Part 17 Tuduhan dan Pengakuan Jimin

1638 Words
    Operasi Ibu Naira berhasil dengan lancar dan selamat. Setelah menjalani masa pengobatan hampir sebulan lamanya, kini wanita paruh baya itu sudah diizinkan kembali ke rumah.      "Terima kasih, Naira," gumamnya memeluk foto Naira yang menemaninya sepanjang ia di rawat di rumah sakit. Meski Naira tak ada di sisinya, tetapi putrinya itu selalu menghubunginya lewat telepon genggam untuk mengetahui keadaanya.      Selesai mengemas semua barangnya, wanita itu pun bergegas meninggalkan ruangan. Berjalan menyusuri koridor untuk sampai di depan list yang akan membawanya turun ke lantai dasar. Ibu itu melangkah dengan bahagia, karena sudah bertahun-tahun ia tak bisa berjalan akibat sakit yang dideritanya.      "Nyonya Maira?"      Seorang pria berdiri di depan pintu lift membuat wanita paruh baya itu menghentikan niatnya masuk ke dalam lift. "Iya, itu aku. Anda siapa?"     "Kenalkan saya, Antonio. Saya diutus Tuan untuk menjemput Nyonya ke mari."     "Tuan? Tuan siapa?" tanya Maira dengan dahi berkerut.     "Tuan Jimin, tempat Nona Naira bekerja mengutus saya ke sini untuk menjemput Anda, Nyonya. Ini bagian dari perhatian perusahaan pada karyawan. Sama seperti fasilitas yang Anda dapatkan saat ini." Pria berambut cepak memakai jas hitam dan celana bahan hitam itu menjelaskan dengan detail.     Masih sedikit tak percaya Maira akhirnya menyerahkan tas yang dibawa pada pria itu. Mereka pun masuk ke dalam lift.     "Jika kau diutus oleh perusahaan tempat putriku bekerja, apa kau tahu kabar putriku. Apa posisinya di tempat itu hingga aku diperlakukan dengan sangat spesial?"     Ucapan Maira membuat Antonio sejenak berdiam diri, setelahnya baru mengulas senyum manis. "Ibu, putrimu menduduki posisi yang begitu penting dalam perusahaan. Beliau menjadi asisten pribadi Tuan Jimin. Jadi semua yang ibu perlukan juga Non Naira dan Tony akan dicover oleh perusahaan. Ibu jangan khawatirkan apa pun lagi. Cukup jaga kesehatan dan tetap bahagia seperti harapan Nona."     "Senang sekali mendengar tutur katamu, anak muda. Aku titipkan putriku di sana. Tolong jaga dia baik-baik, ya."     Antonio mengangguk. Mereka pun kini melangkah bersisihan menuju mobil mewah yang terparkir rapi di pelataran parkir rumah sakit.      Dalam perjalanan, Maira menitikkan air mata mengenang setiap perjuangan putrinya menghadapinya juga adiknya yang autis. Antonio sesekali melirik, mendengarkan dengan seksama tutur wanita paruh baya dengan wajah keibuan itu. Jarak tempuh rumah sakit dan rumah Maira tak begitu jauh. Lima belas menit perjalanan mereka sudah sampai.     Tercengang dengan bangunan yang kini berdiri kokoh di atas lahan gubuk reotnya dulu, Maira kembali menangis. "Apa ini juga pemberian perusahaan?"     "Tidak, Bi, ini hasil gaji Nona Naira. Nona mengambil kredit rumah di perusahaan untuk membangun tempat ini. Jadi nanti gaji nona akan dipotong 30% untuk pencicilan."     "Begitukah? Anak itu sangat luar biasa, padahal ibu tak pernah memberinya kebahagiaan apa pun. Ibu berhutang banyak padanya."     "Bibi pasti sangat bangga memiliki Nona Naira."     Maira pun mengangguk. Air mata bahagia menetes dari sudut matanya. Mereka pun masuk ke rumah mewah tiga dua lantai di hadapannya. "Jika Tony ada di sini, ia pasti akan sangat bahagia melihat semua ini."     "Iya, Bi. Eh, ya ... sebelum lupa, Nona Naira memberikan ini pada Anda, Bi."     Maira menerima buku tabungan dan sebuah amplop yang masih tersegel. Tercengang dengan angka yang ada di dalamnya, membuat Maira makin terisak.      "Di dalam amplop itu ada kartu ATM, jadi Bibi bisa menggunakan tabungan ini dengan sebaik mungkin." Antonio menerangkan. Juga mengatakan kalau pin dalam amplop itu harus dirahasiakan. "Satu lagi, jika Bibi ingin pergi ke Bali untuk menemui Tony, Bibi bise telepon saya. Ini kartu nama saya."      Maira menanggapi kartu nama itu, membaca nama lengkap Antonio Michael tertera di sana. "Terima kasih, Antonio, kau sangat baik."     Hampir tiga puluh menit Antonio membawa sang pemilik rumah untuk berkeliling di rumah barunya. Mendapati kemewahan rumahnya, Maira tak berhenti tercengang dan mengucap syukur. Setelah semua sisi bagian rumah dikenalnya dengan baik, Antonio pun mengundurkan diri. Antonio juga sempat menjelaskan kalau setiap pagi dan sore hari akan ada seseorang bernama Inem datang membersihkan tempat itu. Jadi Maira tak perlu repot-repot membersihkan rumahnya.     Sepeninggal Antonio, Maira pun mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu. Melirik jam di ponsel berniat untuk menelepon putrinya. Namun, sesaat kemudian ia mengurungkan niat. Suatu hari di waktu lalu, Naira sempat berpesan agar sang ibu tidak meneleponnya, karena bisa saja saat itu Naira tak bisa menjawab karena sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jadi Maira pun memutuskan untuk mengunggu putrinya mengghubunginya. Anak perempuannya selalu menghubunginya di jam yang sama setelah jam makan malam.     Sementara itu di tempatnya Naira sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang diberikan Jimin. Seminggu sudah ia mengekori pria itu. Perlahan ia menyadari kalau Jimin bukan orang yang dingin, tetapi lebih pada pria dengan pribadi yang m***m juga sangat senang berceloteh, dan terkadang bersikap manja seperti anak kecil.     "Laporan penjualan selama satu tahun terakhir sudah kau pelajari dengan baik, 'kan? Kau bisa lihat bagaimana fluktuasinya setiap bulan." Jimin melempar pertanyaan tanpa menoleh pada asistennya. Ia tengah sibuk menatap layar monitor memerhatikan rancangan mobil baru yang dikirimkan Matsuya dari Jepang.     Gambar rancangan mobil itu berputar di televisi, dari sisi kanan, kiri, depan, belakang menunjukkan setiap detail mesin yang bakal digukanan juga bahan-bahannya. Kekuatan mesin, keunggulan, dan kelemahan mobil itu nanti.     "Sudah kupelajari, jadi apa yang harus kulakukan dengan ini?"     Jimin terkekeh mendengar pertanyaan Naira. Ia pun memandang Naira dengan senyum jahil mengembang di wajahnya. "Bagaimana kalau kau jual itu ke tukang gorengan. Lumayan kan bisa dapat uang tambahan."     "Jimin!" teriak Naira mendengkus kesal. "Aku kan tak tahu apa-apa soal begini. Aku bukan anak kuliahan. Lagi pula pekerjaanku cuma pelayan restaurant. Kau tahu, kau membebani pikiranku dengan hal-hal yang tak jelas bentuknya. Harusnya yang kau lakukan pertama itu menyekolahkanku, membiayai kuliahku sampai aku bisa menjadi sarjana. Paling tidak sarjana ekonomi," gerutu Naira.      Sambil terkekeh melihat Naira yang menggerutu sambil memainkan map di tangannya, Jimin pun merendahkan dirinya, berjongkok di depan Naira dengan memangku tangannya di atas paha Naira, membuat wanita itu terkejut.     "Untuk apa kau memikirkan kuliah, jika dengan menjadi Nyonya Venien kau sudah mendapatkan segalanya."     "Ji-Jimin ... bi-bisa kau jauhkan tanganmu, aku-aku kakak iparmu, Jim." Gugup Naira ketika mendapati wajah pemuda itu yang memandangnya dengan hasrat yang terjebak di matanya.     "Waktumu menjadi kakak iparku hanya tinggal beberapa bulan lagi, setelah itu akulah yang akan jadi suamimu, jadi kau tak usah melarangku melakukan ini." Jimin mengambil map dari tangan Naira, meletakkannya di atas meja, lalu bangkit. Segera ia mengangkat tubuh Naira dan mengambil alih kursi yang diduduki wanita itu. Jimin pun menyeret tubuh Naira untuk duduk di pangkuannya.     "Jimin, lepas. Kau makin kurang ajar." Naira berontak, tetapi Jimin malah memeluknya makin erat.     "Apanya yang kurang ajar, Sayang. Kalau seperti ini kau bilang kurang ajar, lalu apa namanya pengkhianatan yang kau lakukan di belakang kakakku Jack?"     Terkesiap dengan perkataan Jimin, Naira menatap pemuda itu intensa. Sementara Jimin memandangnya dengan sorot penuh kemenangan.      "Apa yang kau maksud, Jim?" tanya Naira ragu. Sebenarnya dalam hati kini dirinya seperti ditelanjangi. Berharap bahwa yang dimaksud Jimin bukanlah hubungannya dengan Michael. Bagaimana pun itu bukan pengkhianatan. Namun, lebih ke arah pelecehan seksual yang dilakukan bawahan pada majikan. Dan, ia sama sekali tak menginginakan itu terjadi.     "Kau masih bertanya?" Jimin mendorong tubuh Naira menjauhkannya dari pangkuan. Ia melangkah kembali mendekati meja kerjanya. "Aku belum beritahukan ini pada Jack. Karena aku ingin kau sendiri yang bicara jujur padanya."     Jimin mendudukkan dirinya di kursi, mengambil sebuah map yang berisi laporan jual-beli yang terjadi bulan ini. Ia memerhatikan dengan teliti berapa margin yang didapat perusahaannya pada bulan berjalan. "Kau bisa jujur pada Jack, atau kau bisa tetap berada di sisiku. Silahkan pilih salah satunya."     Naira menunduk dalam, cairan bening menggenang di pelupuk matanya. "Jangan katakan kalau kau juga ingin meniduriku, Jimin."     Dengan senyum menyeringai Jimin melirik ke arah Naira sekilas. "Bukankah kita sudah melakukannya?"     "A-pa ...?"     "Dini hari di gazebo dekat kolam renang. Kau tak benar-benar berpikir kalau itu Jack, 'kan?"     "Ap-pa? Ja-jadi ...." Naira tak bisa melanjutkan kata-katanya. Hatinya benar-benar hancur. Air matanya pun mengalir begitu saja. Tubuhnya melunglai terjerembab di atas lantai. Ia menangis tersedu. "Kenapa kalian lakukan ini padaku?" isaknya dengan tubuh gemetar.      Sementara itu Jimin hanya mengacuhkannya. Ia merapikan map di atas meja, kemudian bangkit berdiri. Jimin pun meninggalkan Naira yang masih menangis di dalam sana.     Ditutupnya pintu ruangan itu dengan  cepat. Kemudian menguncinya dari luar. Jimin menyerahkan berkas yang sudah ditandatanganinya kepada Selina yang langsung berdiri saat melihat bosnya keluar dari ruang kerja.     "Jangan biarkan siapa pun masuk ke dalam ruanganku. Atau aku akan memberimu surat pemecatan!"     "Baik, Pak," sahut Selina tak berani berkutik. Sesaat ia melihat ruangan yang terkunci rapat itu. Mengabaikan Jimin yang sudah melangkah menjauh. "Apa yang terjadi, kenapa wanita sialan itu tak ikut keluar bersamanya?" gumam Selina penuh tanya.     Selama beberapa jam Jimin meninggalkan Naira di ruangannya. Ia menemui beberapa relasi bersama dengan Rendy. Setelah itu, ia memilih makan siang sendiri ketimbang menemui Naira di ruangan itu. Entah apa yang dipikirkannya hingga dirinya begitu tega menyakiti wanita itu.      Setelah menyelesaikan makan siangnya, Jimin memilih menghubungi Matsuya untuk membicarakan apa yang baru saja terjadi.     "Kau keterlaluan, Jimin," sahut Matsuya di ujung telepon. "Saranku hentikan semua ini. Minta maaflah padanya sebelum kau kehilangannya."     "Tidak, Matsuya. Ini masih belum cukup. Nyatanya sampai sekarang ia masih bungkam. Bahkan selama bersamaku, ia sama sekali belum pernah menghubungi suaminya. Istri macam apa yang bersikap seperti itu pada suami sendiri," bantah Jimin.     "Kau sangat keras kepala. Aku tak tahu lagi harus menasehatimu dengan cara seperti apa. Apa yang sudah menimpa Jack di masa lalu kenapa kau lampiaskan dendamnya pada wanita itu? Dia tak tahu apa-apa. Dia bahkan tak mengenal kalian. Kenapa dia yang kau sakiti?"     "Aku tak menyakitinya, Matsuya. Aku ingin mengetest kemurnian hatinya, kejujurannya. Aku ingin tahu seberapa baik wanita itu untukku kelak."     "Tapi ...." Matsuya menghentikan kata-katanya. Ia pun hanya bisa menghela napas pasrah. "Terserah kau saja. Kalau kau tak mau menuruti ucapanku sebaiknya jangan hubungi aku lagi."     Dengan kesal Matsuya menutup teleponnya secara sepihak. Sementara Jimin mendesis tak terima. Ingin rasanya ia menelepon dan menghujat sahabatnya itu, tetapi ia memilih untuk mengurungkan niatnya. Jimin pun kembali ke kantor untuk melihat keadaan Naira. Mungkin saja wanita itu sekarang sudah tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD