Bab 2 - Lelaki Baik Untuk Perempuan Baik

2152 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Yang baik, akan disandingkan dengan yang baik, pula. Janji Allah, itu pasti. Jujur, sejak awal Aiza memperbaiki diri, bukan semata-mata berharap mendapatkan jodoh yang baik. Melainkan dia bersiap untuk menghadap kematian, yang dijemput langsung oleh malaikat Izrail. Aiza pernah mendengar, sakaratul maut umat muslim telah ditanggung oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun, itu diberikan pada mereka yang bertaqwa. Sementara yang lainnya, sebagai azab, maka mereka patut merasakan perihnya ketika dicabut nyawa. Wallahu 'Alam Bishowab. Aiza sendiri masih ambigu. Cita-cita Aiza adalah mati secara husnul khatimah. Cita-cita yang kadang diabaikan orang-orang muslim. Sebab mereka terlena oleh kesenangan dunia, dan yang dikejar hanya kesuksesan dunia. Mereka hanya ingin merasakan hidup enak, tanpa berpikir bagaimana caranya mati enak. Rela meninggalkan salat, demi pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Rela tidak membaca Al-Qur'an, lantaran sibuk membaca buku untuk dijadikan referensi. Dokter membaca buku tentang kedokteran. Pengusaha membaca buku cara-cara menjadi pengusaha sukses. Penulis membaca novel. Chef membaca resep. Jika ingin mengejar dunia, maka akhirat akan terbengkalai. Sebaliknya, jika ingin mengejar akhirat, maka dunia akan mengikuti. Banyak yang keberatan dengan salat fardu. Katanya, salat itu menambah beban. Tidak! Sekali lagi untuk mempertegas, salat itu bukan beban! Tapi salat adalah cara untuk meringankan beban. Cara ampuh untuk menenangkan kegelisahan akan urusan duniawi yang tidak akan pernah berujung lantaran kurangnya bersyukur. Sombong sekali mereka. Mengaku bahwa kesuksesan yang mereka capai adalah hasil dari kerja keras sendiri, tanpa tahu, bahwa kesuksesan seseorang timbul karena adanya kehendak dari Allah. Tanpa persetujuan Allah, maka dia belum tentu bisa berhasil. Aiza merasa beruntung, karena ia diberi kesadaran kalau dunia hanya sementara. Kehidupan abadi ada di akhirat, kelak. Maka, Aiza memokuskan diri untuk menggapai Jannah-Nya. Perempuan-perempuan yang k**i untuk laki-laki yang k**i, dan laki-laki yang k**i untuk perempuan-perempuan yang k**i (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). (QS. An-Nur 24: Ayat 26) Ya, ayat tersebut pernah Aiza baca. Bahkan beberapa kali, dan Aiza hafal sekali dengan ayat tersebut. Memang benar, perempuan baik untuk laki-laki baik, semuanya terbukti ketika Aiza bertemu seseorang di majelis taklim. Hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Allah telah menepati janjinya. Sungguh, Dia adalah Dzat yang Maha Adil. Aiza percaya, jodoh tidak perlu dicari, karena ia sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Rezeki, jodoh, kematian, semuanya tercatat tanpa ada yang tertukar di antara masing-masing umat. Kajian rutin yang kerap Aiza ikuti di masjid Islamic Centre ternyata telah mempertemukan dia dengan seorang laki-laki. Yang Aiza yakini, bahwa dia adalah jodohnya. Tentu, pertemuan itu tidak terjadi secara sengaja. Sebab teman Aiza, yang bernama Indri, telah memperkenalkan Aiza dengan lelaki bercelana di atas mata kaki itu. Saat itu umur Aiza menginjak 20 tahun, dan pria yang Indri kenalkan berumur 21 tahun, hanya memiliki selisih satu tahun. Tidak masalah, kan? Sebab kedewasaan seseorang bukan ditentukan oleh usia. Katanya, lelaki itu sedang mencari perempuan yang mau menyempurnakan separuh agamanya. Diperkenalkanlah Aiza pada Rifki---lelaki berkacamata minus dengan wajah bulat. Pertama kali melihat Aiza, Rifki langsung tertarik, walaupun wajah itu ditutup kain suci berwarna hitam, namanya cadar bandana. Dia benar-benar menjaga dirinya dari fitnah dunia. Entah di balik niqab itu tersimpan wajah cantik atau tidak, Rifki yakin dia perempuan taat. Rasa tertarik itu tumbuh bukan ketika Indri memperkenalkan sepulang kajian, melainkan ketika secara tidak sengaja Rifki melihat wanita bercadar dengan handschock pita yang duduk di selasar masjid, sedang membuka sepatu. Seekor kucing mendekat, tangan berbalut handschock cantik itu mengelus bulu kucing warna hitam yang dipadu warna putih. Lumayan lama, sampai kucing itu berjalan lagi, ukhti tersebut memandang kepergian kucing sampai akhirnya kembali berdiri untuk masuk. Segeralah Rifki memalingkan muka seraya beristighfar. Dia telah menemukan seseorang, yang suka pada binatang kesayangan nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seseorang yang dicarinya, seseorang yang kelak bisa menyayangi calon anak-anaknya, seseorang yang akan menjadi makmum lembut penuh kasih sayang. Rifki yakin, cinta ini murni dari Allah. Rasa ini, muncul atas ridha-Nya. Keyakinan itu muncul tatkala Indri menepati janji. Ia membawa seorang gadis berniqab hitam itu ke hadapannya. "Ini yang namanya Aiza, A." Rifki membeku. Dia ... gadis yang kurang lebih dua jam lalu ia perhatikan. Aiza kelihatan malu-malu sekali, pasalnya, dia belum pernah diperkenalkan dengan seorang ikhwan. Aiza yang Indri kenal, adalah dia yang kurang peduli pada jodoh. Katanya, nanti jodoh bisa datang sendiri, karena Aiza masih fokus membantu keluarga dan memperbaiki diri. Tapi apa salahnya menerima masukan Indri? Siapa tahu lelaki di depannya ini adalah jodoh yang sudah Allah tentukan? "Liat aja dulu! Siapa tau kalian cocok! Karena aku tau, kalian sama-sama taat, dan sama-sama jomblo." Aiza dibuat mengerling ketika kata 'jomblo' terlontar dari mulut Indri. Tak lama kemudian dia menggeleng, dan kembali memilih buku yang berjejer di rak-rak khusus buku islami. Saat itu mereka sedang ada di perpustakaan yang letaknya depan Rumah Sakit Umum Dr.Selamet. Aiza heran, namanya dokter selamet, tapi tidak semua pasien selamat. Haha, otak Aiza mungkin sudah ngaco. Barangkali nama itu disematkan bukan berarti semua pasien yang dirawat di sana selamat. Bapak saja yang sempat menjadi pasien tidak bisa diselamatkan. Ah, Aiza jadi sedih kalau mengingat Bapak. Tiap kali Aiza datang ke perpustakaan, dia harus melihat bangunan megah tempat orang-orang sakit dirawat. Menurutnya rumah sakit adalah tempat paling mengerikan, namun Aiza juga melihat sisi lain, rumah sakit bisa dijadikan tempat bermuhasabah diri. Tempat di mana ia menyadari, bahwa kematian akan segera menjemput. Tempat ia menyadari, bahwa nikmat sehat begitu berarti. Maka ia harus tetap bersyukur dengan semua pemberian Allah subhanahu wa ta'ala. Nyatanya sehat adalah nikmat paling enak. "Jomblo akan menikah pada waktunya, Ndri." Aiza menyahut, mengambil buku tebal yang berjudul Khadijah. Nama istri pertama Rasulullah. Cinta pertama Rasulullah. Aiza jadi iri, kapan ia memiliki suami sebaik Rasulullah? Lho? Kenapa Aiza berpikir tentang sosok suami? Hm, ini gara-gara Indri yang selalu menyuruhnya untuk segera menikah. Padahal umurnya masih 20, memang sudah tua, ya? Kata Indri, menikah muda itu enak. Tapi kalau Allah belum menghendaki umatnya untuk menikah, Aiza bisa apa? Toh, jodoh itu tidak akan ke mana. Setiap manusia pasti memiliki pasangan. "Iya, tapi coba aja, Lub! Siapa tau cocok. Aku yakin, kalau kamu sama dia, kamu pasti bahagia. Dia imam yang cocok buat kamu." "Terus kenapa nggak kamu aja?" "Emmm..." Indri kelihatan sedang berpikir. "Jangan-jangan, kamu punya cowok lain, ya?!" tebak Aiza mulai menggoda. "Aku mah gampang, Lub! Nggak usah pikirin. Aku cuma punya firasat aja, kalau kamu sama dia cocok. Aku bisa liat, kalau kalian bersatu, pasti kalian bakal jadi pasangan serasi. Setiap hari kamu bakalan dibacain surat Ar-Rahman. Dia itu hafizh Al-Qu'an, Lub! Siapa tau dia bisa bantu kamu buat menghafal 30 juz." Perempuan berkerudung panjang warna biru muda itu bicara panjang-lebar, terus bersikukuh ingin menjodohkan seolah Aiza ini adalah perawan lapuk. Uh, memang hiperbola. Indri ini adalah teman terdekat Aiza, namun ia tidak bercadar seperti Aiza. Baginya, berpakaian syar'i saja sudah cukup. Ia belum siap berpenampilan seperti Aiza, sadar diri, ilmunya belum mumpuni. Ditambah, sang Ibu tidak setuju kalau putrinya memakai niqab. Dia meminta Indri melakukan itu nanti, ketika sudah menikah. Itupun kalau diperintah suami. "Iya-iya, nanti aku coba, ya." Mata Indri membelalang, "Serius?!" Ekspresinya umpama orang yang memenangkan lotere. Aiza mengangguk. Apa salahnya mencoba? Aiza juga sudah bosan mendengar paksaan Indri. Siapa tahu dia benar. Kalau cocok Alhamdulillah, kalau tidak, terserah Allah saja. "Tapi ini cuma ketemu aja, ya. Kalau masalah ta'aruf atau yang lainnya, aku cuma bisa nanti, kalau Ibu pulang dari Jakarta." "Siip!" Indri memberikan jempolnya. "Emang temen kamu itu orang mana?" "Dia temen waktu SMA, alias kakak kelas aku. Tinggal di Samarang. Bahkan, dia juga suka ikut kajian di IC." Giliran mata Aiza yang membulat. "Ada kemungkinan besar, kamu sama dia pernah ketemu atau sekadar ketemu tapi nggak saling sapa." "Ya iyalah nggak saling sapa, orang nggak kenal." Aiza berlalu sembari membawa buku pilihan untuk dibaca di rumah. Aiza senang sekali, di kota kecilnya memiliki perpustakaan yang menyediakan berbagai jenis buku. Dan meminjam buku, adalah rutinitas Aiza kalau ada waktu senggang. Indri segera menyusul dari belakang, menepuk bahu teman karibnya. "Aku yakin, kamu nggak akan nyesel." Aiza melirik sekilas padanya. "Kita liat aja nanti." Indri tersenyum. Dua orang perempuan tanpa memakai khimar, dan baju ketat, dipadu celana jeans yang tak kalah ketat, melempar tatapan tak suka pada wanita bercadar yang berada di sebelah Indri. Ya, Aiza maklumi. Sekarang ini berita tentang teroris telah menyebar ke mana-mana. Dan yang menjadi tersangka adalah orang islam yang berpenampilan sesuai sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka pun melewati Indri dan Aiza dengan satu delikan mata. "Padahal di mata Allah, mereka lebih buruk dari kita, Lub. Tapi di mata orang, setelan kamu ini dipandang sinis. Kesel aku." "Yang penting kan pandangan Allah, Ndri?" Aiza berusaha tetap membuat nada suaranya ceria. Walaupun akhir-akhir ini dia sering merasakan sakit hati akibat ulah orang-orang sesama muslim. Apalagi ketika berita bom itu sedang hangat-hangatnya, tak ada satu angkot pun yang mau berhenti di sisinya. Semua orang menatap tidak suka. Rasanya Aiza ingin berkata kasar pada mereka semua. Jika wanita bercadar kalian sebut teroris, bolehkah kami menyebut kalian p*****r? Astgahfirullah. Niat itu diurung. Aiza tidak mau membalas. Yang perlu ia lakukan hanya berdo'a, semoga wanita-wanita berpakaian super ketat itu mendapatkan hidayah. Aiza tidak mau menyombongkan diri karena berpakaian demikian. Sebab mereka juga pasti memiliki masa depan. Laki-laki baik, untuk perempuan baik. Kalimat itu terus terngiang di telinga Aiza sewaktu bertatap muka dengan ikhwan bermata indah di balik kacamata. Aiza tahu ini salah! Ia langsung menundukkan kepala. "Oke. Sekarang kan kalian udah saling ketemu. Kalau kalian ngerasa cocok, aku bakalan bikin grup khusus kita bertiga. Kalau kamu tertarik, kamu bisa tanya di grup." Rifki tersenyum, dan mengangguk. "Syukron, Ndri." "'Afwan." Ada debar yang menghampiri. Rifki akan membuat keputusan. "Assalamu'alaikum," pamit Indri, lantaran Aiza terus memintanya untuk segera pulang. "Waalaikumussalam." Keluar dari area masjid Islamic Centre Garut, Aiza dan Indri mengeberangi jalan, dan naik ke angkot berwarna putih hijau. Rasanya, jantung Aiza berdetum-detum. Indri menyenggol bahu Aiza. "Gimana? Dia tipe kamu bukan? Kamu tertarik nggak?" Aiza hanya mengedikkan kedua bahu. Sadar, ia harus sabar untuk tidak menjerit kegirangan sambil memeluk Indri, sebab laki-laki tadi, sungguh memikat hati. "Kita tinggal tunggu aja, a Rifki chat aku atau nggak." Aiza tersenyum di balik niqabnya, dan Indri dapat melihat itu dari binaran mata seorang Aiza. Betapa beruntungnya pria yang nanti akan bersanding dengan sahabatnya itu. Indri mengenal Rifki cukup baik. Dulu, sewaktu di sekolah, dia adalah ketua organisasi rohis. Dia juga sering mengumandangkan azan di waktu zuhur. Ah, pokoknya dia laki-laki idaman. Ini yang namanya orang ganteng, tapi tidak neko-neko. Akhlak bagus, begitu pula dengan penampilan luar, sangat sinkron dan serasi. Dan dia, cocok untuk Aiza yang selama ini begitu pandai menyembunyikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Padahal bisa saja, dengan wajah cantiknya itu Aiza dikenal banyak orang. Tapi dia tahu, kecantikan itu sudah sepatutnya dijaga, bukan dipameri atau ditebar secara gratisan. Hanya ada beberapa orang yang berhak melihat kecantikannya. Dan yang paling utama---yang amat mendukung---dua-duanya tidak pernah pacaran. "Dia ganteng banget, Ndri! Masyaa Allah! Kayaknya kamu udah ngenalin aku sama laki-laki terbaik! Kelihatan shaleh." "Tuh kan, apa kata aku?" "Dari wajah emang kelihatan ganteng, tapi tetep aja, aku nggak bisa nentuin gitu aja." "Apa lagi, Lub? Semua tentang dia udah aku ceritain." Satu pesan dari w******p mampir di ponsel Indri. Perempuan itu bergegas membukanya. Aiza juga ikut kepo, diliriknya layar ponsel milik Indri. Kak Rifki Assalamu'alaikum. 'Afwan mengganggu. Ndri, aku mau kamu membuat grup khusus untuk kita bertiga. Aku, kamu, dan Aiza. Aku tahu, ini terlalu cepat. Tapi, aku yakin, dia memang cocok untuk aku. "Sumpah demi apa, dia kayaknya mau sama kamu Lubna!!" Indri memekik dengan suara super kencang. Aiza membelalak tidak percaya. "Apa dia nggak mau liat wajah aku dulu, gitu? Emang dia nggak takut zonk?" "Kak Rifki itu baik, dia nggak mungkin cari pasangan yang wajahnya cantik. Lagi pula, kamu kan cantik?" goda Indri pada Aiza yang kala itu melepas niqabnya. Mereka berada dalam kamar Aiza. "Setelah ini kamu shalat istiqharah, deh. Minta petunjuk sama Allah." Indri memberi masukan. "Iya. Makasih, Ndri. Kamu emang sahabat terbaik aku." Aiza memegang kedua tangan Indri penuh euforia. Di depan sahabatnya, dia bisa menjadi gila. "Asli! Pertama liat aja aku udah langsung suka!" "Tadi waktu ngeliat kamu kayak yang biasa aja. Tapi kok pas di sini...?" Aiza tertawa. Perempuan bercadar bukan berarti dia pemalu. Dia hanya ingin menjaga diri. Sebab dia tau, kapan dan di mana waktu yang tepat untuk melakukan hal yang menyenangkan. Maka beruntunglah orang-orang yang dekat dengan perempuan bercadar. Dia tidak seburuk, sesombong, atau sealim yang mereka pikirkan. Lihatlah mereka dari berbagai sisi dan persepsi. Ada yang bilang, yang luarnya baik, belum tentu dalamnya juga baik. Maka, buanglah pemikirian perempuan berpakaian syar'i munafik. Sedangkan para p*****r atau wanita berpakaian t*******g tampil disebut apa adanya. Juga, janganlah berpikir wanita nakal itu sudah tidak memiliki sisi baik dari dalam dirinya. Jangan pula berpikir, wanita berpakaian syar'i itu baik dan alim tiada tara, karena bagaimana pun dia masih manusia biasa, yang kapan pun bisa berbuat khilaf. Sebelum kamu mengenalnya lebih dalam, jangan asal menjatuhkan persepsi. Syukron Semoga suka
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD