“Baiklah kalau begitu. Aku yang maju pertama kalau kamu tidak mau. Wanita itu tidak terlalu buruk juga, malah cukup menarik!” papar Darren diiringi senyuman manis pada wanita yang terlihat ketakutan.
“Thanks Bro, gue suka mode wanita kampung kayak dia,” imbuh Darren lagi seraya berjalan menghampiri wanita di depannya.
Aretha mundur satu langkah ke belakang dengan degupan jantung yang menggila. Sumpah demi apa, Aretha tidak siap bahkan tidak ikhlas menyerahkan kesuciannya pada pria manapun kecuali suaminya nanti sekalipun pria di depannya itu terlihat tampan.
Belum juga degupan jantungnya kembali normal, Aretha menjerit keras bersamaan kedua matanya yang membulat ketika seseorang dengan cepat menggendongnya bak karung beras yang diletakan di bahu lebarnya pergi dari tempat tersebut.
“Kamar yang kosong mana, Ras?” tanyanya seraya menaiki anak tangga.
“Hah?”
Andreas celingukan, lalu kedua matanya menatap tak percaya pada pria yang menaiki anak tangga. Buru-buru Andreas menjawab. “Kamar paling ujung juga kosong, Shell!” jawab Andreas keras.
Antara percaya tidak percaya. Andreas tersenyum senang karena pada akhirnya saudaranya lah yang membawa wanita itu bukan Darren.
Kejadian langkah ini membuat beberapa pria di ruangan tengah itu pun pandangi Anshell dengan kening berkerut. Pasalnya mereka tumbuh bersama sejak kecil hingga kini mereka tumbuh dewasa pun masih tetap solid. Melihat sikap Anshell yang teguh dengan pendiriannya, tidak akan pernah bercinta dengan wanita yang dicintainya pun akhirnya pupus sudah.
“Ada apa dengan Anshell?”
Darren mengkendikan bahunya tidak tahu. Dia pun sama, bertanya-tanya dalam hati akan sikap saudaranya itu yang mendadak aneh. Bukannya tadi pria itu tidak berminat?
“Aneh sekali dia mau bercinta dengan wanita malam? Apa cintanya sama supermodel itu sudah goyang saking terus ditolak?” tanya Marcus pada teman-temannya.
Jordan menghela nafas pelan seraya mengangkat tubuh Beby yang berada di atasnya setelah pasukan adiknya keluar. “Entah, gue juga nggak tau dengan dia,” ujar Jordan ikut menimpali sembari melepaskan karetnya.
“Sudahlah Anshell juga pria normal yang sama-sama tau dengan kebutuhannya yang satu itu. Sudah tiga puluh dua tahun juga bukan dia bersikeras menjaga prinsipnya? Apa lagi dia tengah patah hati,” timpal Toby yang dibenarkan oleh para sahabatnya.
“Aarrgghh….” Aretha merintih kesakitan dengan sebelah tangan mengusap pinggang.
Pria yang entah siapa itu melemparkan tubuh kecilnya ke atas tempat tidur dengan keras.
“Apa kau sakit, hmm?” tanya Anshell dengan kedua mata menatap tajam pada wanita di depannya itu.
Aretha bangun dari posisinya yang terlentang dengan reflex kedua tangannya menyilang di bagian dadanya yang terbuka. Bukan langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan pria itu. Namun, Aretha sibuk mencari sesuatu yang bisa menutupi tubuhnya karena pakaian haram ini membuat dirinya malu.
Anshell menghempaskan tubuh kekarnya di sofa panjang setelah melepaskan jas birunya yang mempel di tubuhnya dengan asal. Manik mata sapphire nya tak lepas menatap wanita di depannya dengan tatapan bengis.
“Kemarilah! Jangan buang waktuku hanya untuk menunggumu yang sama sekali tidak ada pergerakan!” seru Anshell dengan dadanya naik turun, tanpa mengalihkan tatapannya.
Aretha diam, matanya sama menatap pria yang tadi, tidak melirik apa lagi menatapnya.
“Come on b***h. Give me your best touch!” pinta Anshell dengan telunjuknya yang bergerak seraya meminta Aretha untuk maju.
“Satisfy me tonight!” Anshell melepaskan dua kancing kemejanya dengan pandangan yang tak putus.
“Apa kau tuli hm?” bibir Aretha bergetar masih berada di atas tempat tidurnya. Jujur, dia tidak tahu harus bagaimana.
Anshell memukul pelan samping sofa panjang yang kosong, kedua matanya menatap tajam bak perintah Aretha harus turun dan menghampirinya.
Dengan tubuh yang bergetar dan juga rasa takut, kaki Aretha turun dari atas tempat tidur dan sebelah tangan yang masih memegang selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Hurry up, b***h! My brother has paid dearly! Berikan pelayanan yang terbaik untukku!” kata Anshell lagi dan lagi.
Aretha berjalan sangat pelan seraya berpikir bagaimana cara untuk menghindar atau lari dari pria tampan nan rupawan itu.
“Cepat!” bentak Anshell akan lambatnya wanita bodoh itu berjalan seperti kura-kura menghampirinya.
Manik mata sapphire pria itu bak menyihir Aretha hingga kini kedua kakinya berdiri di depannya. “Ahh,” pekik Aretha tersentak kaget.
Pria itu membuyarkan lamunannya dengan cara menarik tangannya hingga tubuhnya terjatuh di atas pangkuan pria tersebut.
“Ck! Melihatmu yang lambat seperti ini aku tidak yakin kalau kau bisa memuaskanku!” decak Anshell mendadak, kesal.
Anshell menarik dagu wanita itu agar menatapnya dengan jelas. “Bayaranmu mala mini sangatlah besar. Maka aku ingin tau bagaimana wanita malam seperti mu memuaskanku. So, cepatlah bergerak jangan diam saja seperti manekin!” tegas Anshell.
“Sa-saya bu—”
Tangan kekar Anshell menarik tengkuk leher Aretha dan membungkam bibir mungilnya itu dengan kasar. Sontak Aretha menolak—mendorong tubuh besar itu untuk menjauh, apalagi perlakukannya amatlah kasar.
Aretha kehabisan nafas, Anshell terus melumatnya hingga tak mengizinkan dirinya untuk menarik nafas sejenak. Digigitnya bibir sip ria hingga berhasil membuat Aretha lekas menarik napas dalam-dalam.
“Sial!” decak Anshell.
Aretha memundurkan punggungnya, ekspresi pria itu begitu menakutkan dengan bibir yang berdarah karena ulahnya.
“Ck! Bad Bittch!” umpatnya.
““I’m not bittch sir!” hardik Aretha tak terima kalau dirinya disamakan dengan Bebby yang berada di bawah sana tengah memuaskan ketiga pria entah kelima teman dari pria di depannya ini.
Plak!
Mata Aretha membulat sempurna akan tangan kekar yang memukul pantatnya dengan keras diiringi meremas.
“Benarkah kalau kau bukan wanita jallang hmm?” Anshell menatap wanita di depannya dari atas hingga bawah. “Lalu bagaimana dengan penampilanmu yang sudah 99% telanjang ini, hmm?”
Aretha mendelik teringat dengan pakaian haramnya. “Bukannya penampilanmu sama seperti wanita jallang yang tengah berpesta dengan teman-temanku itu hmm?”
Didorongnya tubuh kecil itu hingga terbanting ke sofa panjang. Anshell dengan cepat menghimpit tubuh Aretha dan menguncinya agar wanita itu tidak kembal menolaknya.
Sekuat tenaga Aretha memukul d**a bidang Anshell untuk menjauh dari tubuhnya. Sialnya, Aretha merasa tubuhnya berkhianat. Rasa yang entah apa ini membuat Aretha ingin sekali mengeluarkan suara seksinya ketika tangan nakal itu menggerayangi tubuhnya, memeras pelan dua buah melonnya lalu memilin bulatan merah muda yang kini menantang.
“Ehmm… Tuan, tolong jangan—” mohon Aretha.
Anshell mengabaikan permohonan wanita itu, semakin wanita itu memohon untuk melepaskannya dia akan semakin menambah cepat menyesap kulit mulusnya dan membuat tanda kepemilikannya di d**a indah milih si wanita.
Pria itu merobek lingerie hitam itu hingga dua buah melon si wanita terlihat menantang jiwa lelakinya. “Siapa namamu, hmm?” tanya Anshell.
Kening Aretha berkerut, apa hal itu penting menanyakan sebuah nama di saat tubuhnya terasa terbakar?
“Ahhh….” Teriak Aretha, pria itu menyesap bulatan merah muda.
“Jawablah,” pinta Anshell.
“Aretha,” jawab Aretha pendek.
Pria itu menarik bibirnya membentuk senyuman tipis. “Jangan pernah lagi memintaku untuk berhenti karena aku tidak akan pernah berhenti! Maka, cukuplah kamu diam membalas dan yang paling penting—”
Bibir Anshell kembali turun menyesap bibir mungil yang terasa manis. “Mendesahlah dan panggil namaku, Anshell?”
“Hmm?”