3

1646 Words
Anthea menopang dagunya  di atas meja kerjanya. Tiga catatan kecil yang ia tempelkan pada layar  monitornya seakan menatapnya horror. Tiga tugas yang harus ia kerjakan  dalam waktu dua minggu. Menyebalkan. "Berapa banyak lagi yang harus kuhitung?" desahnya lelah. Celin mengintip dari  celah pembatas yang membatasi antara mejanya dengan meja Anthea. Dia  tersenyum melihat pekerjaan Anthea yang hampir selesai. "Aku akan mentraktirmu minum jika kau mau membantu menghitung pekerjaanku," bisik Celin yang membuat Anthea mendesah. "Tidak. Kau selalu  berkata seperti itu seribu kali tapi tetap saja aku yang membayarnya,"  balas Anthea sarkatis dengan wajah kesal yang dibuat-buat. Celin tersenyum merasa bersalah dan Anthea kembali memutar kursinya menghadap layar. "Jam makan siang, Anthea. Kau turun atau tidak?" "Aku harus pergi membeli  sosis dan kopi. Aku benar-benar butuh makanan berlemak," jawab Anthea  sembari membersihkan mejanya dan mengambil dompetnya dari dalam laci. "Kau akan gendut," "Aku tidak peduli." "Kalau begitu, aku titip  juga. Belikan aku dua sosis dengan saus pedas di atasnya. Aku ingin jus  jambu dingin," Anthea menoleh dengan mulut terbuka hendak menyela  ucapan Celin sebelum gadis bermata teduh itu menyodorkan beberapa uang  pada Anthea. "Tolong, ya? Pekerjaanku belum selesai. Aku harus mengejar waktu untuk menyelesaikannya. Tetapi, aku sangat lapar." Anthea mengangguk dengan senyum tipis. "Aku bawakan nanti." "Ah, terima kasih, Anthea!" Anthea melambaikan  tangannya dan pergi menuju lift yang akan membawanya ke lobi. Jam makan  siang biasanya berlangsung sampai satu jam. Cukup lama sampai ia bisa  bersantai dan menikmati udara Jepang di siang hari. Sudah hampir empat tahun  Anthea bekerja pada sebuah perusahaan bidang produksi. Perusahaan ini  milik keluarga besar Daviana yang berdiri sudah hampir tiga puluh tahun  lamanya dengan anak perusahaan yang menyebar luas di seluruh kota  Jepang. Anthea bekerja langsung untuk kantor pusatnya. Dengan  perbandingan gaji yang cukup jauh dari anak perusahaan lainnya, itu  mencukupi kebutuhannya hidup sendiri di sini. Anthea menghembuskan  napas panjang saat ia melangkahkan kakinya ke luar dari pintu masuk  gedung. Langkahnya terhenti saat ia melihat seorang pria keluar dari  dalam mobil mewahnya dan berjalan menaiki tangga masuk ke dalam gedung. Matanya menyipit tajam saat melihatnya. Pria itu! Pria yang sama semalam. Ia melihat pria itu datang ke pesta pernikahan Callia! "Selamat datang Tuan Madana," sapa petugas pria yang sama saat menyapa Anthea pagi tadi. Pria itu hanya  mengangguk singkat dan berlalu pergi begitu saja. Ada aura yang tidak  Anthea mengerti dari pria itu sangat terasa padanya. "Madana? Dia Madana  Addi?" Anthea menutup mulutnya yang terbuka karena rasa terkejutnya.  Dia bertemu langsung dengan Madana Addi, CEO besar yang sangat  dikagumi itu. "Oh, ini hebat." Gumamnya pada diri sendiri sebelum akhirnya menuruni anak tangga dan pergi membeli makan siang. . . "Ya Tuhan, kau  benar-benar lama, Anthea," Anthea menghentikan langkahnya saat mendapati  Celin berdiri gelisah di dalam lift. Memandangnya dengan kesal. "Kupikir, kau pingsan  karena kelelahan. Wajahmu pucat pagi tadi. Aku merasa bersalah padamu,"  ucap Celin setelah menarik Anthea masuk ke dalam lift. "Aku tadi duduk  sebentar. Mencari udara segar di luar. Kau harus mencobanya, Celin,"  kata Anthea. Celin mengangguk masam. "Aku akan pergi besok." "Kita makan di taman  saja. Bagaimana?" tawar Anthea yang diberi anggukan Celin. Celin  menekan tombol nomor pada lift dan lift yang mereka tumpangi segera naik  ke atas menuju tempat tujuan. . . Saat Anthea ke luar  bersama Celin, ia bertemu dengan pria yang ia kira bernama Madana  Addi di lantai dua puluh. Pria itu sedang berdiri bersandar pada  sebuah lorong panjang yang menghubungkan antara ruang pribadi milik Callia  dan lift pribadinya. "Untuk apa dia datang  kemari? Bukankah hubungan mereka sudah selesai?" bisik Celin. Anthea  mendengarnya seperti gumaman kecil. Sepertinya Celin sengaja tidak  berbicara keras di sini. "Ayo," Celin menarik  tangannya menuju lorong berbelok sebelah kanan yang berujung pada taman  buatan dimana taman ini sengaja didesain untuk para pegawai bersantai  dari tugas dan pekerjaan yang mereka lakukan. Sekedar menghirup udara  segar atau duduk bersantai menikmati pemandangan langit cerah dari  lantai dua puluh gedung. "Siapa dia?" tanya Anthea saat mereka duduk di bawah bangku panjang yang ada di taman. "Pria tadi? Itu Madana Gale. Kau tidak tahu?" tanya Celin balik saat mereka tengah membuka bungkusan sosis. Anthea menggeleng. Jadi, pria tadi bukan Madana Addi? Kenapa wajah mereka mirip? Anthea bergumam dalam hati. "Kupikir, Madana  Addi," jawabnya polos. Celin menggeleng cepat. "Tidak. Dia Madana  Gale, adik kandung dari Madana Addi dan putra bungsu Madana Kavin.  Kau pasti mengenal dua pria itu, 'kan?" Anthea mengangguk. "Kau seharusnya banyak  menonton televisi dan membaca koran. Kau akan tahu bagaimana hidup  keluarga Madana berjalan," kata Celin sembari memakan sosisnya.  "Menyedihkan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Di antara keluarga  Madana yang lain, aku begitu mengasihani Madana Gale." Anthea meminum jusnya. "Apa yang terjadi?" Celin mengangkat  bahunya. "Aku sendiri tidak benar-benar yakin. Aku mengetahuinya karena  Saveri bekerja dengannya. Tetapi, Saveri tidak pernah mau menceritakan  hal sensitif seperti itu padaku." "Aku melihatnya beberapa  kali. Seingatku sebulan yang lalu di depan pintu masuk. Dia seperti  menunggu seseorang," balas Anthea. "Semalam juga aku bertemu dengannya  di pesta pernikahan Callia. Aku berusaha mengingat siapa dia, wajahnya  tidak asing. Dan ternyata aku pernah melihatnya," Anthea menggigit  sosisnya. "Aku juga bertemunya saat keluar membeli makanan tadi di pintu  masuk." Celin tersenyum sedih. "Kupikir, Gale kemari untuk Callia. Ini sulit, Callia adalah cinta pertamanya." Kunyahan di mulutnya  terhenti seketika. Iris hijaunya menatap lurus ke depan. Seolah ada batu  besar yang dijatuhkan di atas kepalanya. Anthea menaruh gelas jus di  sampingnya dan terdiam. "Kudengar, Callia dan  Gale berteman sejak mereka masih kecil. Sangat klasik. Seperti cerita  yang sering k****a di novel atau drama romantis yang sering kutonton  setiap minggu pagi, tapi ini benar-benar nyata. Dan Gale  mencintainya," ucap Celin setelah menelan sosis potongnya. "Mereka berdua terlahir dari keluarga kaya, bukannya?" Celin mengangguk. "Ya,  kekayaan kedua keluarga itu tidak bisa lagi dihitung dengan akal sehat.  Tetapi, bukankah hidup selalu memberi pelajaran? Tidak selamanya apa  yang kauinginkan akan kau dapat. Tidak selamanya kehidupanmu berjalan  sesuai maumu, tidak semudah itu." "Kupikir, mereka saling mencintai," bisik Anthea. "Awalnya, aku juga  berpikir sama denganmu, tetapi semalam aku melihat Gale begitu hancur.  Dia datang dengan perisai yang kuat namun runtuh saat melihat cincin  itu berakhir di jari manis Callia," jawab Celin lirih. "Gale adalah pria  yang baik. Sayangnya, itu tidak terlihat karena tertutup oleh wajahnya  yang dingin dan sikapnya terlalu tertutup pada orang lain." Celin menoleh pada  Anthea yang terdiam di tempatnya. Tubuh gadis itu tampak seperti batu.  Tegang dan kaku. Anthea tidak bergerak sedikit pun. Bahkan, dari samping  tampak Anthea sedang menahan sesuatu yang tidak Celin tahu. "Mengapa bisa Callia menikah dengan Sai, Anthea? Bagaimana menurutmu?" Remasan Anthea pada rok hitamnya menguat. Kedua matanya mulai terasa memanas. "Mereka saling mencintai, mungkin?" bisik Anthea yang terdengar seperti gumaman kecil. Celin mengangguk singkat. Tetapi, pandangannya masih belum lepas darinya. "Bukan karena ikatan perjodohan?" Pertanyaan Celin sukses  membuat pertahanannya hancur. Anthea memejamkan matanya dan air mata  itu meluncur bebas turun ke pipinya. Remasan pada roknya melemah, kedua  tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. "Anthea?" Anthea menurunkan kedua tangannya setelah menghapus air matanya. Ia tersenyum pada Celin. "Dia, Sai, adalah kekasihku." Dan detik itu juga,  Anthea sukses membuat Celin menjatuhkan gelas jus jambunya dan membuat  gadis itu membelalak terkejut dengan mulut terbuka. . . Anthea menolak tawaran  Celin untuk pulang bersamanya karena Anthea akan pulang dengan bus umum  dan pergi ke suatu tempat untuk membeli sebuah barang. Saat Anthea keluar dari  pintu masuk, ia melihat Madana Gale berdiri tepat di bawah tangga  dengan bersandar pada mobil hitam mewahnya. Anthea melirik jamnya, pukul  tujuh malam. Dan seluruh aktifitas di dalam gedung sudah berhenti sejak  dua jam yang lalu. Anthea segera berjalan  menuruni anak tangga dan tatapan tajam pria itu sempat mengarah padanya  sebelum akhirnya Gale mengalihkan pandangannya ke arah lain dan  bersikap tidak peduli. Beberapa detik  setelahnya, Anthea mendengar sebuah mobil mendekat ke arah pintu masuk  gedung dan berhenti agak jauh di sana. Anthea memandang mobil hitam itu  sekilas sebelum ia mendengar sebuah suara berat dari belakang  punggungnya menyapa seseorang. "Selamat malam, Nyonya Daviana. Hati-hati di jalan." Anthea memutar kepalanya  dan mendapati Callia tengah berjalan menuruni anak tangga. Anthea  tersenyum dan mengangguk sopan padanya. Callia tersenyum setelah menepuk  pundaknya. Ada hal yang sangat  memukulnya. Anthea benar-benar melihat Callia mengabaikan Gale yang  mungkin sejak tadi berdiri di sana menunggunya. Anthea tahu ini salah,  tapi bisakah? Pandangan Anthea  mengikuti langkah Callia yang berjalan mendekati mobil hitam yang baru saja  tiba di sana. Ketika pintu pengemudi terbuka, Anthea membeku di  tempatnya. Itu Sai. Pandangan Gale juga  mengikutinya. Anthea bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya barang  selangkah untuk berlari dari sana sejauh mungkin. Dia tidak bisa. Saat Sai datang dan Callia  memeluknya, Anthea tidak bisa untuk memalingkan wajahnya. Fokusnya hanya  pada pasangan pengantin baru di depan sana. Melihat bagaimana cara Sai  memperlakukan Callia dengan lembut. Callia masuk ke dalam mobil dan Sai sama sekali tidak melihatnya. Anthea menunduk, menyembunyikan wajahnya. Mobil hitam itu  perlahan-lahan mundur dan berbelok arah menuju gerbang utama yang  berhubungan langsung dengan jalan besar. Mobil itu akhirnya pergi dan  menghilang bersama mobil lainnya yang melintas. Anthea menutup mulutnya,  dia tidak mungkin menangis di sini. Tidak mungkin bertingkah konyol  karena hal kecil seperti tadi. Tapi, mengapa rasanya sangat sakit? Anthea mengusap wajahnya  dan berjalan pergi. Tetapi, sebelum ia melangkah lebih jauh lagi, ia  menoleh ke belakang. Mendapati Madana Gale masih berdiri di sana  dengan ekspresi dingin yang Anthea yakini, itu ekspresi wajah terluka  yang sangat dalam. Anthea terdiam.  Memikirkan hubungan apa yang terjalin di antara keduanya. Tapi, ada satu  hal yang bisa ia ambil di sini kalau dia tidak sendirian. Dia tidak  sendiri menanggung rasa sakitnya. Iris kelam itu memutar  dan kini menatap matanya. Anthea sendiri bahkan tidak tahu apakah pria  itu tahu kalau kini kedua matanya mulai memerah karena menahan tangis. Tidak, dia tidak  sendirian. Pria itu jauh lebih menyedihkan dibanding dirinya. Pria itu  jauh lebih menderita dibanding dirinya dan dia melihatnya. Anthea memberikan senyum  kecilnya dan berharap itu bisa menghibur hati Gale yang terluka.  Namun, sayangnya tidak ada respon. Gale hanya menatapnya kosong. Anthea memutar  kepalanya. Pandangannya lurus ke depan. Ia mulai melangkah satu demi  satu sampai suara Gale yang cukup keras berhasil membuat langkahnya  terhenti. "Matteo Sai ..." Anthea meremas tas kerjanya kuat-kuat. "Bukankah dia kekasihmu?" Anthea terdiam di tempatnya. Dia menoleh ke arah Gale dan pria itu tersenyum dingin padanya. "Kau. Juga. Menyedihkan." Anthea tersenyum lebar. "Tidak, Tuan. Dia hanya temanku. Kami berdua adalah sahabat dekat," dustanya. Anthea kembali berbalik setelah mengucapkan selamat malam dengan sopan sebelum suara berat itu kembali mengusik langkahnya. "Aku juga menyedihkan, sama seperti dirimu." Dan Anthea tetap berjalan lurus ke depan tanpa lagi menoleh ke belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD