Part 3. Kontrak Pernikahan

1744 Words
        Terduduk dengan wajah memandang lekat pada sosok cantik di depannya, seorang pria berjas hitam menunggu dalam diam. Sementara itu sang gadis masih berkutat dengan susunan kata yang berbaris membentuk kalimat di atas kertas putih yang dipegangnya. Gadis itu pun mengangkat wajah. Menutup lembar map dan meletakkan apa yang dipengangnya ke atas meja.     "Apa kau pernah membaca berita? Atau mencari tau tentang survei yang pernah dilakukan terhadap kemungkinan seorang autisme untuk menikah dan membina sebuah keluarga?"     Pria itu tersenyum sebelum menjawab. "Hanya sampai kau bisa memberi keturunan pada keluarga Venien. Setelah itu kau bisa bebas dengan kekayaan yang akan kau dapatkan."     "Haah," helaan napas lelah keluar dari mulut mungil si gadis. "Aku mungkin miskin, tapi aku bukan gadis murahan. Jadi ini tak menarik minatku sama sekali."     "Bagaimana dengan kemungkinan untuk menyembuhkan ibumu?"     Sang gadis mematung, sedangkan pria itu tersenyum penuh kemenangan. Aku sudah menyelidiki semua tentangmu, termasuk juga tentang penyakit ibumu. Kau tak bisa mengobatinya karena kekurangan biaya, 'kan? Sementara adikmu yang autis juga butuh biaya besar untuk sekolah khususnya. Kau ingin adikmu diterima masyarakat dengan baik. Benar, 'kan?"     "Tapi ini ... bagaimana caraku bisa memberikan keturunan jika seseorang yang akan kunikahi hanya peduli dengan dunianya sendiri," keluh Naira. "Bukan hanya itu, bagaimana jika keturunan keluarga Venien nanti berakhir autis juga seperti ayahnya?"     "Itu tak perlu kau pikirkan. Dan, tentang bagaimana kau bisa melakukannya itu tergantung caramu membangunkan hasratnya."     "Itulah yang kumaksud, Tuan Michael. Aku bukan wanita penghibur, keadaan ini tak cocok untukku." Naira mungkin sedikit tergiur dengan tawaran yang tercetak di lembar kontrak. Jika ia menerima, kemungkinan ia bisa memberikan perawatan terbaik buat sang mama pun jadi terbuka lebar.     "Baiklah aku berikan penawaran khusus."     Sedikit ragu mendengar ucapan Michael, Naira pun memberanikan diri untuk bertanya.     "Kau hanya perlu menikah dengan Tuan Jack Venien, sampai hak waris keluarga juga ia dapatkan sebagai keluarga Venien. Hanya satu tahun, setelah itu kau bebas. Terserah kau mau tidur dengan Tuan Jack atau tidak."     "Tapi ...."     "Pikirkan saja semuanya. Besok aku akan mengunjungi rumahmu bersama tim medis. Ibumu akan dipindahkan, dan dirawat di rumah sakit. Untuk kenyamanan, rumahmu juga akan direnovasi," tutur Michael seolah Naira benar-benar sudah menyetujui kontrak itu, padahal gadis itu masih mematung dan terjebak dalam kebingungan pikirannya sendiri.     Naira masih mematung dalam diam mencoba menelaah semua yang  dikatakan Michael, orang suruhan keluarga Venien. Sungguh aneh, pertemuannya dengan Jack Venien yang autis waktu itu benar-benar berakhir mengerikan seperti apa yang dikatakan oleh paman penjaga kasir.      "Ada satu hal lagi yang harus kau ingat, Nona Naira." Michael kembali membuka suara. "Sekali kau menolak, maka hidupmu tak akan sama lagi."     Naira mengerutkan dahi. "Kau mengancamku?"     "Terserah kau menganggap itu ancaman atau bukan, yang jelas kau harus memikirkan kemungkinannya dari berbagai sisi." Michael mendorong kursi yang didudukinya barulah berdiri. Sedikit membungkukkan badan ia pun memutuskan undur diri.      "Tunggu." Suara Naira membuat langkah Michael terhenti. Ia menoleh pada gadis itu. "Apa aku bisa bertemu dengan Jack?"     "Tentu saja, Nona. Lagi pula Tuan Jack sudah menunggu kedatanganmu sejak tadi," sahut Michael. "Aku bahkan diminta untuk menjemputmu. Jadi mau ikut denganku? Atau Anda akan datang sendiri?"     Terdiam sejenak dalam kebimbangan, Naira pun memutuskan untuk bangkit. Menyudahi percakapan singkat mereka di restaurant itu. Ia menyusul langkah Michael menuju mobilnya.     Dalam mobil yang melaju sedang, gadis itu pun hanya diam. Ada banyak hal terus berputar dalam pikirannya. Seakan sudah tahu kalau hari ini Naira tengah libur, Michael tiba-tiba saja datang ke rumah dan mengajaknya makan siang di restaurant.     Atas izin sang mama, Naira pun pergi bersama dengan Michael, sampai kemudian percakapan tentang pernikahan itu tercipta. Sebuah lamaran pernikahan yang hanya akan berlangsung selama setahun, atau sampai ia melahirkan seorang keturunan untuk keluarga Venien.     Tiga puluh menit perjalanan mobil yang dikemudikan Michael memasuki pelataran parkir sebuah rumah besar. Pintu pagar otomatis terbuka lebar menyambut kedatangan mobil itu. Naira menghela napas memandang rumah itu. Kembali teringat pertemuan pertamanya dengan Jack Venian.     Setelah memberikan kubiknya waktu itu, entah bagaimana caranya Jack tiba-tiba saja datang ke restaurant bersama dengan Michael. Beberapa hari kemudian barulah Naira tahu kalau keluarga Venian menyelidiki tentangnya. Bahkan tentang keluarganya.     Mereka bilang Jack menyukainya dan selalu ingin bersamanya. Bahkan beberapa kali mereka meminta Naira untuk bekerja di rumah besar itu dan menjadi pengasuh Jack yang seperti anak kecil. Karena sang mama tak mengizinkannya, maka Naira menolak permintaan itu. Ia pun memilih untuk tetap bekerja di restaurant sampai kemudian tawaran pernikahan itu datang.     "Kau sudah datang!" jeritan Jack terdengar keras. Ia berlari dan menabrakkan badannya pada tubuh mungil Naira. Gadis itu hampir saja tersungkur jatuh, tetapi Jack langsung memeluknya erat.      "Ayo ikut denganku. Aku punya mainan baru."     "Iya, Jack," sahut Naira. Berada dalam tarikan tangan pria itu, Naira seakan tak punya kekuatan untuk melawan. Atau mungkin juga enggan untuk membantah dan memilih menurut begitu saja.     Jack langsung membawa Naira ke kamarnya. Mendudukkan Naira di tepi ranjang. Sementara ia berderap menuju lemari penyimpanan boneka.      "Itu sejak kapan ada di sana?" tanya Naira. Ini memang bukan kali pertamanya ia ada di sana. Jika dihitung dengan yang sekarang, ini menjadi kedatangan ketiganya. Dua kali kedatangan sebelumnya ia tak menemukan benda itu di sana.     "Michael memberikannya padaku," tutur Jack. Mengambil semua bonekanya dan menumpahkannya di atas ranjang. "Ini, untukmu," Jack menyerahkan sesosok boneka berparas cantik seperti Barbie. "Namanya Naira Amadia."     "Eh? Itu kan namaku," ucap Naira menanggapi boneka itu.     "Iya, karena kata Michael itu namanya."     "Baiklah, lalu pria tampan ini siapa?" tanya Naira. Ia mengambil boneka berjenis kelamin pria.      "Kata Michael itu aku," sahut Jack tanpa menoleh. Ia sibuk menata sebuah rumah untuk bonekanya.     "Sebenarnya apa yang sedang kau buat?" Naira memerhatikan gerakan tangan Jack yang begitu ahli membangun rumah bonekanya.     "Ini rumah kita." Ucapan Jack terdengar asal.      Sementara Naira masih memerhatikan pemuda itu dengan lebih intens. Jika dilihat ia memiliki ekspresi yang menggemaskan. Hampir mirip seperti Park Jimin, seorang idol Korea yang terkenal dan besar bersama groupnya BTS, yang kini menjadi idol dunia. Wajah tampan itu juga mengingatkan Naira pada remaja bernama Pranav Bakshi dari India. Seorang model yang baru-baru ini menggegerkan dunia modeling India. Siapa sangka jika remaja tampan itu seorang pengidap autisme.     "Eh, kenapa kau masukkan kedua boneka itu ke sana?" tanya Naira saat Jack mengambil boneka dari tangannya dan memasukkan ke dalam rumah-rumahan yang dibuatnya.      "Mereka sudah menikah," sahut Jack. Kembali sibuk dengan urusannya sendiri.     "Kau bilang mereka sudah menikah. Apa kau tau apa itu pernikahan?"     "Tentu saja," Jack mengambil kembali boneka prianya lalu memakaikan baju baru padanya. Naira masih memerhatikan dengan intens.     Pengidap autis memang berbeda dengan i***t. Mereka bukanlah orang bodoh. Bahkan ada beberapa yang berhasil menunjukkan keahliannya dan menjadi begitu terkenal di dunia. Albert Einstein salah satunya. Siapa yang menduga ilmuwan dan matematikawan yang terkenal memiliki IQ tinggi itu ternyata pengidap autis. Seorang autis cenderung terlihat bodoh hanya karena ketidak mampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungan. Mereka tidak bisa bersosialisasi dan cenderung hidup dengan dunianya sendiri. Seringkali mengabaikan lawan bicara.      Mereka hanya akan merasa nyaman berdekatan dengan orang-orang tertentu saja. Naira sangat tahu itu, sebab adiknya juga memiliki gangguan spektrum autisme. Namun, meski terbiasa menghadapi seorang yang mengidap autisme, bukan berarti Naira bisa memahami Jack dengan mudah. Mereka menunjukkan perkembangan, sikap, dan daya pikir yang berbeda.     Sejauh yang Naira tahu, Jack cukup cerdas. Ia akan mengingat dengan mudah semua hal yang dikatakan padanya. Buruknya itu mempengaruhi emosi. Setiap ucapan buruk seseorang  akan selalu terngiang di benaknya dan itu membuat amarah Jack meluap-luap. Tak bisa dikendalikan dan berujung pada kemarahan yang diluapkannya dengan mengamuk. Hal itu juga membuatnya harus tetap berada dalam pengawasan. Di sisi lain, karena kepintaraannya Jack bahkan mampu mendapatkan gelar sarjana melalui home schooling, dan bimbingan beberapa guru privat yang sengaja didatangkan ke rumahnya.      Semua itu dilakukan untuk membatasi interaksi sosialnya agar tak mengalami tekanan emosi yang berlebih. Itu pula yang membuat Jack harus memegang kubiknya setiap saat. Ia cenderung gugup dengan orang baru. Dengan memainkan kubik di tangan juga akan membantunya tetap fokus dan menjauhkan pikiran dari hiruk-pikuk dunia yang tak terstruktur seperti apa yang ada dalam pandangan anak-anak autis pada umumnya.     Berbeda dengan Tony, adik Naira. Tony hampir tak memiliki masalah dalam hal interaksi dengan orang lain. Namun, ia menunjukkan gejala Asperger Syndrome. Ia memiliki kemampuan berbahasa yang cukup baik, tetapi itu hanya seputar apa yang disenanginya saja. Itulah kenapa Naira merasa lebih mudah menangani Tony. Gejala autismenya tak terlalu terlihat. Hanya saja, orang yang berbicara dengannya perlahan akan tahu jika adiknya itu memiliki gangguan mental.     Melihat dua perbedaan yang  mencolok itu Naira merasa ragu apa ia akan benar-benar mampu memahami dan mengatasi sikap Jack. Jika berinteraksi dengan orang lain saja begitu susah bagi Jack, lalu bagaimana dia bisa memahami apa itu sebuah pernikahan. Tanggung jawab dalam sebuah pernikahan begitu rumit. Bagaimana jika suatu hari mereka memiliki anak. Lalu kontrak itu berakhir. Apa Jack akan mengurus anaknya dengan baik? Itu jelas sangat tidak mungkin. Lalu haruskah ia tetap bertahan dalam pernikahan aneh itu. Apa ia akan menjadi wanita pertama yang menikah dengan seorang pengidap syindrom autis seperti Jack?     Jika saja Jack memiliki kelainan hanya seperti Tony, ia mungkin bisa menikah dan membentuk sebuah keluarga seperti salah satu pengidap Asperger Syndrome yang kini menjadi orang terkaya di dunia, Bill Gates.     "Jack ...," panggil Naira pelan. "Menurutmu apa itu pernikahan?"    Pria itu tak langsung menjawab. Ia justru bangkit dan mengambil beberapa benda lain dalam lemari dan menghiasi mainannya lagi. Naira bersabar pada Jack yang mengabaikannya begitu rupa. Melihat pria itu terus memainkan bonekanya membuat Naira mendesah pelan. Ia menyentuh pundak Jack. Kembali menyebut namanya dengan lembut. "Jack ... apa yang dikatakan Michael tentang pernikahan?"     "Menikah?" Akhirnya pria itu merespons ucapannya. "Menikah sama seperti berteman. Tapi jika berteman kau akan selalu jauh dan datang hanya saat Michael memanggilmu atau menjemputmu. Jika kita menikah, seperti boneka ini, kita akan tinggal di rumah yang sama dan bisa bermain bersama. Kita akan memakai pakaian bagus, kemudian hidup bersama, aku tak akan kebingungan lagi mencarimu, karena kau tak akan pergi bekerja lagi dan akan selalu ada di sini."  Terduduk dengan wajah memandang lekat pada sosok cantik
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD