Part 4. Masa Lalu

1611 Words
Naira mematung, terduduk di salah satu undakan di salah satu sisi tugu Monas. Pengunjung tampak ramai lalu-lalang di sekitarnya. Ia mengabaikannya tanpa minat untuk merhatikan mereka. Segerombolan pemain skate board jalanan melintasi trotoar yang terlihat datar di tengah taman. Bermain dengan lihai diikuti tepuk tangan dan canda tawa dari teman mereka. Naira tersenyum kecut. Sudah lama ia tak merasakan bagaimana rasanya hidup seperti para remaja itu. Teringat kembali pada kisah lampau, Naira pun menitikkan air mata tanpa sadar. "Ayah, jangan pergi, kumohon ...," ratapan pilu itu menguak ingatan masa lalunya. Terdengar jelas di indra pendengaran padahal itu hanya sebuah bayangan masa lalu yang mendesak terbangun tanpa izin. "Nak ...!" jerit sang ibu yang meraung kesakitan dari dalam kamar. "Jahat, ayah jahat, ayah jahat, ayah jahat ...." Itu gumaman Tony yang memukul-mukulkan kepalanya di daun pintu. Emosinya tak terkendali melihat bagaimana sang ayah memperlakukan keluarga mereka dengan kasar. "Ayah jangan pergi, kumohon ... bagaimana nasib kami jika Ayah pergi ... Ayah ...." Sang ayah menepis tangan Naira dengan kasar. Segera naik ke atas motor dan berusaha memutar kunci saat tangan Naira kembali mengenggam jemarinya. "Ayah, lihatlah kami, Yah ... bagaimana sekolahku dan Tony, bagaimana pengobagan ibu ... Ayah ...." "Minggir kau! Dasar manusia tak berguna! Kalian hanya kumpulan sampah yang tak berguna. Jauhkan tangan kotormu!" Pria itu menghardik keras sembari mendorong anaknya hingga terjatuh. Lengannya berdarah terkena kerikil tajam. Melihat sang ayah sudah berhasil menyalakan motornya, Naira kembali bangkit mengejarnya. Rasa sakit yang mendera diabaikan begitu saja. Ia terus berlari memanggil ayahnya. Sampai pria tak bertanggung jawab itu menghilang di tikungan. Tubuh Naira ambruk di tepi jalan. Tangisannya pecah. "Tony ...!" jeritnya ketika melihat Tony berlari sambil membawa batu di tangan. Keadaan yang kacau balau membuat anak itu tak terkendali. "Tony, tenangkan dirimu, Tony ...." Naira memeluk adiknya yang terus menangis dengan tubuh bergerak asal. Gelisah tak terkendali. "Akan kubunuh, akan kubunuh," racau anak itu. Bibirnya bergetar. Tubuh mengigil menahan amarah. Sang kakak memeluknya semakin erat. "Sudah, sudah, Tony, kakak ada di sini. Tenanglah. Biarkan pria jahat itu pergi. Kalau tidak dia akan terus menerus menyiksa ibu. Sudah." Dengan segala upaya Naira mencoba menenangkan adiknya yang mengalami kelainan syndrome itu. Itu kemarahan terbesar yang pernah ditunjukkan Tony. Setelah kejadian itu, sang adik berubah semakin pendiam dan menjaga jarak dengan orang lain. Naira ingat. Sesusai menenangkan adiknya, mereka pun kembali ke rumah. Alangkah terkejutnya gadis itu ketika melihat sang ibu sudah merayap berderap keluar rumah. Tubuhnya kotor karena harus berguling memaksakan diri untuk bergerak menggapai buah hatinya. Derai air mata meluruh jatuh, napas tersengal, tangan berdarah penuh dengan luka lecet. Melihat keadaan itu, Tony kembali gelisah. Ia memukul-mukul kepalanya sendiri, merasa bersalah. Dalam hati mungkin ia berempati, ingin membantu. Namun, keterbelakangan membuat responsnya bergerak tak stabil. Ia tak tahu harus berbuat apa. Alhasil yang dilakukannya pun hanya menyakiti diri sendiri. Naira berlari tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Tony. Segera menjatuhkan diri memeluk ibunya yang menangis tak berdaya. "Naira, Tony ... anakku ... maafkan ibu, Nak," lirih wanita paruh itu. Tangannya meraba wajah kedua buah hati dengan tangisan yang terus mengucur semakin deras. Rasa sakit dan kecewa pada suami bercampur jadi satu dengan ketidakberdayaan dan kekecewaan pada diri sendiri. Ia terus menangis. Naira mengepalkan kedua tangan. Memeluk adik dan ibunya secara bersamaan. Sadar akan keadaan diri yang harus memikul beban seorang diri, kemarahan pun tertancap mati di dalam hati. Amara mendidih dalam jiwanya ingin membalas dendam pada ayahnya yang tak lebih dari seorang pengecut. Manusia mana yang tega meninggalkan seluruh keluarga yang dibangunnya atas nama cinta, tepat saat mereka sedang mengalami masa sulit. Bukankah harusnya pria itu bertanggung jawab pada pilihan hidupnya. Bukan menelantarkan mereka begitu rupa. "Ibu ...," lirih Naira, menyeka air mata yang menetes jatuh. Setiap jengkal peristiwa itu tak akan pernah hilang dalam ingatannya. Naira meremat jemarinya. Menahan sakit yang semakin mendera. Teringat akan janji bahwa suatu saat dirinya akan membuat sang mama kembali berjalan. Biaya untuk operasi saraf kejepit yang dibutuhkan ibunya pasti akan terkumpul cepat atau lambat. Sang adik pun pasti akan mendapatkan pendidikan sesuai dengan bakatnya. Seseorang akan menghargai dan mengenalnya sebagai pelukis ternama suatu saat nanti. Naira sudah berjanji akan membiayai pendidikannya sampai ke mana pun sang adik menginginkannya. "Kakak, bisa minta tolong ambilkan bola itu? Woy, Kakak ...!" Terperanjat dari lamunannya, Naira menatap segerombol anak yang memandang kesal. "Kak, minta tolong lemparkan bola itu!" teriak mereka lagi. "Bola?" gumam Naira, melempar pandangan ke sisi kanan-kiri. "Ah, maaf," ucapnya kemudian. Sesaat bangkit, ia mengambil bola yang tergeletak di samping kanannya. "Apa kakak boleh main?" Naira melangkah mendekat. Menyeka sisa air mata, ia melempar senyum manis. "Memang Kakak bisa?" "Tidak, sih, tapi kakak ingin mencoba." "Seru juga." Salah seorang pemain basket free style itu berucap ramah. Ia membimbing Naira untuk mencoba memutar bola basket di atas telunjuknya. Sedikit kesulitan pada awalnya, tetapi setelah beberapa kali mencoba, bola itu pun berhasil berputar di ujung jari Naira. Tentu saja itu atas bantuan Bagas, si pimpinan komunitas. Cukup lama bermain dengan mereka mampu mengusir sesak yang sesaat lalu sempat hinggap di hati Naira. Keringat membasahi diri, gadis itu pun melangkah undur diri. Lambaian tangannya dibalas hangat oleh sekumpulan anak-anak remaja tadi. Naira melangkahkan tungkai menjauh dari sana. Sampai di trafic light, Naira menghentikan langkah. Ia menghela napas sejenak sebelum mengambil langkah ketika lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Naira memasangkan headset ke telinga. Baru beberapa langkah tungkainya menapak jalan aspal dengan garis zebra cross, tali sepatunya terlepas. Naira pun membenarkan ikatannya sebelum berlari dari tempatnya karena lampu sudah berubah merah. Langkah kaki Naira bergerak pasti menapaki setiap jengkal trotoar menuju rumahnya. Tanpa disadarinya sejak tadi seseorang memerhatikan segala tindak-tanduknya. Pria itu tersenyum dari balik setir kemudi. Sejak hari itu melihat Naira sudah jadi kebiasaan yang tak bisa ditinggalkannya. Jimin tersenyum menatap gadis itu menghilang di balik pintu rumahnya. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi, Naira Amadia," gumamnya, barulah melajukan kendaraan meninggalkan rumah itu. *** Naira sedikit kehilangan konsentrasi dalam pekerjaannya. Sesekali ia tampak salah mengirim makanan yang dipesan pelanggan. Apa yang dibicarakan Michael masih jadi penyebab utama kekacauan hatinya. "Naira, bos manggil, tuh." Nitya, salah satu pekerja di sana menepuk pundak Naira dan berbisik pelan sambil menunjuk arah Samuel berdiri. Ada ketidakpuasan di wajahnya. Sedikit tergesa, Naira menyusul langkah Samuel yang meninggalkannya ketika netra mereka saling menyapa. Sang bos masuk ke ruangannya. Menyandarkan diri di tepi meja kerja, menunggu Naira sambil bersidekap, Samuel menatap tajam ke arah pintu. Suara ketukan terdengar dua kali. Tanpa menunggu jawaban dari sang pemilik restaurant, Naira membuka pintu pelan. Kini ia berdiri di depan sang bos dengan wajah tertundk dan tangan saling menumpu di bawah perut. "Kau tahu apa kesalahmu, Naira?" Suara tegas Samuel membuat Naira mengangguk lemah. "Iya, Pak, maaf," sahutnya lesu. "Baru kali ini aku lihat kau kehilangan konsentrasi. Apa ada masalah yang mengganggu? Katakan padaku, Naira." Hentakan kaki Samuel terdengar lirih membentur ubin lantai. Ia berderap mendekati gadis yang masih menunduk penuh sesal. "Maaf, Pak, ini tak akan terulang lagi." Naira membungkukkan badan meminta maaf ketika dua tangan memeluknya dari belakang. "Aku tahu beban masalahmu, Naira. Karena itu, bukalah hatimu untukku. Mari kita menikah dan akan kuberikan seluruh kebahagiaan dunia ini padamu." "Ba-bapak, to-long menjaug dari sa-ya." Tubuh Naira bergerak gelisah mencoba melepaskan diri. Namun, Samuel malah mempererat pelukannya. "Kenapa, Naira. Kenapa kau selalu menolakku? Apa selama ini ada pria lain yang sudah kau cintai?" Naira menggeliat sekali lagi. Kali ini sedikit lebih keras dan kasar, hingga berhasil terlepas dari belenggu Samuel. Ditatapnya sang bos dengan tajam. "Seharusnya Anda tak melakukan ini, Pak, karena sebentar lagi saya akan menikah. Hari ini saya mengajukan permohonan pengunduran diri, Pak Samuel." "Apa maksudmu? Akan menikah? Dengan siapa?" Samuel berubah beringas. Ia menarik tangan Naira dengan kasar, kemudian mendorong gadis itu, menguncinya bersandar pada dinding. "Aku tahu ini hanya siasatmu untuk menghindariku. Kau tak mungkin berhenti dari sini, karena kau butuh uang banyak untuk mengobati ibumu. Jadi jangan berpura-pura lagi." "Lepaskan saya, lepas." Naira berontak ketika Samuel memojokkannya. Dalam kemarahan ia berusaha untuk mencium bibir sensual yang selalu diinginkannya. Mendengar ucapan Naira tadi langsung membakar emosinya, hingga membuatnya mengambil sebuah keputusan gila untuk menyudahi acara tarik-ulurnya dengan Naira. Hari ini, Samuel ingin Naira menjadi miliknya. Tubuh Naira terbanting ke atas sofa saat Samuel mendorongnya. Pria itu berderap mendekati pintu untuk menguncinya dari dalam. Namun, Naira bergerak cepat. Ia menabrak Samuel hingga laki-laki itu terdorong ke samping. Dengan tangan yang gemetar Naira berhasil membuka pintu. Samuel hampir saja berhasil menangkap tangan gadis itu yang ingin melarikan diri. "Sial," geram Samuel lalu mengambil ponsel di saku celana. "Tangkap Naira, seret dia bawa keruanganku!" perintahnya pada bawahannya yang berjaga di sekitaran restaurant. Para pengawal Samuel memang ditugaskan untuk berpatroli menjaga keamanan restaurant itu. Satu-satunya hal yang dipikirkan Naira saat ini hanyalah keluar dari restaurant itu dengan aman. Mengabaikan sapaan teman, juga barang-barangnya yang masih tertinggal di loker, Naira terus melangkah di sepanjang koridor menuju pintu belakang restaurant. Ia hampir bisa melewati pintu ketika seseorang menarik tangannya dari belakang. "Tolong ...!" jeritnya. Berharap seseorang di luar sana bisa mendengar dan menolongnya. Tanpa babibu, salah satu bodyguard Samuel mengangkat tubuh Naira, menikulnya bagai karung beras. Gadis itu terus berusaha meronta meski semua sia-sia. Ia memukul punggung sang bodyguard agar tubuhnya bias jatuh dari gendongan pria beringas itu. Akan tetapi, semua sia-sia. Langkah pria berotot itu sama sekali tak terpengaruh setiap pukulan yang dilancarkan Naira. Namun, baru saja sang bodyguard ingin menginjak tangga pertama untuk naik ke ruangan bosnya, seseorang menarik kerah bajunya dari belakang. Bersamaan dengan itu sebuah pukulan langsung mendarat di rahangnya. "Jangan berani-berani menyentuhnya, b******n!" Naira berhasil terlepas dari pria itu. Dalam ketakutan ia berlari ke arah sang penolong, menjatuhkan diri dalam pelukan pria itu. Ia menangis kencang. "Bawa aku pergi dari sini, Jack. Aku bersedia menikah denganmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD