Part 16 Terjebak Pesona Jimin

1606 Words
Suara denting sendok yang beradu dengan peralatan makan yang lain menghiasi suasana makan malam di rumah Jimin malam itu. Baik Jimin maupun Naira tak ada yang membuka suara. Tadi sebelum pulang Jimin menyempatkan diri untuk membeli makanan di restaurat Jepang kesukaannya. Karena mengingat Naira akan datang malam ini, jadi diputuskannya untuk memesan dan membawa pulang ketimbang makan di restaurant itu. "Malam ini kau istirahat saja di kamarmu. Besok pagi akan ada orang panggilan yang datang membersihkan rumah. Kau hanya perlu membantuku untuk bersiap sebab aku sering terlambat bangun." Akhirnya Jimin membuka suara. "Jadi apa yang harus kupersiapkan?" Naira meletakkan sendok setelah memasukkan suapan terakhirnya ke mulut. "Air hangat untuk mandi? Pakaian kantor? Sarapan? Atau semuanya?" Jimin tersenyum. "Jika seperti itu kau jadi mirip seorang istri. Apa harus kubelikan destar seperti kata Mbok Inah?" Mendengar ucapan Jimin mau tak mau Naira pun mengulum senyum. Rupanya pria yang tadi mengabaikannya begitu saja masih bisa bersikap hangat. "Apa par istri di Jepang juga suka memakai destar?" Pertanyaan Naira yang spontan hampir saja membuat Jimin menyemburkan minuman yang baru masuk ke mulutnya. "Di Jepang para wanita selalu sibuk bekerja. Tak ada yang memakai destar, seperti istri para tetangga. Bergosip di pagi hari dengan tukang sayur yang lewat di depan komples perumahan. Mereka lucu sekali." "Tapi harusnya mereka mencoba itu sekali waktu. Atau aku akan menjadi istri pertama yang keliling dengan destar motif bunga. Kira-kira bagaimana nanti reaksi ibu dan ayahmu saat melihat istri Jack yang kampungan." "Kau ini ada-ada saja," gumam Jimin sambil terkekeh. "Daripada mengenakan destar bukankah lebih baik jika memakai lingerie. Kau akan terlihat sangat sexy, jadi Jack bisa saja tergoda." Jimin pun bangkit dari duduknya. Membereskan meja makan dengan cepat. "Hari ini kau tamuku, Kakak ipar. Jadi biar aku yang membereskannya. Naira mengangguk. Membiarkan pria itu membersihkan meja. Barulah beranjak menuju kamar tidur yang diberikan Jimin. Pemilik rumah itu bilang, kalau kamar yang akan ditempatiya sekarang itu kamar Jack jika menginap di sana. "Kenapa tidak masuk? Apa kau butuh sesuatu?" Naira menoleh pada Jimin yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya. "Tidak, aku ...," sahut Naira ragu. "Jangan bilang kau takut tidur sendiri?" "Ah, tidak, tidak," sahut Naira gugup. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamar. Menyandarkan diri di balik pintu. Naira mengatur napasnya yang memburu. Sejak kejadian dengan Michael malam itu, Naira memang sangat takut tidur sendiri. Ia selalu berharap ada seseorang yang akan bersama dan menjaganya sepanjang malam. Setelah suasana cukup hening, Naira memastikan kalau Jimin sudah tak ada lagi di luar sana, Naira pun perlahan membuka pintu. Dugaannya benar. Jimin sepertinya sudah kembali ke kamar. "Aku harus tidur di mana?" gumam Naira frustasi. Ia mengambil selimut, melangkahkan diri ke ruang tamu. Rasanya akan lebih baik jika ia begadang menonton televisi sampai pagi tiba. Diambilnya remote televisi yang tergeletak di atas meja. Menyalakan dan mengecilkan suaranya. Jemarinya bergerak lincah mencari saluran yang diinginkannya. Barulah setelah itu Naira merebahkan diri di atas sofa. Menit-menit pertama bisa dilewatinya dengan mata terbuka, tetapi setelah beberapa lama, Naira pun terpejam tanpa sadar. Dengkuran halus terdengar darinya. Ia benar-benar terlelap. Bahkan Naira tak menyadari jika seseorang kini datang mendekatinya. Jimin memandang Naira yang terlelap. Senyum simpul terukir di bibirnya. "Tunjukkan padaku seberapa baik dirimu, Sayang. Hanya itu satu-satunya cara agar semua sandiwara ini cepat terungkap." Tangan Jimin terulur membenahi poni sang wanit, ia duduk melantai dengan memangku tangan di tepian sofa. "Bisakah kau merubah persepsiku terhadap kaummu, Naira. Aku pernah sangat kecewa karena kehadiran seorang wanita di hidupku dan Jack. Apa sekarang kau akan melakukan hal yang sama? Akuilah segalanya pada Jack, setelah itu semua akan baik-baik saja. Katakan padanya kalau seseorang telah tidur denganmu. Aku butuh kejujuran, Naira." "Eugh ...." Naira bergerak sedikit gelisah. Jimin pun menjauhkan badan agar tak mengganggu tidur lelap wanita itu. Melihat Naira kembali terlelap, Jimin pun mematikan televisi, lalu membopong tubuh Naira menuju ke dalam kamar. Dengan hati-hati Jimin menidurkan Naira di atas ranjangnya. Menyelimutinya, barulah Jimin tidur di atas sofa di kamar pribadinya. Malam ini Jimin ingin memberi kesan baik pada wanita itu. *** Suara dering alarm jam membuat Naira tersentak dari tidurnya. Ia melempar selimut segera bangkit untuk mematikan televisi. Namun, kemudian tersadar kalau dirinya tak lagi ada di kamar tamu. Naira memindari tubuhnya, melihat dirinya masih memakai pakaian utuh barulah ia bisa bernapas lega. " Kenapa aku bisa ada di sini," ucapnya pelan memindai kamar itu. Seingatnya kamar untuknya bukan itu. Saat netranya menangkap sosok Jimin yang terlelap di atas sofa barulah ia sadar kalau dirinya ada di kamar sang adik ipar. "Ji-min ...," gumamnya tergagap. Naira merapikan tempat tidur dengan cepat. Ingin sekali rasanya ia bederap pergi dari sana, tetapi netranya justru mengunci wajah sang pemuda yang masih terlelap di alam mimpi. Dengan sedikit ragu Naira mendekati pemuda itu. Berjongkok di dekatnya, memerhatikan Jimin dengan perasaan yang berdebar. "Dia benar-benar mirip Jack," gumam Naira sembari mengulum senyum. Setelah itu barulah ia beranjak bangkit dan melangkah keluar kamar. Bergegas Naira masuk ke kamarnya sendiri untuk membersihkan diri, barulah berderap menuju dapur. Ia akan memasak untuk Jimin, sebelum pria itu bangun dari tidurnya. Naira membuka kulkas mencoba mencari-cari bahan yang ia perlukan untuk di masak. Ketika suara derap langkah seseorang terdengar mendekat ke arahnya. "Lho, Jimin, kau sudah bangun?" tanya Naira tergugu melihat pemuda itu datang dengan rambut acak-acakan dan muka bantalnya. "Alarm tadi menggangguku. Aku lupa kalau sekarang ada didirimu di sini. Harusnya aku tidur lebih lama." Jimin menggaruk kepalanya, lalu mendudukkan diri di atas kursi dekat meja pantry. "Naira, bisa buatkan aku secangkir kopi?" Naira mengangguk. "Kau suka yang seperti apa? Manis? Sedang atau pahit?" "Yang pahit aja, manisnya kan dah ada di kamu." Mendengar gombalan Jimin, Naira pun melongo. Kemudian mendesis dengan wajah merona. "Suka gombal juga rupanya. Naira enggan bertanya lagi ia membuatkan Jimin kopi yang tak terlalu manis, juga tak terlalu pahit. Sementara Jimin hanya terkekeh mendengar ucapan Naira. "Mau kubuatkan sarapan apa hari ini?" tanya Naira sembari menyeletakkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap di atas meja. "Aku tak teralu suka sarapan yang berat," sahut Jimin. "Roti, sandwich, atau omlete sudah cukup. Kalau kau ingin makan nasi untuk sarapanmu, kau bikin saja apa yang disuka." Naira melempar senyum, ia pun kembali melangkahkan kakinya menuju kulkas. "Sepertinya aku harus bersyukur karena kau bangun pagi. Jika tidak, bisa-bisa aku masaka besar untuk sarapanmu." Jimin memerhatikan apa yang tengah dilakukan Naira sekarang. Wanita itu mengeluarkan roti juga beberapa jenis sayuran dan buah-buahan. "Akan kubuatkan sandwich sayur dan jus buah, sepertinya kau tipe orang yang suka menjaga pola makan sehat." Naira menoleh pada Jimin yang sedang menyesap kopi. "Mau kubuatkan sarapan dulu atau kusiapkan air untuk mandi?" "Siapkan air saja dulu, Naira. Sementara menunggu aku mau memeriksa beberapa berkas yang belum kuselesaikan kemarin." "Benar-benar pekerja keras." Naira melangkah menuju kamar Jimin. "Akan kusiapkan pakaianmu juga. Setelah semua beres aku akan memanggilmu, kau akan berada di ruang kerjamu, 'kan?" "Hmm ...," sahut Jimin mengangguk. Ia membawa kopinya menjauh dari dapur. "Terima kasih." "Aku juga harus berterima kasih padamu. Kau yang semalam menggendongku, 'kan?" "Iya," sahut Jimin. Kini mereka naik melangkah beriringan. Ruang kerja Jimin memang bersebelahan dengan kamar pribadinya. "Kenapa kau tidur di ruang tamu? Apa kau benar-benar takut tidur sendiri?" "Itu ...." Naira menggantung ucapannya. "Aku hanya iseng," lanjutnya berbohong, lalu masuk ke kamar Jimin. Pria itu mengulum senyum memandang tubuh Naira yang menghilang di balik pintu. "Aku tahu apa yang kau pikirkan, Naira. Kau mulai takut sendirian sejak Michael mengatakan kalau orang yang menidurimu adalah Michael. Lalu apa yang akan kau lakukan jika tahu orang yang selama ini harus kau takuti adalah aku? Bagaimana kalau sekali waktu kita bercinta dengan sadar, aku akan menunggu saat itu tiba, Sayang. Dan, aku yakin itu tak akan lama lagi." Seperti apa yangg dikatakannya, selesai menyiapkan air hangat, serta pakaian kantor untuj Jimin, Naira pun memanggil Jimin di ruang kerjanya. Pria itu meletakkan berkas-berkas kantornya, berderap menuju kamarnya. Sementara Naira sendiri kembali berkutat di dapur. "Mmm ... Naira, kau bersiap juga, ya? Kita akan ke kantor bersama-sama." "Aku harus ke kantor?" tanya Naira menghentikan langkah, ia memandang Jimin dengan raut tak percaya atas apa yang didengarnya. "Tentu saja, Nyonya Naira Jack Venien. Kau harus mulai belajar mengenal perusahaan menggantikan Jack, itulah pentingnya kau menjadi asistenku. Jadi mulai sekarang kau akan terlibat dengan semua urusan kantor. Aku yakin kau bisa belajar dengan cepat." Yang bisa dilakukan Naira pun hanya menghela napas, kemudian mengangguk singkat sebelum kembali melanjutkan niat awalnya membuat sarapan. Setelah itu barulah Naira masuk ke kamar untuk membersihkan diri, dan bersiap ke kantor seperti yang dikatakan Jimin tadi. Selesai membesihkan diri, Naira pun keluar kamar. Ia mendapati Jimin sudah duduk di ruang makan. Pria itu menoleh kemudian tersenyum. "Bisa minta tolong pasangkan dasiku? Aku merasa gerah setiap kali meminta Selina yang melakukannya." "Kenapa tak memakai dasi jadi? Bukankah ada dasi yang pakai resleting, jadi kau tinggal menarik kaitnya saja." Naira menanggapi dasi bercorak garis hitam dengan warna dasar marun itu. Jimin pun berdiri di hadapannya. "Itu tidak nyaman," sahut Jimin, sambil melihat Naira mempersiapkan dasi di tangannya. "Mmm ... Jimin, bisakah kau rendahkan dirimu sedikit saja?" Sesuai perintah Naira, Jimin kini sedikit membungkukan badannya. Naira pun mengalungkan dasi itu di leher sang pemiliknya. Namun, seketika gerakannya membeku saat netra keduanya beradu. Saling menatap dalam jarak yang begitu dekat, membuat geleyar aneh menghampiri mereka. Jantung pun mulai berdetak lebih cepat. Naira berusaha mati-matian untuk tak terpengaruh dengan semua itu. Namun, pesona Sang CEO benar-benar menjebaknya. "Aa ... Ji-Jimin ... bisakah kau sedikit menjauh?" Jimin tersenyum jahil. Bukannya menjauhkan badan, ia justru makin mendekatkan wajahnya. Berbisik dengan suara sexy tepat di hadapan wajah cantik Naira. "Kenapa? Apa kau takut jatuh cinta padaku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD