Bab 1 - Cantik Itu Ujian

1999 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Jika kaki saja disebut aurat, lalu bagaimana dengan wajah wanita yang menawan? Harum semerbak makanan memasuki rongga hidung pria berkemeja putih motif garis, yang berjalan menuju ruang makan untuk sarapan. Dia bisa melihat, seorang perempuan sedang menata piring-piring dan makanan di atas meja. Gerakannya cekatan, tapi, mata kecoklatan milik pria itu sedikit menyorotkan kilat tidak suka. Dia kembali melangkah, dan duduk di salah satu kursi. Hanya ada hening yang melingkupi. Masih memandang gadis berpakaian serba gelap itu, dia bertanya. "Kamu tidak repot pakai pakaian begitu, apalagi kain yang nempel di wajah kamu itu. Memangnya tidak bikin gerah dan sesak napas?" Sarkartis. Iya, memang. Tapi perempuan yang sedang mengucurkan air teko ke dalam gelas mencoba tetap rileks. "Mengapa tidak dibuka saja? Lagi pula, tidak usah so misterius gitu, lah. Kamu cuma pembantu yang menggantikan posisi ibu kamu." "Ini amanah Ibu saya. Jadi Tuan muda tidak berhak ikut campur tentang apa yang saya pakai. Maaf, terima kasih." Selesai melaksanakan tugas, dia memutar badan untuk kembali ke dapur, disusul suara decihan yang keluar dari mulut sang majikan muda. "Tunggu!" Gadis bercadar hitam itu menghentikan langkah. "Yang makan di sini hanya aku. Tapi kenapa kamu menyiapkan tiga piring?" "Karena untuk jaga-jaga. Jika sewaktu-waktu orang tua Tuan mau makan di sana." "Tidak mungkin." "Tidak ada yang tidak mungkin selagi Allah berkehendak." Ya, bagi Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Karena dialah sang penentu takdir. Lubna Aiza Az-Zahra. Panggil saja pembantu muda yang bekerja siang malam di rumah besar bersuasana lengang itu Aiza. Gadis kampung dari Garut, yang terpaksa pindah ke Jakarta untuk menggantikan posisi ibunya yang sekarang terbujur lemah di rumah sakit. Demi memenuhi kebutuhan hidup sekaligus biaya pengobatan, dia rela bekerja di sini meninggalkan apa pun yang ada di Garut---tempat ia tumbuh dan berkembang hingga akhirnya bertemu dengan sang calon imam. Sebenarnya Aiza malas datang ke kota kejam ini, karena ia lebih senang tinggal di desa pasirwangi. Desa yang lahan taninya subur. Pemandangan di sana jauh lebih menenangkan, dan udara terhirup lebih segar. Gunung-gunung nampak berada di ujung mata, sawah hijau berjejer di pinggiran jalan. Apalagi di kawasan Darajat, Ma syaa Allah, pemandangannya begitu menakjubkan. Sedangkan di tempat ini, rumah luas yang hanya dihuni para pembantu dan dua tuan rumah, Aiza merasa kesepian. Aah, tapi Aiza harus tetap bersyukur. Di mana pun tinggalnya, asalkan masih diberi napas dan kekuatan untuk berjalan. Allah masih memberikan nikmat yang kadang tidak pernah kita sadari, sampai lupa caranya untuk bersyukur. Fa bi'ayyi aalaaa'i robbikumaa tukazzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Aiza memasuki sebuah kamar luas sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam buatannya dan segelas air putih. Di sana, di ranjang itu, ada perempuan dengan kisaran umur 50 tahunan sedang terbaring di atas tempat tidur. Selain mengurus rumah, Aiza juga kebagian tugas untuk mengurus majikannya yang sedang sakit---ibu Tuan muda yang gemar sekali merendahkan kain yang selalu dipakai Aiza. Ah laki-laki itu, sungguh menyebalkan! Dia Islam, tapi mengapa suka meremehkan setelan orang islam? Meletakkan nampan di atas nakas, Aiza mulai menarik selimut yang setengah membungkus tubuh Eliza. Aiza membantu sang majikan yang kesadarannya ada, tapi pikiran dan daya rangsang entah pergi ke mana. Pandangannya lurus, mirip tunanetra yang tidak bisa melihat apa-apa. Tubuhnya kurus, bagai pasien terbengkalai tak terurus. Penampilannya dekil, karena jarang mengurus diri---emm, bukan jarang, tapi memang tidak pernah, semenjak sebuah insiden besar menimpanya. "Waktunya makan pagi ya, Bu." Aiza mengambil bubur dan mulai menyuapi Eliza dengan hati-hati. Sengaja Aiza mendinginkan bubur terlebih dahulu agar nanti saat dimakan, tidak perlu repot-repot meniup, karena itu tidak bagus. Lihatlah Eliza, hanya mulut saja yang bergerak---mengunyah, dan menelan. Disambung dengan air mineral untuk mendorong makanan masuk ke dalam perut. Aiza memandang iba majikannya tersebut. Ibu bilang, dia sudah sakit seperti ini semenjak beberapa tahun yang lalu. Ibu juga tidak tahu apa penyebabnya, karena Ibu termasuk pembantu baru. Bisa dikatakan, Eliza mengalami gangguan jiwa. Suaminya berkali-kali ingin mengirim Eliza ke rumah sakit jiwa karena kondisinya tidak memungkinkan untuk sembuh. Harapan hanya ada beberapa persen. "Percuma dia hidup di sini! Dia nggak akan bisa ngasih kepuasan sama Papa! Dia itu gila! Nggak bisa ngapa-ngapain!" Pertengkaran sengit sering kali terjadi di rumah ini hanya gara-gara perbedaan pendapat. Sang Papa ingin Eliza dibuang karena dianggap tidak berguna, dianggap hanya seonggok sampah yang menjijikan. Tapi sang anak melarang, dia ingin mempertahankan mamanya, perempuan yang telah melahirkan dia ke dunia. Berharap bahwa suatu saat, Eliza sembuh. Dan akan kembali seperti semula. Menjadi istri yang selalu melayani suaminya, dan Ibu yang selalu melimpahkan segala bentuk kasih sayang seperti teguran dan nasihat. "Halah! Nggak mungkin! Mama kamu itu udah nggak mungkin sembuh. Kamu urus saja dia, Papa nggak akan ikut campur!" Aiza mengelus d**a jika harus mengingat lontaran-lontaran kalimat pedas dari Tuan besar---Marteen---untuk istrinya yang seharusnya ia rawat dengan kasih sayang dan cinta seorang suami. Bukan malah meninggalkan begitu saja, jarang pulang dan lebih lama menghabiskan waktu di kantor. Karena bagaimana pun, Eliza masih istri sah Marteen, perempuan yang masih harus diberikan cinta dan sayang. Sehabis menyuapi Eliza, Aiza kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Yaitu melaksanakan salat Duha, dan berdo'a pada Allah, supaya Dia segera menyembuhkan penyakit Eliza, juga ibunya yang sekarang dirawat di rumah sakit. Bagaimanapun Aiza merasa banyak berhutang budi pada keluarga ini, karena mereka masih mau memperkejakan dia kendati pembantu yang bekerja di sini tidak hanya satu. Walaupun pendapatannya tak akan bisa membayar semua pengobatan Ibu, tapi Aiza akan terus berusaha untuk bekerja dengan baik, ada Allah yang senantiasa membantu. Di ruangan ini, Aiza berani membuka niqab, beruntungnya, arah kiblat membelakangi pintu. Jadi kalau ada orang yang masuk, wajah Aiza tidak akan serta-merta kelihatan. Dalam pelajaran agama yang selalu Aiza pelajari, ia mendapatkan ilmu tentang penggunaan cadar ketika salat. Kain itu harus dibuka, karena kita akan menghadap Allah, sebab dalam salat, wajah bukan aurat. Wanita dianjurkan membuka wajah beserta kedua telapak tangannya agar kening dan hidungnya dapat menyentuh langsung pada tempat sujud, begitu juga kedua telapak tangannya. Kecuali jika ia shalat di suatu tempat yang terdapat kaum pria yang bukan mahramnya, maka ia harus menutup wajah karena menutup wajah dihadapan pria yang bukan mahram wajib hukumnya dan tidak boleh baginya untuk membuka wajahnya di hadapan pria yang bukan mahram. Salat duha selesai dilaksanakan. Aiza kembali memakai niqab, dan handshock-nya. Melipat sajadah dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. Aiza menarik kembali selimut sampai ke bawah d**a Eliza yang matanya mulai terpejam kembali. Rasa prihatin selalu menelusup tiba-tiba ketika harus melihat keadaan Eliza. Dia selalu sendirian. Putranya juga sibuk bekerja. Tapi Aiza merasa salut, karena lelaki itu masih mau merawat ibunya yang sudah tak berdaya di tengah kesibukan. Dan yang lebih menakjubkan, dia selalu melindungi sang Ibu, dari kejahatan suami yang selalu ingin mengirim ibunya ke rumah sakit jiwa. Bisa dibilang, dia adalah pion untuk ibunya. Dunia. Mereka terlalu mengerjar dunia. Seakan dunia adalah segalanya, hingga lupa kalau buana ini akan lenyap. Untuk terus bertahan hidup dalam kemewahan, hidup hanya dipakai untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Kita sedang berada di akhir zaman, di mana rumah semakin besar, tapi isinya semakin kosong, karena si pemilik rumah sibuk mencari uang. Uang dijadikan tujuan utama, lupa kalau keluarga justru jauh lebih berharga. Mungkin kalau sudah tidak ada, baru terasa kehilangannya. Tapi, kalau hati terlalu keras, bisa saja tidak peduli sama sekali. Harusnya mereka bersyukur dengan keutuhan keluarga dan jumlah uang yang cukup. Berbeda dengan Azia, yang selalu kekurangan finansial, begitu pula dengan keluarga. Sejak umur 17 tahun, Aiza sudah menjadi anak yatim, sang Ayah meninggalkan istri dan dua anaknya yang masih sekolah. Keadaan ekonomi semakin merosot, keluarga kehilangan tulang punggung, dan akhirnya Ibu yang turun tangan mencari nafkah untuk menghidupi kedua ananda. Aiza pun kadang ikut membantu, kendati dari hal kecil. Sebetulnya, setelah keluar sekolah, Aiza bisa melamar kerja di tempat yang memberi gaji lumayan. Tapi, pakiannya syar'i, dan sehelai kain yang dipakai untuk menutup wajah, menyulitkan Aiza untuk bekerja. Apakah yang harus dibanggakan dari gadis lulusan SMA? Lanjut kuliah pun tidak mungkin, lagi-lagi karena masalah uang. Iya, uang memang bukan segalanya, tapi segalanya pakai uang. Aiza pernah bersumpah, ia tidak akan menggadaikan akhirat demi dunia yang fana. Ibu juga tidak pernah memberi izin pada Aiza, walaupun Aiza sempat menyerah dan goyah dengan sumpahnya sendiri. Bekerja di supermarket juga bisa, kan? Atau ... di pabrik-pabrik? "Jangan, nak. Mana ada supermarket yang menerima kamu dengan pakaian kayak begini?" "Aiza bakal buka cadar, Bu. Apa pun itu, asal kebutuhan kita terpenuhi." "Ibu nggak bakal biarin kamu buka cadar. Ibu nggak setuju. Ibu nggak mau kamu kena banyak fitnah dunia. Ibu cuma pengin kamu jadi bidadari akhirat. Biar Ibu yang berkorban." Dari awal, memang bukan keinginan Aiza untuk berniqab, namun itu murni tuntutan sang Ibu yang takut putrinya ditaksir banyak lelaki. Ia merasa memiliki tanggung jawab besar pada Aiza. Wanita cantik wajib bercadar, agar tidak mengundang banyak s*****t. Hilya---Ibu Aiza---merasa, kalau putrinya memiliki wajah yang begitu ... ah, rasanya sulit sekali untuk mendeskripsikan bagaimana rupa anak itu. Ia akan memastikan, bahwa tidak ada satu orang pun yang boleh melihat wajah Aiza, kecuali sanak suadara (itu pun khusus yang mahram). Biar wajah itu dinikmati saja oleh kekasih halalnya kelak. Ah sudah jauh sekali pemikiran beliau. Lagi pula, Aiza tidak tahu, apa yang menjemputnya duluan. Entah jodoh, atau mungkin kematian. Wallahu 'alam bishowab. Maka dari itu, Hilya memiliki tekad untuk menafkahi keluarga sendirian. Adik Azia yang ditinggalkan di Garut, masih sekolah kelas satu SMA. Sampai akhirnya Hilya jatuh sakit karena jarang mengontrol kesehatan. Alhasil pekerjaannya digantikan oleh Aiza yang saat itu menyibukan diri untuk terus memperbaiki diri dan menambah hafalan Al-Qur'an. Para tetangga yang dulu sempat melihat wajah Aiza sebelum diniqab, kerap memberi masukan pada Hilya, untuk menjadikan putri sulungnya artis, atau dengan wajah cantiknya itu, Aiza bisa memiliki peluang besar untuk mendapatkan uang banyak. Memosting foto di media sosial, misalnya? Agar menarik perhatian para netizen. Tidak ingin menjadi bahan perbincangan, akhirnya Hilya menyuruh Aiza untuk segera memakai cadar. Aiza yang tidak keberatan, langsung nurut. Ilmu agama mereka memang tidak terlalu tinggi, tapi mengenai aurat wanita, tentu mereka begitu paham. Jika kaki saja disebut aurat, bagaimana dengan wajah yang terlihat menawan? "Seandainya aku bisa minta sama Allah, aku lebih milih punya wajah biasa aja, Bu. Daripada cantik, tapi bikin aku terkekang." "Cantik itu ujian, Nak," jawab Hilya pada Lubna Aiza Az-zahra, sang anak yang kala itu berusia 15 tahun. "Entah ini keberuntungan atau musibah, yang jelas kita harus tetap bersyukur." Ibu selalu mengajarkan anak-anaknya untuk selalu bersyukur. Begitu pula dengan Bapak. Beruntung, ketika Bapak masih hidup, keadaan ekonomi mereka masih baik-baik saja, sangat sederhana. Tidak lebih, dan tidak kurang. Jadi dulu, Aiza sempat membeli gamis, kaus kaki, niqab, dan handshock. Mereka kerap berkelakar mengenai rupa wajah. Saling mengejek, tapi percayalah, itu hanya candaan receh untuk mencairkan suasana, menjalin komunikasi yang unik. Aiza yang memiliki hidung mancung dan putih langsat, tentu turunan orang tua, yaitu Bapak. Kadang-kadang Ibu bilang, kalau suaminya itu keberatan memiliki istri seperti dia. "Nggak tau Ibu juga, kenapa ya si Bapak mau aja sama Ibu," kata Hilya dengan nada kelakar---mengingat dirinya yang memiliki tampang biasa, ah, bukan biasa lagi, tapi di bawah rata-rata. Aiza dan Aisyah tertawa terbahak-bahak mendengar candaan ibunya di saat bapak sedang bekerja di luar. "Mungkin selama ini dia telen aja takdirnya, punya istri kayak Ibu." "Bisa dibilang begitu," celetuk Aisyah mengerling mata gemas. Aiza segera menyenggol lengan adiknya yang memiliki hidung pesek. "Bukan gitu, karena Bapak adalah sosok setia penuh tanggung jawab. Dan satu lagi, karena Bapak mengerti ilmu agama!" Aiza memberi persepsinya. Disambut jari jempol dari sang Ibu. "Karena cantik bukan segalanya." Hilya mengimbuhi. "Liat aja pernikahan para artis, apakah rumah tangga mereka awet? Kadang kandas di tengah jalan." "Itu artinya, cinta Bapak ke Ibu bukan dengan nafsu. Tapi Bapak bisa liat kecantikan hati Ibu," tambah Aiza lagi. "Itu sebabnya, Bapak sama Ibu selalu sama-sama. Dan cuma maut yang memisahkan." "Terus kenapa Ibu nggak pakai cadar aja?" Aisyah bertanya dengan suara ingin tahu. "Kenapa cuma kak Lubna aja?" bocah SD itu semakin kepo. "Emang siapa yang bakal suka sama Ibu? Bapak aja kayaknya terpaksa." Ruangan itu kembali disuarai gelak tawa. Syukron Bagaimana dengan bab 1 ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD