjuru taman. "Selamat untuk kalian,"  Anthea tersenyum saat tangan pengantin pria menyambut uluran tangannya  dan tersenyum. Dia sendiri tidak tahu ekspresi wajah apa yang saat ini  ia tunjukkan padanya. Yang jelas, Anthea hanya merasa dirinya sedang  tersenyum. "Terima kasih." Jabatan tangan itu  terlepas. Anthea bergeser ke kenan dan berdiri tepat di depan pengantin  wanita yang tersenyum lembut padanya. Wajahnya sempat menegang seketika,  namun Anthea berhasil mengendalikannya dan hanya senyuman yang  terlihat. "Selamat untukmu juga," kata Anthea dan wanita itu menyambut uluran tangannya. Matanya terbuka lebar  saat pengantin wanita itu menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Tepukan  di punggungnya berhasil menyadarkan Anthea dari keterkejutannya. "Terima kasih, Anthea. Kau benar-benar mau datang!" ucapnya riang. Pelukan itu terlepas. Anthea menatap jauh ke dalam mata aquamarine itu. "Sama-sama. Ini termasuk tugasku untuk melihat bos terbaik kami bahagia," jawabnya. Wanita itu tertawa  lepas. Membuat Anthea mau tak mau ikut tersenyum bersamanya. Lirikan  matanya mengarah pada sang pria yang memilih untuk memalingkan wajahnya  ke arah lain. Anthea hendak pergi  menjauhi pasangan pengantin baru itu sebelum tangan seseorang menariknya  untuk berhenti. Anthea menoleh, mendapati sang wanita tersenyum ke  arahnya. "Jangan pergi. Ayo, kita foto bersama." Anthea menatap ke kamera  yang sudah bersiap mengambil gambar. Dengan ragu, ia berjalan mendekat  dan berdiri di samping pengantin wanita. "Satu, dua, tiga." Cekrek! "Terima kasih!" Anthea mengangguk dengan senyum, lalu pergi. . . Menghembuskan napas,  Anthea memutar gelas anggurnya. Pesta masih ramai dan dia tidak enak  hati jika harus kembali lebih dulu. Masih banyak teman kantornya yang  menikmati pesta kali ini. Matanya tidak sengaja  menangkap seseorang yang duduk bersandar sendiri pada sebuah meja bundar  kecil di dekat lampu taman yang redup. Wajahnya tidak terlalu terlihat  jelas dari samping, tetapi ketika Anthea menyipitkan matanya, ia  mendapati ada tatapan lain yang pria itu tunjukkan pada seseorang yang  berdiri di depan sana. Pria itu berbalik dan  tidak sengaja menabrak pelayan wanita yang sedang membawa nampan berisi  gelas anggur baru untuk para tamu. Alis Anthea menyatu kala wajah sedih  pria itu tertangkap matanya. Terlihat tidak asing. Anthea menaruh gelasnya  di atas meja. Ia berjalan mendekati pria itu namun terlambat. Bahkan,  tanpa kata maaf atau apa pun, pria itu bergegas pergi meninggalkan pesta  dengan wajah terluka. "Kau baik-baik saja?"  sapa Anthea pada pelayan wanita itu. Pelayan itu segera mengangguk  setelah membersihkan pakaiannya dan berjalan pergi melaluinya. Anthea mengangkat  bahunya dan kembali ke mejanya. Tatapannya kembali jatuh pada pasangan  pengantin yang sedang tersenyum lebar menghadap kamera. Tentu saja, ini  momen sakral yang akan dikenang selamanya. Sudah seharusnya mereka  mengabadikannya. Tangan kanannya terkepal  di atas meja. Anthea hanya mampu menunduk, menyembunyikan wajahnya dan  kedua matanya yang mulai terasa memanas. Tidak, dia tidak akan menangis. Sudah selesai. Semua sudah berakhir. Sepuluh tahun yang lalu hanya akan menjadi kenangan. Tidak lebih. Semua sudah selesai di sini. Anthea meremas tasnya.  Jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukkan  pukul sembilan malam. Jika ia berlama-lama di sini, bahaya bisa saja  datang padanya. Jalanan menuju rumahnya sangatlah sepi. Anthea tidak  akan mengambil resiko lebih jauh lagi. Ia hendak berjalan  menuju kursi pengantin dan langkahnya terhenti saat kepala pengantin  pria terangkat lurus dan tatapan mata kelam itu jatuh padanya. Anthea tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya ia berjalan pergi. Menahan air matanya sekali lagi. . . "Selamat pagi, Nona  Anthea! Kau terlihat pucat pagi ini," sapa petugas pria berbadan tinggi  menjulang yang berdiri di depan pintu masuk gedung. Mata Anthea terbuka lebar karena terkejut. "Oh, benarkah?" Petugas itu mengangguk dengan senyum sebelum akhirnya ia mempersilahkan Anthea masuk ke dalam gedung. Setelah masuk, Anthea  tidak menemukan adanya hal aneh di sana. Pernikahan sudah selesai dan  para pegawai tetap bekerja seperti biasa. Mungkin, bos mereka sedang  pergi bulan madu bersama suaminya. Mungkin saja. "Anthea!" Anthea menoleh setelah  jari telunjuknya menekan tombol lift. Dengan senyum tipis, Anthea  melambaikan tangannya dan Celin berlari mendekatinya dengan napas  tersengal. "Kupikir, aku terlambat," desahnya. Celin memperbaiki ikatan  rambutnya. "Aku semalam mencarimu, kau pulang lebih awal?" Anthea mengangguk. "Aku  takut jika pulang terlalu malam, seseorang akan membunuhku di jalan,"  bisiknya. Celin memutar matanya. "Kau selalu berkata seperti itu. Tidak  akan ada yang berani membunuhmu, mereka akan berpikir dua kali jika  menyentuhmu." Anthea tertawa kecil dan tak lama pintu lift terbuka. Mereka berdua masuk diikuti dengan dua orang pria ke dalam lift. "Aku melihat atasan kita  sangat bahagia semalam. Kurasa, Callia benar-benar mencintainya," ucap  Celin pelan. Anthea menoleh dengan alis terangkat. "Bagaimana bisa kau  menyebut atasan kita dengan namanya saja tanpa ada kata 'nyonya' di  awalannya?" Celin mendengus. "Dia  tidak ada di sini. Santai saja," Celin tersenyum. "Lagipula, kita  bertiga seumuran. Kita berada di kelas yang sama saat sekolah dulu.  Hanya saja, nasib dan latar belakang yang membedakan antara kita dan  dirinya." Anthea menyenggol pundak  Celin agak keras. "Yang terpenting kita bisa memenuhi hidup kita  sendiri itu adalah suatu pencapaian yang besar." "Kau benar." Pintu lift terbuka, dua orang pria yang masuk bersamanya keluar. Hanya tersisa mereka berdua di dalam lift. "Apa kita akan pulang malam hari ini? Anthea mengangkat bahunya. "Tidak tahu. Mungkin saja," kepala merah mudanya menoleh. "Apa atasan kita sedang bulan madu?" Celin mendesah.  "Kudengar dari Saveri, Callia akan pergi bulan madu bulan depan. Mereka  berdua memiliki kesibukan yang padat. Hm, Callia punya jadwal yang padat  sebagai seorang CEO besar dan suaminya hmm siapa nama suaminya?" Anthea terkekeh kecil. "Sai?" "Ah, ya, Sai. Dia juga  seorang manager kelas atas di sebuah perusahaan konstruksi. Kurasa, itu  memakan waktu lama sampai mereka bisa menyesuaikan waktu bersama untuk  pergi bulan madu," jawabnya panjang lebar. Anthea mengangguk dalam  diam. Tatapannya kembali lurus ke depan. Berusaha menyingkirkan semua  pikiran tentang pria itu di dalam kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD